webnovel

Bertahan Hidup

Rachel mengikuti pak Borlan ke lantai dua, pikirannya kacau; ia belum begitu memahami keadaan yang terjadi. Jantungnya masih berdetak kencang; baru saja melewati serangkaian kejadian menyeramkan, sudah pasti tak dapat ia lupakan seumur hidup. Itupun bila ia masih hidup hingga besok. Belum pernah ia menyaksikan dan menerima hal sekejam itu sebelumnya. Bahkan pelatihan akademis yang sempat membuatnya menyerah dengan kehidupan ini, masih lebih baik dibanding kejadian yang baru dialaminya.

Rachel menaiki tangga rumah pak Borlan menuju lantai dua. Dalam setiap langkahnya, masih sempat mengenang keluarganya yang telah gugur di medan pertempuran. 'Apakah seperti ini? Kondisi dan rasanya berada di medan pertempuran?' ucapnya dalam hati dengan tubuh menggigil ngeri.

Setiba di lantai dua, pak Borlan segera berbalik. "Maafkan aku Rachel." ucapnya dengan wajah yang sedih, terlihat serba salah.

Rachel tak memperhatikan sekelilingnya dan baru saja menginjak tangga terakhir. "Hmm?" jawabnya sambil mendongak, menatap wajah pak Borlan yang tiba-tiba saja meledak berhamburan ke lantai, diterpa beberapa peluru sekaligus dari samping.

Mata Rachel terbelalak seketika, tubuhnya gemetar begitu syok. "Aaaaaaaa...!!!" ia menjerit histeris untuk kesekian kalinya. Terlebih lagi pandangannya kini tertuju pada istri pak Borlan, bu Kelly sedang digumuli beberapa orang sekaligus di ruang tengah lantai dua. Pakaiannya semrawut, tanpa dapat melawan sedikitpun, terlihat pasrah. Bu Kelly menatap sayu ke arah Rachel, antara benci dan iba. Sangat liar sekali kelakuan para pengacau itu. Seolah-olah ingin sekali mencoba hal paling buruk, yang belum pernah mereka lakukan, selagi masih diberi hidup.

Sekian detik, Rachel memandang kejadian yang tak lazim tersebut, tentu saja jantung Rachel serasa ingin meledak. Tubuhnya panas dingin, panik luar biasa, merasakan dirinya benar-benar terancam, tak ingin hal gila itu terjadi padanya. Tapi Rachel baru menyadari, bahwa rumah pak Borlan telah dipenuhi para pengacau. Beberapa diantaranya ada yang sedang mengumpulkan barang-barang berharga milik pak Borlan.

Rachel berharap Angela menyelamatkannya lagi. Tapi setelah sekian detik yang terasa begitu cepat berlalu untuk menunggu; tak ada tanda-tanda kemunculan Angela disekitar dirinya. Yang terlihat adalah senyum lebar para pengacau; bahkan diantaranya tertawa terbahak-bahak. Tatapan mata mereka begitu liar, seolah menembus pakaian Rachel; Mereka ingin menikmati tubuh Rachel sepuas-puasnya, selagi mereka masih hidup. Langsung saja Rachel berbalik turun dengan cepat.

Setiba di bawah, dari arah dapur bermunculan beberapa orang pengacau lainnya. Membuat dirinya semakin panik, berlari menghindar sembari menjerit ketakutan, tak tahu apa yang harus diperbuat. Seketika ia teringat akan keluarganya yang gugur di medan pertempuran. Setiap penduduk Federation pastilah mendapat wajib militer, meskipun panggilan pertamanya hanyalah berupa akademis tanpa ada penugasan misi. Setidaknya akan berguna suatu saat, dan inilah saatnya.

Tapi Racehel segera tersadar. 'Bodoh! Mereka semua juga penduduk Federation, pasti juga ikut wajib militer.' batin Rachel putus asa. Air matanya kembali berlinang, tubuhnya gemetaran, jiwanya benar-benar terguncang.

Rachel segera berlari menuju pintu depan, tapi seseorang sedang berjaga sambil tertawa terkekeh-kekeh penuh kemenangan. Terlihat jelas nafsu orang yang menghadangnya sudah tidak dapat di tahan lagi.

"Ampun.. ampuni aku..." iba Rachel penuh harap, begitu mendapati dirinya terkepung rapat di ruang tamu. "A-aku mohon.." lanjut Rachel sambil memandangi mereka semua.

Tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita. Tak ada pasokan listrik pada seluruh area. Suara pertempuran sempat terhenti sesaat, yang terdengar hanyalah gejolak alam yang membahana, seolah mengamuk dengan keadaan dunia saat ini.

Rachel terpaksa mengandalkan pendengarannya. Ia berusaha menjauh perlahan-lahan dari para pengacau yang hendak menangkapnya. Merangkak kesana-kemari, melarikan diri sebisanya. Memasuki kolong meja makan, beralih ke dapur. Mencoba mendapatkan sebilah pisau untuk senjata bagi dirinya.

Tiba-tiba lengan kiri Rachel menyenggol seseorang. "Baa..!!! Kena kau!!!" teriak seorang pengacau sambil mendekap tubuh Rachel dengan cekatan. Meraih dirinya dari belakang, dan langsung menguncinya rapat-rapat.

"L-lepaskan...!!!" teriak Rachel meronta dengan sekuat tenaganya.

Tenaganya tak seimbang, terlebih lagi pria yang mendekapnya seolah memiliki kekuatan super; bagai kesetanan; memiliki hawa nafsu yang tak dapat dibendung. Belum lagi tangan-tangan pengacau yang lain, mulai berdatangan menjamah tubuhnya.

Tiba-tiba terdengar gemuruh; menggelegar hingga memekakkan telinga. Bahkan keadaan di luar rumah terang benderang, sangat silau oleh sebuah pancaran cahaya yang sangat kuat. "Aaaaaa...!!!" Rachel terhempas kuat bersama para pengacau disekitarnya. Telah terjadi sebuah ledakan dahsyat dari meteor jatuh yang sangat besar. Pusat titik jatuh sekitar empat belas blok dari area rumah pak Borlan. Meluluh lantakkan apa saja yang terkena radiasi ledakan. Kemudian disusul beberapa meteor yang jatuh lagi, pada area lain, dan area lainnya lagi.

Marauder dihantam meteor bertubi-tubi hingga genap enam kali. Area yang terhantam meteor, telah rata semua, tak tersisa. Kubah energi pelindung tak lagi nampak, dan kabut asap hitam pekat telah memenuhi seluruh penjuru kota.

Tubuh Rachel terhempas dengan kecepatan tinggi, melayang di udara, membara dalam kobaran api. Matanya sayu, pandangannya kosong, seolah tak memiliki harapan hidup. Ajal akan segera menjemputnya. Apa yang ia lalui hanyalah kabut asap hitam, yang bila terhirup begitu sesak, ada rasa terbakar pada paru-parunya. Membuatnya terbatuk hebat memuntahkan darah berulang kali, bahkan hidungnya mimisan seketika. Ia tak sanggup menangis, maupun merintih; meski hanya untuk mengekspresikan rasa sakitnya. Ia benar-benar pasrah dengan keadaan dirinya.

Berselang kemudian, tubuhnya menukik tajam, meluncur cepat, menghantam tanah dengan sangat keras; seluruh tulangnya patah; sebagian hancur berantakan. Tubuhnya yang tersisa berkedut sesaat dalam kobaran api; mulutnya mengalirkan darah; begitu juga dengan telinga, dan hidungnya; kemudian tak bergerak sama sekali.

* * *

Kondisi Marauder rusak parah, tak lagi mengapung seperti semula. Kandas di sebuah padang rumput yang luas, dekat hutan Rabanastre. Ledakan demi ledakan terjadi diseluruh area; jeritan menyayat hati yang terdengar saling bersahutan. Kekacauan masih saja berlangsung, tak ada yang sanggup menghentikannya. Banyak prajurit Federation terbantai oleh kekejaman penduduk Venistre yang begitu beringas dan tak terkontrol. Tak sedikit Agen ESPD (Extra Sensory Perception Division) melarikan diri, dan mati-matian bertahan dari serangan para pengacau, yang tentunya juga memiliki kemampuan ESP seperti mereka.

Sevire terluka parah, tergeletak di jalanan dengan tubuh penuh luka tembak, serta serpihan benda-benda disekitarnya menancap di tubuhnya.

Sedangkan Angela tertindih sebuah puing-puing reaktor di taman kota, hanya menyisakan kedua kakinya yang utuh terlihat. Sebagian tubuhnya terlihat tercecer di tanah.

Satu-satunya yang mendapat luka ringan hanyalah Soren, ia sedang menyeret kaki kiri yang hampir putus; berjalan terseok-seok mencari tempat yang aman untuk memulihkan tubuhnya. Ia baru saja menggunakan serum 'healing potion', tapi lukanya cukup parah, satu kali injeksi pastilah kurang. Tapi sayang, ia tak memiliki serum penyembuh lagi. Terpaksa berjalan mencari sisa-sisa serum penyembuh di antara tumpukan mayat. Kabut asap hitam tampak menyingkir dengan sendirinya, tak berani menyentuhnya.

Soren tiba di sebuah gang kecil, yang dirasa cukup aman untuk beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan pencarian serum penyembuh. Darah mengalir deras dari kakinya yang hampir putus.

"ESPD bangsat!!! Matilah kalian!!!" tiba-tiba bermunculan para pengacau; dengan beringas langsung menyerbu diri Soren dari depan dan belakang yang tadinya sepi. Soren mengernyitkan dahinya, mendengus dalam senyumnya yang sinis. Darah memuncrat dari tubuhnya, seiring tubuhnya dihujami berbagai senjata dari berbagai arah. Meregang nyawa dengan tetap berdiri tegap.

Bersamaan dengan kejadian ini, jauh di atas langit terlihat ledakan besar menyalak-nyalak; tapi bukanlah meteor yang sedang menembus lapisan atmosfir Bumi. Melainkan berasal dari suatu bayangan temaram, transparan berukuran raksasa diselimuti api, meluncur turun dengan perlahan. Dapat dipastikan itu adalah pesawat induk 'Digital Absolute', dimana Neil berada. Yang kemudian terjadi ledakan dahsyat, membuat pesawat induk 'Digital Absolute' terbelah menjadi beberapa bagian, kemudian hancur berkeping-keping. Serpihannya tersebar luas, dari pegunungan Tiamo, hingga laut Balaca.

Sevire, Angela, dan Soren, tubuh mereka berpendar aura putih; kemudian muncul partikel cahaya; gemerlapan berhamburan ke udara; seolah meninggalkan jasad mereka, yang telah berkorban untuk dunia ini.

* * *

Di suatu tempat, di galaksi lain...

Seberkas kilatan cahaya menyilaukan mata, muncul dari ruang kosong, ukuran kilatan cahaya ini begitu besar dan banyak sekali. Memunculkan armada Verizzon Federation yang dipimpin oleh Fleet Admiral Veronica. Mereka telah tiba disebuah galaksi yang diprediksi tak berpenghuni. Mereka menamainya galaksi Ashvitar.

Tanpa terasa Bryan meneteskan air matanya, jatuh membasahi meja kafetaria. Dadanya begitu sesak, pikirannya kalut, hatinya begitu trenyuh.

Dalam sekali tindak, melepaskan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun; dalam sekali hempas; menepis cangkir kopi di hadapannya dengan sekuat tenaga. Ia benar-benar tak peduli dengan sekitarnya. Dalam sekian detik, cangkir kopi itu berantakan di lantai, isinya pun mengotori area sekitarnya. Kini seluruh mata tertuju padanya.

Tak banyak yang berkomentar, mereka tenggelam dalam perasaan mereka masing-masing, kecuali seorang wanita yang tampak tenang dan kalem. Wanita ini menghampiri Bryan dengan santai.

Tanpa disadari oleh Bryan, sebenarnya wanita ini telah duduk di meja sebelah, sebelum mereka melakukan Hyper Fold Jump, mengawasi seluruh tindakan Bryan dengan tatapan yang sinis.

Wanita ini menatap tajam ke arah Bryan yang tertunduk begitu menyedihkan. Raut wajah wanita itu menunjukkan kebencian yang sangat mendalam. Tapi ketika Bryan mendongak, raut wajah jahat wanita itu sirna seketika. Berganti dengan senyuman manis, menawan hati.

"Hai, maaf mengganggu.. boleh aku duduk disini?" tanya wanita itu sambil tetap berdiri.

Bryan masih menatap wajah wanita itu, kemudian memperhatikan dengan seksama dari atas hingga ke bawah. Ia menyimpulkan bahwa wanita ini adalah Agen ESPD (ExtraSensory Perception Division), karena tak memakai seragam ciri khas dari prajurit Federation, maupun divisi lain. Wanita ini memakai pakaian bebas, sebuah kaos ketat lengan pendek warna putih, dan celana jeans. Memperlihatkan lekuk tubuhnya yang bisa dibilang seksi. Rambutnya pirang, lurus sepinggang menambah nilai cantik pada diri wanita itu. Benar-benar menggiurkan bagi mereka yang memandangnya.

Bryan menghela napasnya yang begitu berat. "Ya, boleh." jawab Bryan sambil terus menatap wanita itu.

Wanita itu tersenyum lagi, "Ok, terima kasih." jawab wanita itu sambil duduk. "Namaku Cindy, namamu?" tanya wanita itu sambil mengulurkan tangannya.

"Bryan." jawab Bryan sambil menatap tangan Cindy yang terulur padanya. Tangan Bryan tak bergerak sedikitpun.

Cindy tersenyum kecut, sambil menarik tangannya. "Baiklah, mau kuambilkan kopi lagi?" tanya Cindy berusaha mencairkan suasana.

Bryan memejamkan matanya untuk sesaat, pikirannya begitu kacau. Ia tampak berpikir keras. "Boleh." jawab Bryan sambil membuka matanya dan tersenyum pada Cindy.

"Ok!" jawab Cindy penuh semangat. Ia segera bergegas meninggalkan Bryan seorang diri, membuatkan secangkir kopi untuk Bryan dan untuk dirinya sendiri.

Bryan menatap punggung Cindy yang perlahan menjauh darinya. "Rachel..." gumam Bryan begitu lirih.

* * *

Raut wajah Cindy kembali berubah, ia terlihat begitu geram menahan emosi. Meracik kopi sambil membayangkan kejadian dimana ia tengah berbicara empat mata dengan Fleet Admiral Veronica. Tak terasa, matanya tampak berkaca-kaca. Air matanya siap terjatuh, bila saja ia tak mendongak, mengusap dengan punggung tangannya, tersenyum getir, untuk menguatkan hatinya.

Cindy Rockfort, peraih nilai tertinggi, peringkat pertama dari seluruh peserta tes seleksi 'evakuasi terpilih'. Tujuannya hanya satu, ia hanya ingin kekasihnya ikut dalam evakuasi ini. Karena hanya peringkat pertama yang diperbolehkan mengundang satu orang, siapapun orangnya, bebas!

Hari dimana ia bahagia begitu gembira, mengetahui dirinya peringkat pertama, adalah saat dimana semuanya menjadi titik balik kehancuran kehidupannya. Dengan kejinya Federation membuat keputusan sepihak untuk dirinya.

"Permisi, apa kau sudah selesai?" tanya seorang pria dari belakang Cindy. Pria berseragam khas divisi 'Teknisi Mesin'.

Mata Cindy terbelalak seketika, ada rasa senang, syukur dan kecewa, serta ketakutan yang mendalam pada diri Cindy. Bercampur menjadi satu yang membuatnya tak sanggup berpikir jernih. Ia tak sanggup menoleh kebelakang. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Keberanian pada dirinya seakan sirna begitu saja, nyalinya ciut, tak sepadan dengan kegigihan dan keberanian saat meraih nilai tes tertinggi demi peringkat pertama. Semua bagai lenyap tak berbekas.

Cindy tak menjawab. Sambil menundukkan kepalanya ia berbalik cepat, sambil menenteng nampan berisi dua cangkir kopi panas.

"Lisa..." panggil pria itu sambil menghadang langkah Cindy.

Dengan terus menunduk, Cindy berusaha menyingkir begitu saja, melewati pria itu dengan tergesa-gesa. Tapi sebuah tangan segera meraih lengannya. Membuat tubuhnya terhentak paksa, berbalik ke hadapan pria itu, dan kedua kopi diatas nampan tertumpah sebagian isinya.

"Penampilanmu berubah, tapi kau tak dapat membohongiku." ucap pria itu datar.

Cindy mendongak perlahan, menatap wajah pria dihadapannya itu.

"Kenapa kau mengingkari janjimu?" lanjut pria itu dengan wajah sedih.

Tangan Cindy terasa lemas. Seketika itu juga nampan berisi dua cangkir kopi meluncur turun ke lantai. Menimbulkan suara berisik ke seluruh penjuru kafetaria.

Kedua orang itu saling pandang. Saling menatap dengan perasaan berbeda.