webnovel

Prolog

Pertengahan Mei 2019.

Malam ini pusat kota Venistre tampak begitu indah. Gemerlap lampu dikejauhan membius hati, menebar pesona sejauh mata memandang. Membuat area dermaga dipenuhi dengan muda-mudi. Seperti sepasang kekasih yang baru saja tiba ini.

"Wuahhh..." ungkap si lelaki menikmati gemerlap pusat kota, jauh diseberang mereka. "Malam ini sungguh indah sekali." senyum lebar menghiasi wajahnya, begitu ceria.

Lelaki ini bernama Bryan. Sekilas pandang ia adalah pemuda biasa seperti pada umumnya. Tapi siapa sangka ia adalah putra salah satu petinggi militer Verizzon Federation. Saat ini Bryan bersama Rachel, kekasihnya, sekaligus teman sekolah sejak masih di bangku Sekolah Menengah Atas.

"... .. ..." Rachel tampak termenung tak menjawab perkataan kekasihnya. Sepertinya ia sedang mengalami masa-masa sulit. Masih terngiang jelas perkataan Bryan di kepalanya, sebelum mereka menuju dermaga; makan malam di cafe kecil sekitar dermaga. 'Maafkan aku Rachel. Aku tau kamu sangat membenci Federation, tapi apa boleh buat.. Ayahku memanggil. Jarang sekali ia memanggilku bila tak ada sesuatu yang penting sekali.'

Dengan senyum dibuat semanis mungkin, Bryan menoleh ke arah Rachel. Memandang Rachel yang tengah meneteskan air matanya. Seketika hati Bryan begitu trenyuh. "Rachel..., Secepatnya aku akan pulang, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Semua akan baik-baik saja." ucap Bryan sambil berbalik dan bersandar pada pagar dermaga. Seketika wajahnya tampak bimbang, sedih, penuh rasa bersalah pada Rachel.

Rachel menarik napas dalam-dalam. Ia mempersiapkan nada suaranya, agar dapat setegar mungkin, "Sebab inilah aku membenci Federation. Mereka merenggut apapun milik kita. Rakyat mereka sendiri." ucap Rachel dengan nada yang tetap gemetar, sambil menyeka air matanya. Kemudian menoleh cepat ke arah Bryan yang sedang tersenyum getir padanya.

Tak bisa dipungkiri, wajib militer adalah bukan suatu hal yang sepele, apalagi dalam kondisi sedang berperang dan berada dipihak yang kalah. Tapi setidaknya semua itu tidaklah sia-sia, Federation masih dapat menjaga ibukota utama mereka bagi Bumi, yaitu Venistre, agar tidak jatuh ke tangan musuh.

Beruntung bagi Rachel pada saat panggilan pertamanya, ia hanya mendapat pelatihan akademis. Sudah banyak sekali anggota keluarganya pulang hanya tinggal nama. Melewati pelatihan akedemis yang singkat, langsung dikirim ke medan perang; gugur di medan pertempuran.

Melihat Rachel semakin terisak dalam tangisnya, Bryan segera menenangkannya. "Maafkan aku telah membuatmu menangis. Sepulang dari ayahku, aku akan langsung menemuimu. Sambil membawa oleh-oleh dari atas sana." ucap Bryan sambil mengulurkan tangannya, kemudian menyeka air mata yang masih menetes di pipi Rachel.

Rachel mengangguk lirih sambil tersenyum. "Kan memang kebiasaanmu suka membuatku menangis." ucapnya ngalem, berusaha tersenyum, kemudian menghela napasnya yang berat. Ia telah berusaha tak lagi mengenang keluarganya. Karena saat ini, hanya Bryan yang ia punya. Tapi kenapa masih saja direnggut oleh Federation. Hal ini benar-benar membuatnya sakit hati.

"Ha ha ha..." tawa Bryan terdengar getir dan dibuat-buat.

Mereka berdua menikmati sejenak pemandangan dermaga, sebelum akhirnya pulang.

Bryan mengantar pulang Rachel yang terlihat masih berat hati, tak rela membiarkannya pergi ke atas sana. Rachel mencoba bertahan semampunya, berusaha setegar mungkin. Tersenyum manis, disaat Bryan pergi sambil melambai-lambai dengan riangnya; harus siap menghadapi kenyataan hidup. Terlebih lagi Rachel masih sempat memberinya hadiah. Sebuah kecupan manis di pipi Bryan. Membuat hati Bryan begitu berbunga-bunga. Sepanjang perjalanan menuju bandara, Bryan tersenyum-senyum sendiri.

* * *

Untuk ukuran waktu di Bumi, saat ini masih pukul 3 pagi. Tapi di atas sini, di luar angkasa, hitungan waktu begitu rancu dan sedikit berbeda dengan Bumi. Tapi untuk memudahkan segala urusan, acuan utama tetap menggunakan waktu di Bumi.

Tak ada waktu untuk istirahat sejenak, waktu terus bergulir. Pesan begitu jelas; setiba di Mothership 'Digital Promises', selaku Markas Pusat kedua dari seluruh armada Verizzon Federation, setelah ibukota di Bumi yaitu Venistre, Bryan diharuskan menemui Jenderal Havoc, ayahnya; secepatnya.

Setelah melewati beberapa koridor yang ramai dengan beberapa staff militer yang lalu-lalang, sampailah di depan pintu yang tak asing baginya. "Ada apa ayah memanggilku?" tanya Bryan setiba masuk ke dalam kantor ayahnya.

"Tutup mulutmu, dan pelajari ini." jawab Jend. Havoc sambil melempar sebuah map file yang cukup tebal ke meja tamu.

Bryan segera duduk di sofa tamu; membuka perlahan sebuah dokumen rahasia Federation yang begitu penting. Tangannya langsung gemetaran setelah membuka halaman pertama. Dadanya begitu sesak. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan, dan ingin sekali langsung bertanya. Tapi segera mengurungkan niatnya, terlalu dini untuk bertanya. Ia mencoba membaca, dan mempelajari keseluruhan dokumen rahasia ini terlebih dahulu. Daripada nanti disemprot oleh ayahnya.

Sekitar 15 menit lebih sedikit, Bryan menghabiskan waktunya untuk mempelajari seluruh isi dokumen rahasia itu. Ia begitu tegang. Kemudian perlahan memandang ayahnya yang sedari tadi menunggunya dengan raut wajah tak kalah tegang.

"Apa komentarmu tentang dokumen itu?" tanya Jend. Havoc sambil berdiri, bersandar pada meja kerja, kedua tangannya berada di saku celananya, ia berusaha terlihat santai.

"Apa yang para ilmuwan lakukan? Tak bisakah membantu memecahkan masalah ini?" tanya Bryan sambil berdiri, ia terlihat panik. Pikirannya hanya satu, Rachel!!!

Jend Havoc melirik jauh ke jendela, dimana luar angkasa terpampang jelas disitu. "Berbagai cara telah dilakukan sejak tahun lalu. Mereka tak dapat memperhitungkan semuanya, jumlahnya terlalu banyak. Seolah-olah mereka tak ada habisnya. Kita kekurangan power untuk mencegat semuanya." jawab Jend. Havoc sambil berjalan menghampiri jendela ruangannya. Mengamati suatu lokasi di luar sana.

"... .. ..." lidah Bryan kelu seketika. Ia tak sanggup berkata apa-apa lagi selain berpikir keras, mungkin ada sesuatu yang terlewat oleh mereka semua. Tapi sepertinya mustahil. Ia hanyalah anak ingusan kemarin sore, tak sebanding dengan mereka yang telah berpengalaman.

"Sekitar dua jam lagi, mereka yang ada di Bumi pasti dapat melihat dengan jelas dengan mata telanjang. Badai meteor terbesar dan terbanyak yang akan menghantam Bumi. Kita pasti musnah." lanjut Jend. Havoc sambil mengeluarkan ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Dengan malas-malasan ia mengangkat panggilan itu, "Laksanakan sekarang. Aku akan tiba di anjungan sebentar lagi." perintahnya begitu datar. Menutup panggilan, kemudian mengantongi ponselnya.

"Tunggu pasti ada cara!" sahut Bryan mendadak. "Kenapa tidak mengerahkan seluruh armada? Sekaligus menggunakan meriam Mata Langit?"

Jend. Havoc berbalik dengan cepat, menatap Bryan dengan penuh harap. "Itu rencana terakhir kami. Tapi yang terpenting, aku ingin menyelamatkanmu. Pergilah ke galaksi lain. Jangan pernah kembali kemari. Beberapa prajurit terpilih telah selesai melewati tes seleksi. Aku mengikutkanmu tanpa tes. Bergabunglah dengan mereka. Bentuk koloni baru di galaksi lain. Patuhi ibumu." ucap Jend. Havoc begitu tegas, sambil terus melirik ke arah jendela.

Tubuh Bryan bergetar, ia tampak sangat terguncang. Ia benar-benar tak siap akan berita ini. Terlebih lagi perintah 'evakuasi terpilih', yang langsung keluar dari mulut ayahnya itu, seolah menjadi pembenaran akan ucapan Rachel, bahwa Federation itu kejam, tak peduli kawan atau lawan, semua harus tunduk pada aturan dan perintah Federation. "Rachel..." gumam Bryan lirih.

Jend. Havoc menghela napas beratnya. "Pacarmu itu, tak ada harapan. Ia benci Federation. Terlebih lagi, menurut catatan yang ada, kemampuan bertempur keluarganya biasa-biasa saja. Aku tak bisa mengikutkannya dalam koloni terpilih, aku tak ingin membebani misi 'evakuasi terpilih' ini." lanjut Jend. Havoc sambil berjalan kembali ke kursi kerjanya.

"Tapi ayah!" cegah Bryan tak tau harus berkata apa lagi.

"Jangan panggil aku ayah! Panggil aku Jenderal Havoc! Aku ini atasanmu!" bentak Jend. Havoc begitu tegas tapi sangat berat.

Bryan terhenyak seketika. Bukannya takut, tapi malah menandingi emosi ayahnya. Tanpa banyak bicara, ia langsung menendang meja tamu yang terbuat dari kaca hingga terbalik dan pecah berantakan. Kemudian keluar dari kantor ayahnya itu dengan wajah bersungut-sungut.

Begitu membuka pintu, sebuah tamparan keras langsung diterima olehnya, dari seorang wanita berpakaian Fleet Admiral yang begitu rapi. "Ibu..." ucap Bryan lirih.

Jend. Havoc hanya tersenyum sinis melihat tingkah anaknya itu. Terlebih lagi situasi di luar jendela begitu ramai sekali. Tampak gemerlap sinar laser, dan tembakan Meriam Mata Langit, serta berhamburnya berbagai jenis misil. Berupaya sekuat tenaga menghancurkan seluruh meteor, yang melesat ke arah Bumi dalam jumlah yang begitu luar biasa banyaknya.

* * *

Waktu menunjukkan pukul 5 pagi, lewat 30 menit.

Mata Rachel tampak merah dan sayu, selain menahan ngantuk, ia baru saja selesai maraton menangis histeris, meratapi kehidupannya. Memikirkan kekasihnya yang ia cintai sedang berada di atas sana. Tak tau nasib dan takdir selanjutnya apa yang akan terjadi. Ia hanya bisa berdoa dan berharap, semoga panggilan itu hanyalah rasa kangen biasa antara ayah dan anak, tak lebih. Bukan sebuah penugasan yang dapat membahayakan nyawanya. Karena ia benar-benar mencintai Bryan melebihi apa yang ia sukai dan ia miliki di dunia ini.

"Cepatlah kembali... sayangku..." ucap Rachel lirih, kemudian terlelap, karena begitu lelah dan ngantuk berat. Ia tertidur tanpa sempat melepas sepatu dan sweaternya.

Tak lama kemudian, pintu rumahnya digedor-gedor oleh banyak orang. Tapi Rachel tak mendengarnya sama sekali, ia benar-benar terlelap kecapaian.

* * *

Bryan berulang kali mendesah, duduk termenung sendirian di kafetaria Mothership 'Aila Lavez'. Dihadapannya terdapat secangkir kopi hitam panas. Ia tampak sangat depresi. Tak disangka ia akan menuruti kemauan orang tuanya berpisah dengan kekasihnya. Meninggalkannya sendirian dalam kematian yang tinggal beberapa jam lagi.

Bryan menarik napasnya yang berat, memandang sekelilingnya. Rupanya mereka yang terpilih dalam misi ini, kebanyakan berwajah muram semua, begitu gelisah. Kurang lebih berekspresi sama seperti dirinya. Sedikit ada perasaan lega karena ada yang bernasib sama, tapi ada rasa gejolak yang begitu menyesakkan dada. Tak sanggup berbuat apa-apa, untuk orang-orang yang ditinggalkan tak ikut misi 'evakuasi terpilih' ini.

Beberapa menit kemudian terdapat pengumuman terakhir. 10 detik lagi pesawat mereka akan melakukan Hyper Fold Jump. Membuat hati trenyuh, semakin putus asa.

"Rachel..." gumam Bryan sambil menunduk sedih.

1 mothership, 2 cruiser, 4 destroyer, dan 7 frigate, serta 3 stasiun koloni, baru saja melakukan lompatan cahaya menuju galaksi lain. Tepat sebelum barisan pertahanan Federation bertubrukan dengan meteor-meteor yang jumlahnya tak terkira banyaknya, tanpa diperbolehkan untuk manuver menghindar. Karena perintah jelas! Pertahankan Bumi, jangan keluar dari garis pertahanan, apapun yang terjadi. Jadilah tameng untuk Bumi. Tapi tetap saja ada beberapa yang membangkang dan melakukan manuver menghindar, melarikan diri, melakukan Hyper Fold Jump. Sebelum mereka mati tersambar badai meteor yang ganas dan brutal.

* * *

Waktu menunjukkan sekitar pukul 6 pagi. Tapi pagi ini cuaca benar-benar tidak bersahabat. Matahari tak menampakkan dirinya, bersembunyi dibalik mendung yang hitam pekat. Bahkan anginpun bertiup dengan sangat kencang. Cuaca benar-benar berubah secara drastis begitu ekstrem, suasana begitu mencekam bagai malam yang kelam. Hanya secerca sinar di sebelah Barat. Begitu terangnya, sampai orang-orang mengira itu adalah Matahari yang terbit dari sebelah Barat.

Seorang bocah berusia 12 tahun tengah berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah sebuah pemakaman umum. Pemakaman umum yang berada di distrik terluar dari Venistre.

Bocah itu berjalan dengan membawa seikat bunga bakung putih yang indah, begitu menawan hati. Sangat kontras dengan dirinya yang terlihat kumal acak-acakkan, serta penuh luka akibat pertempuran dengan benda tajam.

Setelah sampai dihadapan sebuah batu nisan tanpa nama yang lumayan besar, ia segera menaruh bunga bakung putihnya, kemudian menundukan wajahnya yang tanpa ekspresi. Darah mulai menetes dari balik rambutnya. Mengalir melewati pipinya yang lebam.

"Selamat ulang tahun ayah." bersamaan dengan ucapan ini, gelegar membahana terjadi di langit, kilauan cahaya ledakan bertubi-tubi terjadi diseluruh penjuru langit pada lapisan teratas.

Tiba-tiba bocah itu terbatuk, menyemburkan darah. Darahnya mengenai batu nisan didepannya itu. Kemudian ambruk, jatuh berlutut. Dengan gemetaran berusaha bertahan menggunakan tangannya. Ia terlihat memendam amarah yang luar biasa. Bersamaan dengan dirinya meninju tanah dibawahnya, petir menyambar sebuah pohon tak jauh dari dirinya. Butiran air mulai jatuh dari langit, dan disusul oleh butiran lainnya. Seketika itu juga hujan deras mengguyur bumi.

"Nghhh..., tch!" bocah itu tiba-tiba meringkuk kemudian memegangi dadanya dengan gemetaran. Ia kembali terbatuk memuntahkan darah.

Air yang menggenang dibawah dirinya, kini bercampur dengan darahnya. Membuat bajunya semakin kotor. Sementara langit yang gelap terdapat bayangan menyala kemerahan di atasnya, bagai dipenuhi oleh lidah-lidah api. Dengan sekuat tenaga ia ingin berusaha bangkit kembali. Tapi ia hanya dapat kembali berlutut, sambil menundukkan kepalanya, yang terus saja meneteskan darah segar ke tanah.

"Ayah mengajarkanku..." ia terhenti sejenak, mengusap bibirnya yang belepotan dengan darah. Setelah itu ia berteriak sekuat tenaganya sambil bangkit berdiri, "Menjadi seorang laki-laki tidak boleh lemah sedikitpun!!!" ia berteriak keras sekali sambil menengadah ke langit tinggi di angkasa. Bersamaan dengan teriakannya, petir kembali menggelegar dengan sangat keras dan hujan semakin turun dengan deras, disertai angin badai yang sangat kencang. Terlebih lagi, hawa disekitar berubah menjadi begitu panas dan membara, air hujan terasa panas bagai air mendidih.

Sekali lagi ia terbatuk memuntahkan darah dan kemudian langsung ambruk jatuh ke belakang. "A-aku gagal..., t, tunggu aku..." rintihnya sambil memejamkan matanya perlahan-lahan. "Tunggu aku ayah..." lanjutnya kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Sebuah batu meteor raksasa tiba-tiba keluar dari balik mendung, menghujam cepat, dan terus meluncur tajam menuju area pemakaman itu.

Sebelum ledakan besar menghancurkan segalanya, batu nisan tak bernama itu hancur berkeping-keping. Memunculkan sebuah nisan baru di dalamnya. Yang terbuat dari logam yang begitu mengkilap. Seberkas plasma beam berwarna biru tampak berpendar, melapisi lekukan panel pada permukaan nisan logam itu. Membentuk sebuah nama 'Fizdia'. Kemudian ledakan api raksasa yang mematikan segera membumbung tinggi hingga lapisan teratas dari bumi. Seperti halnya ledakan api pada wilayah lainnya. Semua terjadi secara bersamaan diseluruh penjuru Bumi. Getarannya langsung memicu reaksi letusan gunung-gunung berapi yang aktif.

Tahun yang kelam ini adalah tahun 2019 Masehi. Sejak saat itu penanggalan masehi telah berakhir, berganti menjadi sistem penanggalan Riesa. Bumi mengalami kerusakan yang amat parah, yang disebabkan oleh badai meteor. Tak ada satupun negara yang sanggup mencegah, maupun menanggulangi bencana ini.

Kekacauan melanda bumi dengan begitu hebatnya. Meski beberapa orang mencoba untuk menjadi pahlawan, hasilnya tetap sama. Yaitu nol atau kosong. Mereka malah saling menghancurkan antara satu dengan yang lainnya. Manusia saling memperebutkan sumber daya alam yang sangat terbatas, guna menyambung hidup mereka masing-masing.

Tragedi ini dinamakan Riesa Shutting. Tragedi dimana bumi benar-benar hancur dan tak layak untuk ditinggali. Dari total seluruh populasi di bumi yang jumlahnya mencapai ratusan milyar, kini hanya 1 juta saja yang selamat.

Upaya bertahan hidup yang ekstrem terus dijalani oleh sisa manusia saat itu. Hingga akhirnya yang dapat bertahan hidupnya hanyalah berjumlah tak kurang dari ratusan ribu orang saja.

Disamping itu, pihak Federation yang ingin membantu mereka, juga tak luput dari bencana mematikan itu. Dua Mothership andalan mereka, yaitu Mothership Vleniscush dan Mothership Valhalla pun hancur tak terelakkan. Bahkan menurut rumor, Mothership 'Digital Promises' sebagai markas pusat pun telah menjadi tempat tak berpenghuni, karena kerusakan yang sangat parah. Meriam Mata Langit hancur menjadi serpihan sampah luar angkasa. Hampir 90% armada Federation yang berusaha mempertahankan bumi telah hancur. Badai meteor kali ini, kekuatan dan jumlahnya diluar dugaan mereka semua. Berita kehancuran galaksi mereka telah menyebar keseluruh alam semesta. Galaksi Milky Way telah menjadi tempat yang sangat mengerikan. Status galaksi mereka adalah 'Exile'.