15 Desember 1259 AG - 09:00 Am
Lingkungan Manor Stauven
—————
"Mascara!"
"Mascara!"
"Mascara!"
Riuh sorak para penonton menggema di telinganya. Di sekelilingnya, dia melihat tubuh-tubuh tergeletak yang semuanya memakai zirah besi. Di tengah arena itu Mascara berdiri gagah bermandikan darah.
Senjata mereka berceceran di tanah kering berdebu. Ada pedang, tombak, kapak, bahkan palu raksasa dari lawan terakhirnya. Tapi manusia setinggi 10 meter itu bukan lah lawan sepadan bagi warrior tangguh seperti Mascara.
"Kalian sudah tahu siapa aku? Hahahahaha!"
Pedangnya dia acungkan ke langit. Dia memamerkan pantulan matahari dari baja beningnya, juga bekas darah dari tepian tajamnya. Suara penonton pun semakin riuh saat kilau pedang itu menyinari seluruh arena. Sungguh warrior yang gagah. Mascara mengangkat tinggi-tinggi pedangnya dan berteriak, "Aku lah Stauven sejatiii!!!"
Sayangnya, itu semua cuma mimpi.
"Nona? Nona Mascara?"
"Dia mengkhayal lagi, kita pulang, yuk!"
"Jangan, nanti kita dihajar sama dia."
Khayalan Mascara berantakan. Suara dua anak kecil itu bagaikan banjir yang mengikis riuh sorak para penonton. Dia melihat banjir itu juga menghanyutkan arena, tubuh lawan-lawannya, bahkan mengganti pedang bajanya dengan pedang kayu. Gadis 10 tahun itu hanya bisa terpaku melihat semuanya hanyut semakin jauh ... jauh dan terus menjauh jauh.
"Kemenanganku ... pedang berkilauku ... hiks! merusak imajinasiku saja!"
Pedang kayu itu pun mengayun,
TOK!!!
Mascara kecil yang gagah berani. Dia selalu membanggakan nama besar ayahnya dan bercita-cita menjadi jenderal seperti marquis itu. Karena didikan ayahnya dia tumbuh menjadi gadis galak yang paling ditakuti anak-anak lain.
Rambut pendeknya acak-acakan. Wajah dekilnya berbalur debu. Sebagian giginya ompong, tidak sedikit pula bekas luka di kulit wajah dan tubuhnya. Penampilan garang itu membuat lawan-lawan tandingnya semakin hilang nyali untuk berani menantangnya lagi.
"Siapa lagi yang merasa jagoan? Sini, maju kalau berani, hahahaha!"
Mascara mengacung-acungkan pedang kayu itu kepada teman-temannya. Dia puas melihat mereka sudah takluk dengan wajah menunduk dan kepala benjol-benjol. Sekali lagi tantangan mereka dia jawab dengan kemenangan.
"Hei, kamu yang masih segar bugar, sini lawan aku!" ujar Mascara, menunjuk anak yang agak gendut.
"Sa—saya sedang tidak enak badan, Nona Mascara!"
"Nona?" Mascara menjawab dingin. Dia menghampiri si gendut dan menarik kerah lehernya. "Nona, katamu?" Dia picingkan matanya saat bicara setengah mengancam. "Hei, Gendut, bisa tunjukan bagian manaku yang mirip perempuan?"
Sebagai warrior, sebutan 'nona' itu lebih mirip ledekan di telinganya. Pantang bagi Mascara untuk disama-samakan dengan mahluk lemah yang bernama perempuan. Dia mengoles-oleskan pedang kayunya ke pipi si gendut itu dan mengulang lagi pertanyaannya.
"Bagian manaku yang beda sama kamu, hah? Ayo jawab!!!"
Si gendut itu semakin panik. Tak kuasa, bola matanya mengarah ke celana pendek Mascara.
Gadis 10 tahun itu terperanjat. Tidak tahu kenapa tiba-tiba rasa malu melandanya. Badannya semakin merinding saat si gendut itu mengarahkan telunjuk ke bawah.
"Kyaa! Dasar mesum!!!"
TOKKK!!!
Mascara menendang si gendut itu setelah memukul kepalanya dengan pedang kayu. Merasa iri, dia pandangi selangkangan semua anak laki-laki.
"Suatu saat nanti ituku pasti tumbuh seperti punya kalian! Tunggu saja!"
"Pfftt ...."
"Hahahaha!"
TOK!!
PLETAKKK!!!
"Ayo, tertawa lagi kalau berani!"
Mascara selalu merasa bahwa dirinya adalah laki-laki. Setiap kali mandi, dia selalu berdoa semoga dia punya bagian tubuh yang sama seperti dua adik laki-lakinya. Tapi Lord tidak adil. Gadis itu melampiaskan kekecewaan pada anak-anak yang masih tertawa. Setidaknya, sampai seorang anak menghampiri Mascara sambil berteriak panik.
"Nonaaa! Ga—ga—ga—gawaaatt!!!"
Mascara melihat anak itu berlari tergesa dari arah di mana tadi dia meninggalkan kedua adiknya. Begitu anak itu tiba, gadis itu langsung berkacak pinggang.
"Ada apa?"
"Tu—Tuan Muda Simian dan Tu—Tuan Mud—Muda Vodi Di—Di—
TOKKK!!!
"Ngomong yang jelas! Ada apa sama adik-adikku?"
"Mereka dianiaya lagi, Nona—maksudku Tuan Muda Mascara!"
***
"Dasar bisu!"
"Iya! Bisa-bisanya anak cacat mental ini jadi keluarga Stauven!"
Belasan remaja berambut pirang emas mengerumuni dua anak kecil yang jauh lebih muda dari mereka. Dua anak kecil itu saling berpelukan dengan wajah sedikit lebam.
"Jangan hina adikku!" teriak seorang anak berambut merah. Di antara marah dan takut, anak itu memberanikan dirinya bicara balik. "Per—pergi kalian, jangan ganggu kami, hiks! Mascara, kamu di mana? Hiks!"
"Dia mengadu sama cewek, hahahaha!"
"Mau aku hajar lagi? Ayo ngomong lagi!"
Si rambut merah itu langsung diam.
Keningnya sudah berdarah. Anak umur enam tahun itu duduk memeluk anak kecil lain yang berusia tiga tahun lebih muda darinya. Sang adik yang dia lindungi, justru tertawa tanpa suara dengan wajah bodoh.
"Lihat anak cacat mental ini, dia idiot sekali! Dia bahkan menyangka kita mengajaknya bermain, hahahaha!"
"Hahahahaha!"
"Cuih! Menjijikan!"
Anak berambuh merah itu tidak tahan lagi melihat adiknya diludahi. Dia peluk adiknya erat-erat meski si bisu itu justru menganggapnya lucu.
"Jangan hina—
BUGH!!!
Belum selesai kalimat protesnya, si rambut merah itu memegang perutnya yang kena tendang. Dia mencoba meraih adiknya yang ditendang hingga berguling. Adiknya yang cacat mental itu justru bertepuk tangan seakan penganiayaan itu hanyalah gurauan.
"Jangan lukai—
BUGH!!!
"Masih berani ngomong lagi?"
BUGH!
"Jangan lukai Vodi, hiks ...."
"Kamu nantang ya?"
"Hajar saja si Stauven palsu ini!"
"Iya, hajar saja! Orang tua kita sudah muak sama dia!"
Tendangan keempat meluncur ke perutnya. Tendangan itu sangat keras sehingga napasnya tersengal, liur kentalnya juga menetes. Saat dia jatuh meringkuk pun belasan anak berambut pirang itu justru menginjak-injak badannya.
"Hei, si rambut merah itu putera marquis, bukan?"
"Psttt ... jangan ikut campur urusan mereka, bahaya."
Orang-orang dewasa hanya bisa bersimpati melihat anak kecil itu dianiaya. Mereka hanya melihat sekilas sebelum berlalu seakan tak pernah menyaksikan apapun. Anak berambut merah itu pun terkulai pingsan. Tapi gerombolan anak pirang itu masih juga mengeroyoknya.
"Hei, dia tidak bergerak."
"Apa dia mati?"
"Biarkan saja. Ayo kita kencingi dia!"
Usulan itu berlanjut belasan anak pirang emas yang membuka celana mereka. Sambil tertawa mereka mengencingi Simian kecil yang sudah tidak sadarkan diri. Pesta pora itu baru berhenti ketika terdengar suara benturan yang sangat keras.
Sejenak, suasana senyap. Salah satu dari mereka mengusap cairan kental yang mengalir dari jidatnya. Matanya terbelalak saat melihat cairan hangat itu ternyata berwarna merah.
"Kep—kepalaku berdarah!"
Seluruh anak pirang itu kontan menoleh ke belakang. Mereka terkejut ketika melihat seorang anak berambut hitam sedang memegang pedang kayu berlumuran darah. Mata Mascara memerah. Napasnya tersengal tak mampu menahan amarah.
"Dia kembali!"
"Cewek monster!"
TOK!!!
TAKKK!!!
BUGH!!!
Tanpa ampun Mascara memukuli mereka satu-persatu. Tak berhenti di situ saja, si tomboy itu juga mengayunkan kayu pada otong mereka yang belum sempat masuk celana. Beberapa remaja itu pun pingsan di tempat. Gadis itu masih menggila dan mengejar sisanya meski mereka sudah berhamburan ke segala arah.
"Jangan ganggu adikku lagi!" teriaknya saat melempar batu kepada mereka. "Awas kalau ketemu aku di jalan, aku hajar kalian! Hiks!" Mascara menangis. Dadanya terasa sesak ketika melihat ada darah di sudut bibir si bungsu. "Para Stauven itu kejam sekali, hiks! Maafkan aku, Vodi."
Keringat dan air Mascara mengucur saat mengelus kepala botak adik bungsunya. Dia mendekapnya sambil mencari-cari adiknya yang lain. Gadis itu terperanjat begitu melihat kondisi si rambut merah ternyata jauh lebih parah.
"Simian!!!"
Mascara berlari menghampiri Simian yang tergeletak berlumuran darah. Dia semakin panik saat menyadari adiknya sama sekali tidak bergerak. Anak berumur enam tahun itu masih lunglai sekeras apapun Mascara menggoncang-goncangkan tubuhnya.
"Hiks, bangun, Simian, hiks ... Banguuun! Maafkan aku meninggalkanmu, hiks! Uwaaaaa!!!"
Mascara peluk si rambut merah itu. Ingusnya mengalir mengiringi airmata yang membasahi pipi berbintiknya. Dia menampar-tampar pipi Simian dan berharap adiknya itu mau bangun.
Namun, Simian masih terkulai lemas dengan darah mengalir dari hidung dan telinganya. Karena anak itu belum bangun juga, Mascara langsung menaruh Simian di punggungnya dan berlalu dari tempat itu.
Mascara pun melangkah bersama penyesalan dan rasa bersalah yang dia tanam.
"Berhenti tepuk tangan, Vodi," tegurnya pada si bungsu yang masih ceria mengikutinya. "Tidak ada yang lucu, Vodi, tidak ada yang lucu, hiks."