webnovel

B18 - A Dead Heart

*****

Jam istirahat berbunyi, Danica langsung pergi menuju keruang basket dan menatap tim basket latihan termasuk Kharel lalu suara langkah mengalihkan atensinya.

"Bagaimana dengan lenganmu?" Danica menatap Rehal dengan bingung saat pertanyaan itu terlontar begitu saja.

"Tidak ada yang serius Hal."

"Dan kau berusaha kembali berbohong padaku."

"Aisshh menyebalkan sekali." Danica berdecak sebal, ia sangat tidak menyukai pemuda itu karena masuk dalam hidupnya dan mengetahui semuanya tanpa diberitahu.

"Sampai kapan kau akan berpusat pada Bara?"

"Rehal…"

"Jangan mengelak apapun Danica Amarthea, aku membencinya."

"Rehal sialan, aku membencimu. Berhenti membaca pikiranku sialan."

"Kalau begitu berhenti memikirkan dia bodoh."

"Aisshh…"

Danica langsung menghembuskan nafasnya kasar sembari memalingkan wajahnya kedepan lalu matanya menangkap sosok Kharel yang tersenyum padanya.

"Kubur semua tentangnya dan buka hatimu untuk orang lain, jangan berpacu padanya terus Nic."

Ia langsung menoleh kearah Rehal sembari tersenyum miring dan menaikkan sebelah alisnya.

"Kalau begitu beri aku contohnya, lupakan Adel dan buka hatimu untuk Amel."

"Sialan…"

Danica hanya tersenyum menang sedangkan Rehal mencibir sebal sembari memalingkan wajahnya kesamping, merasa dibalas oleh Danica, Rehal pun hanya bisa mendengus kesal.

"Kita hanya dua dari sebagian orang yang masih berusaha melupakan setiap rasa sakitnya dan masih mencoba berdamai dengan masalalu Hal."

Danica langsung berdiri dari duduknya dan menepuk pelan bahu Rehal sembari tersenyum lalu bibir tipisnya kembali bersuara.

"Lupakan Amel maka aku akan mencoba melupakan Bara."

Danica langsung berdiri dari duduknya dan berlari turun dari kursi penonton untuk menghindar dari Rehal, ia tertawa bahagia bisa membuat Rehal berdecak sebal.

"Danica sialan."

Danica berhenti lalu menoleh kebelakang menatap Rehal yang masih mencibir kesal, dari jarak yang tidak terlalu jauh Danica mencoba kembali menjahili Rehal.

"Dasar Rehal bodoh, Adeeeelllll… Ohh Adddeeelll Aiimmeeerrr aku merindukanmu…" Danica menari nari sembari terus membatin dan menatap Rehal dengan jahil.

"DANICA AMARTHEA BERHENTI BERBICARA DALAM HATI SIALAN."

Rehal berdiri dari duduknya sembari menatap Danica kesal dari jauh sedangkan sang empu hanya tertawa puas lalu berbalik dan kembali berlari meninggalkan Rehal yang kesal setengah mati.

"Selamat mencoba Rehal temanku."

"Aishh dia berulah lagi."

Dari jauh Kharel menatap kedua presensi itu dengan bingung, ada hal yang tidak dia ketahui tentang Danica dan Rehal dan itu membuatnya uring-uringan.

"Kita istirahat sebentar."

*****

"Ada yang berbeda dengan Danica akhir akhir ini."

"Aku rasa dia sedikit pendiam akhir akhir ini." ucapan Ervin membuat Bara menolehkan kepalanya sembari menatap dengan bingung.

"Eoh itu memang benar, aku rasa ada sesuatu yang terjadi."

"Semua bisa berubah kapanpun dan bagaimanapun." Suara itu membuat kedua orang itu langsung menolehkan kepalanya dengan bingung.

"Kharel?"

Kharel langsung tersenyum miring dengan sangat tipis lalu menatap Bara dengan tajam kemudan menatap Ervin dengan sedikit datar, Bara pun menatap Kharel tidak suka. Dia belum melupakan kejadian tadi pagi.

"Aku pernah dengar seseorang berkata jika seseorang itu berubah berarti ada dua hal yang terjadi pada dirinya, pikirannya yang mulai terbuka atau hatinya yang terluka."

Ervin dan Bara menatap Kharel dengan bingung, bahkan mereka tidak begitu mengenal Kharel tapi dengan begitu santainya Kharel berbicara dengan mereka bahkan dengan nada mengintimidasi seperti itu.

"Tidak akan pernah ada yang benar benar tahu tentang siapa Danica sebenarnya sekalipun dirimu Angkasa Bara Dirgantara, dia sosok yang bahkan tak akan ada satu orang pun yang tahu bagaimana keadaan hatinya sekalipun itu dirinya sendiri."

"Bisa katakan dengan baik bocah tengik? Jangan berbelit sialan."

"Dan aku tidak peduli, bye."

Setelah mengucapkan itu Kharel langsung melangkah pergi meninggalkan dua pemuda yang masih bergelut dengan pikirannya masing masing. Ervin yang menatap bingung dan Bara yang mendengus kesal.

"Ada apa dengan anak itu."

*****

Pelajaran akan segera selesai tapi Danica sudah tidak tahan lagi untuk melanjutkan tulisannya, ia pun menatap jam pada ponselnya. Raula yang disampingnya menoleh kearah Danica dengan mengernyitkan keningnya bingung.

"Ada apa?"

"Ah tidak ada apa apa."

"Kau berbeda."

"Aku masih sama La, berhenti berbicara omong kosong."

Raula mendengus, ini dia sikap Danica yang keras kepala kadang membuatnya bingung dan kesal. Tapi satu hal yang Raula sadari dia tidak pernah bisa marah pada gadis disampingnya itu.

"Danica, aku hanya…."

"Aku atau kalian yang berubah? Bahkan tidak akan pernah ada jawabannya Raula jadi berhenti bertanya dan biarkan ini mengalir oke."

Tepat setelah itu bel pulang sekolah berbunyi, Danica pun langsung memasukkan peralatannya perlahan dan itu tidak luput dari pengelihatan Raula. Ada yang berbeda dengan gerak tangan Danica.

"Kau baik baik saja?"

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Danica langsung berdiri dari duduknya setelah berberes, ia kemudian melangkah meninggalkan kelas menyisahkan Raula yang menghembuskan nafasnya pelan.

"Ada apa?"

"Tidak ada Del, ayo pulang."

****

"Kenapa tidak langsung datang ke tempat latihan?"

"Aku masih ingin disini."

"Setelah bertengkar dengan Raula kau ingin menenangkan diri?"

Danica langsung menatap Rehal dengan tajam, dia tidak pernah menyukai pembicaraan tentang keadaannya dengan teman-temannya.

"Jangan ikut campur Hal."

"Oke oke, nah."

Danica langsung menerima kopi cup pemberian Rehal, menyesapnya dengan pelan membuat Rehal menatap dengan teduh. Danica masih fokus dengan pemandangan didepan yang bahkan tampak begitu kosong.

Hanya terdapat rumput rumput hijau dan juga pohon pohon rindang yang berjejer.

"Kenapa begitu suka kopi pahit?" Danica berhenti meminum kopinya lalu tersenyum simpul sembari menghembuskan nafasnya pelan.

"Entahlah, hanya menyukainya saja. Rasanya pahit tapi mampu memberikan ketenangan saat banyak fikiran yang datang. Bukankah begitu?"

Danica menatap Rehal dengan pandangan yang sulit diartikan sedangkan yang ditatap hanya menatap bingung lalu menatap lurus kedepan.

Memahami sisi lain dari seorang Danica Amarthea itu tidak mudah dan Rehal sangat mengetahui itu. Jika saja Tuhan tidak memberikan kelebihan lain dalam dirinya mungkin sampai sekarang ia tidak akan pernah tahu apa yang tersembunyi dibalik senyum lebar dan candaannya itu.

"Masih tidak ingin mengatakan pada yang lainnya?"

"Apakah harus? Lebih baik seperti ini."

"Mau sampai kapan kau akan menutupi lukanya? Mereka temanmu."

Danica kembali tersenyum lalu menundukkan kepalanya menatap kopi ditangannya.

"Teman? Mereka? Masihkah?"

Senyum remeh itu terpatri dengan jelas diwajah Danica membuat Rehal menatapnya dengan sendu, sepertinya Danica tahu jika teman yang dimaksud olehnya adalah Adel dan lainnya.

"Bukankah Belinda masih temanmu? Aku lihat kau sangat dekat dengannya, apa masih tidak mau memberitahu padanya?"

"Hmmm, mungkin."

Danica mendongakkan kepalanya menatap hamparan luas didepannya dengan tenang sembari menerawang jauh dari fikirannya sedangkan Rehal masih setia menunggu jawaban apa yang keluar dari bibir tipis temannya itu.

"Cukup hanya bahagianya saja Hal, aku tidak berharap mereka tahu lukanya sekalipun itu temanku."

"Tapi aku sudah tahu semuanya."

"Dan aku membenci itu."

Rehal hanya tersenyum miring lalu menoleh kearah Danica yang masih setia menatap hamparan luas didepannya.

"Berhenti membaca apapun yang terjadi padaku dan juga berhenti ikut campur pada luka ku Hal."

Danica kini membalas menatap Rehal, lalu ia tersenyum miring membuat Rehal menatap bingung. Ia tahu akan terjadi hal lain setelah ini melihat senyuman sialan itu. Pikir Rehal.

"Sembuhkan luka mu sendiri Rehal Brawijaya, berusahalah untuk menerima kenyataan jika Adel sudah tak menginginkanmu."

"Sialan kau Nic, ini pembahasan tentangmu kenapa malah menyerangku." Kesal Rehal sedangkan Danica hanya tersenyum simpul melihat temannya itu begitu kesal.

"Jangan mencoba melewati batasannya Hal, kita bisa saling membunuh jika kau lupa akan batasanmu."

Danica langsung berdiri dari duduknya dan memilih pergi meninggalkan tempat sunyi yang mampu membuatnya kembali terhanyut dalam lukanya. Ia hanya membenci saat ingatannya kembali kelam dalam luka.

"Sialan kau Danica, tunggu aku."

****