webnovel

[11] Kisah Sebelum Kelahiran

"Kau Bersenang-senang di hutan, hah? Tidak memikirkan keluargamu kelaparan di rumah? Sungguh ajaib melihatmu masih ingat untuk pulang!"

Anung baru saja masuk, membawa sisa ayam bakar yang tidak sempat ia habiskan bersama dengan Aryasatya sebelumnya. Saat itu ia memberikan saran kepada pihak lain untuk menyimpannya di dalam gua, barangkali ia akan lapar di kala tengah malam. Tetapi, hebatnya Aryasatya menolak.

"Kita harus membiarkan orang tuamu, atau setidaknya, ibumu. Biarkan ia mencicipinya."

Karena hal itulah, di tangannya terdapat sisa bakar yang cukup untuk mereka habiskan bertiga. Tetapi, dia baru saja membuka pintu dan sambutan yang datang adalah teriakan pria tua itu seakan-akan dia tidak pulang selama beberapa hari.

Anung hanya menunduk, membawa ayam bakarnya memasuki dapur dan mulai menyiapkan piring untuk menghidangkan mereka. Ia telah menanak nasi sebelum pergi ke hutan, bahkan ia juga menyiapkan lauk pauk sayuran.

Sang ayah menyusul ke dalam dapur dan melihat makanan yang telah tersaji di atas meja, menyindirnya, "kau menyiapkan semua ini untuk menyenangkan orang tua ini, yang telah kau tinggalkan dalam keadaan lapar? Kau masih takut dengan karma sebab durhaka kepada orang tua, hah!"

"Aku akan membawakan makanan untuk ibu," Ia beranjak mengambil piring, menyiapkan makanan lengkap untuk sang ibu. Tidak lupa menyertakan air putih karena pencernaan sang ibu mudah terganggu.

Pria tua itu sudah mengambil nasi, tetapi masih tidak bisa menahan diri untuk mencibir, "huh, ingin mencari penghiburan dari ibumu? Kau tidak merasa bersalah sama sekali bahwa dirimulah yang telah membuat ibumu berakhir dalam keadaan ini."

Entahlah, ini sudah kali berapa sang ayah melontarkan ucapan semacam ini. Anung tidak tahu lagi apakah dia harus bersedih, menyesal, atau justru merasa bosan karena mendengarkan hal itu berkali-kali.

Lagipula, dia tidak bisa memilih untuk bagaimana caranya dilahirkan, jika dia mengetahui bahwa ibunya akan menjadi mudah sakit karena melahirkannya, maka dia akan mencoba memohon pada tuhan untuk merubah takdirnya sedikit, barangkali caranya dilahirkan harus berbeda, atau temukan ibu yang lain yang tidak perlu menanggung sakit untuk dirinya.

Ia hanya membawa makanan menunju ke kamar ibunya, dan tidak lupa masuk dengan senyuman di wajahnya, meletakkan piring di tangan sang ibu, dan air putih di meja pojokan.

"Ibu mendengar teriakan bapakmu." Ujar sang ibu lantas mengusap kepalanya dengan lembut.

Anung hanya menggeleng, "itu bukan apa-apa, ibu. Apakah aku membuatmu menunggu terlalu lama?"

"Ibu belum terlalu lapar, ini belum terlalu lambat untuk waktunya makan. Apakah kau sudah makan, Anung?"

Anung mengangguk.

"Kau membakar ayam ini di hutan?" Tanya sang ibu.

Ia mengangguk lagi.

Lantas sang ibu menyambung, "dengan seorang kawan?"

Untuk menjawab hal ini adalah hal yang membingungkan, dia tidak tahu apakah dirinya dan Aryasatya cukup untuk dikatakan sebagai seorang kawan, mereka memang bermain bersama, makan bersama. Tetapi, seorang kawan tentu tidak akan mencium bibirnya, meskipun itu hanyalah salah satu godaan dari pihak lain.

Tidak ada pilihan lain, ia hanya membenarkan pertanyaan sang ibu dengan anggukan lagi.

"Maukah kau memperkenalkan kawanmu pada ibu, suatu hari nanti?"

"Mengapa begitu tiba-tiba?" Tanya Anung.

Sang ibu tersenyum, "hanya ingin mengetahui kawan seperti apa yang berhasil membuat wajah putraku begitu cerah, bahkan kau memiliki mata yang berbinar, nak."

Kontan saja ia meraih wajahnya, merasa curiga bahwa ibunya telah melakukan kesalahan untuk melihat raut wajahnya.

Sang ibu tertawa kecil, "kau tidak mempercayai penglihatan ibu, bukan?"

"Bagaimana mungkin! Aku sangat mempercayaimu, ibu."

Sang ibu tiba-tiba memiliki pandangan menerawang jauh, seakan-akan mencoba untuk mengingat masa-masa tertentu. Mengenang kembali masa-masa yang telah berlalu.

Saat itu, ibunya mulai berkata, "tiba-tiba saja ibu membayangkan bagaimana jadinya jika bapakmu menyayangi dirimu, putraku, Anung. Sama seperti kau sangat menyayanginya. Keluarga kita tentu akan sangat tentram, bapakmu akan sangat lembut, dan kau akan selalu memiliki raut bahagia ini di wajahmu."

Anung meraih jemari sang ibu, "keluarga kita sudah cukup baik, ibu. Satu-satunya hal yang sangat ku harapkan hanyalah kesembuhan ibu, jika kau sembuh, maka semuanya akan sangat sempurna bagiku. Jadi ibu, segeralah sembuh."

"Anung, maukah kau mendengar alasan mengapa bapakmu berpikir kau adalah pembawa sial? Ibu tahu ini hal yang menyakitkan untukmu, nak. Tetapi, ibu berpikir kau harus mengetahui hal ini, setidaknya setelah kau begitu dewasa."

Anung mengangguk, "baiklah, aku mendengarkan ibu."

"Saat itu, ketika mendengar bahwa ibu hamil, bapakmu menjadi orang yang paling berbahagia. Karena dia begitu menantikan dirimu, Anung. Hanya saja, usia ibu sudah tidak lagi muda, mengandung bukanlah hal yang mudah, bahkan sejak awal, Ki Jayang sendiri telah mengingatkan kami untuk tidak terlalu bahagia dengan kehadiranmu, sesuatu yang begitu dinanti-nanti biasanya meminta timbal balik yang setimpal." Sang ibu berkata dengan suara yang lembut.

"Jadi saat itu, bapak ...."

Sang ibu menggelengkan kepalanya, "saat itu bapakmu masih bersikeras untuk memilikimu, kami sudah menunggu begitu lama, bagaimana bisa kami menyerah begitu saja terhadapmu. Tetapi, kemudian segala sesuatunya menjadi buruk ...."

Melihat bahwa raut wajah ibunya berubah redup, Anung meremas jemari ibunya, "apa yang terjadi ibu?"

"Ibu dan bapakmu sedang berada di hutan saat itu, dan sungguh mungkin itu yang dikatakan dengan nasib, kami bertemu dengan harimau, besar sekali, kami yakin itu bukan harimau biasa, mungkin itu adalah Penunggu Puncak Larangan di Gunung Utara yang terkenal."

Ini adalah hal yang berada di luar dugaannya sama sekali, apakah mungkin itu salah satu kawanan dari Aryasatya? Atau itu hanyalah harimau biasa yang terlihat lebih besar daripada biasanya? Anung bimbang.

"Lalu mengapa ...?"

Sang ibu menatapnya dengan sungguh-sungguh, "apakah kau melupakan kisah yang mana dipercaya oleh warga desa bahwa siapapun yang bertemu dengan Harimau Penunggu Puncak Larangan di Gunung Utara, maka mereka akan mengalami kesialan."

Anung linglung karena hal ini, "jadi apakah bapak ...?"

Ibunya mengangguk.

"Bapakmu mulai berpikir bahwa kami seharusnya tidak perlu mempertahankan dirimu, atau kami akan terus mendapatkan kesialan, dan ibu juga mulai melemah saat itu karena kesulitan selama masa mengandung. Bapakmu percaya pada cerita tentang mendapat kesialan itu dan berpikir akan lebih baik jika kami tidak memiliki anak sekalipun daripada harus menanggung kesialan dari Harimau penunggu Puncak Larangan."

"Tetapi mungkin saja itu harimau biasa, ibu?"

"Ibu juga mengatakan hal yang sama kepada bapakmu, tetapi dia sudah terlalu takut dan panik, sehingga menyangkut-pautkan kesehatan ibu yang memburuk selama mengandung dirimu erat kaitannya dengan kesialan dari Harimau itu." Ujar sang ibu.

Hingga kini ibunya juga masih sakit keras, mungkinkah cerita itu benar? Mungkinkah bertemu dengan Harimau penunggu Puncak Larangan itu akan membawa kesialan pada mereka? Tetapi tidak ada yang terjadi selama ia bertemu dengan Aryasatya, segalanya tampak baik-baik saja.

Jadi, dimana yang salah? Mungkinkah, dia harus bertanya langsung pada Harimau yang juga berasal dari Puncak Larangan, Aryasatya?

Anung memantapkan hatinya saat itu.

[To Be Continued]