webnovel

BOUND BY PROMISE

Sepasang sahabat yang tidak pernah bermimpi akan menjadi pasangan kekasih. Mereka hanya percaya pada apa yang mereka jalani selama ini, termasuk hubungan dekat sebagai seorang teman. Rainold Faya adalah anak tunggal dari Fadly dan Raya. Laki-laki itu sering sekali menyangkal pertanyaan dari Papanya sendiri yang mengatakan tentang bagaimana perasaannya terhadap seorang gadis yang selalu bersamanya sedari kecil. Raina Martha adalah anak tunggal dari Amar dan Mitha. Gadis itu sudah memiliki kekasih yang begitu sangat posesif terhadapnya sehingga membuat mereka sering bertengkar dan sahabatnya selalu menjadi penengah diantara keduanya. Orang tua mereka adalah sepasang sahabat sedari kecil, sama halnya seperti Rai dan Rain. Entah bagaimana takdir mempermainkan keduanya, berawal dari sebuah perjanjian yang dibuat ketika masih berumur 5 tahun. Persahabatan mereka terikat oleh sebuah janji yang menjadi takdirnya suatu hari nanti. Keduanya tidak bisa menentang hal itu sehingga Rai dan Rain terbelenggu dalam sebuah perjodohan. Entah itu akan berakhir bahagia atau tidak, tanpa disadari bahwa perjodohan menyatukan mereka dan menjadi penentuan dari kisahnya. Lantas, bagaimana kehidupan mereka selanjutnya setelah menikah ? Art by Pinterest

giantystory · 都市
レビュー数が足りません
280 Chs

SEMUA ORANG MENCARI RAIN

Di tengah keramaian para murid sekolah yang sedang terburu-buru untuk pulang, ada salah seorang laki-laki yang seperti sedang mencari keberadaan sahabatnya membuat Samuel dan Denis yang melihatnya pun langsung saling menatap satu sama lain seolah sedang memikirkan hal yang sama.

"Rai," panggil Samuel kepada seseorang yang saat ini berada di depan pintu kelas Rain. "Percuma lo cari dia, nggak bakal ada."

"Maksud lo?" Kening Rai langsung berkerut setelah mendengarnya.

Samuel menatap Denis yang saat ini juga sedang memandangnya sebelum akhirnya laki-laki itu menghela nafas dan berkata, "Rain pulang bareng sama Vano tadi."

"Hah?!" ujar Rai terkejut. "Serius lo?"

"Iya," jawab Denis. "Udah, deh, lo nggak usah ngarep sama dia yang udah punya pacar!"

Samuel langsung membelalakkan kedua matanya mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seseorang yang berada di sampingnya saat ini. Kemudian berdeham sebelum akhirnya kembali memandang Rai yang sedang menatapnya dengan kening yang berkerut.

"Rai, mending kita cabut aja, yu."

"Ke mana?" sahut laki-laki itu menghela nafas. "Gue kayanya nggak bisa."

"Sok sibuk banget,sih, lo."

Rai langsung mengedikkan bahunya, kemudian melangkahkan kakinya menuju ke area parkiran Sekolah. Sedangkan Denis dan Samuel yang melihatnya pun hanya menggelengkan kepala dengan helaan nafas panjangnya.

"Lo lihat sendiri 'kan? Dia mau nyelonong pergi gitu aja, gimana gue nggak kesel coba?!"

"Lo juga," ujar Samuel menatap seseorang yang berada di sampingnya itu.

"Hah? Maksud lo, apaan?"

"Lo juga kenapa tiba-tiba marah terus," lanjut Samuel. "Darah tinggi, ya, lo?"

"Sialan, awas aja lo."

Denis langsung berjalan melangkahkan kakinya mengikuti Samuel yang sudah berada di depan sana membuat laki-laki itu menghela nafas.

"Ini kita mau ke mana?"

"Kita?" ulang Samuel dengan satu alis yang terangkat. "Lo aja kali, gue mau balik, bye!"

"Lha? Terus kita nggak jadi nongkrong, gitu?!"

Samuel yang hendak menaiki motornya pun langsung menghentikan pergerakannya, kemudian menoleh ke arah belakang dimana sahabatnya tersebut berada.

"Kalau ketuanya aja nggak ada, ngapain kita nongkrong berdua cuma bengong doang?"

"Iya juga, sih," gumam Denis dengan satu tangannya yang menggaruk pelipisnya. "Kalau gitu anterin gue pulang, dong."

"Nggak bisa, lo balik sendiri aja, sana." Samuel menolak mentah-mentah keinginannya sehingga membuat Denis langsung menghela nafas dengan wajah yang lesu.

Di sisi lain saat ini Rai sedang dalam perjalanan menuju ke Rumahnya dengan pikiran yang dipenuhi oleh gadis itu. Laki-laki tersebut sejak tadi tidak berhenti memandang ponselnya yang tidak menunjukkan adanya sebuah notifikasi sehingga membuat lai-laki itu pada akhirnya menghela nafas.

"Kamu ke mana, sih, Rain?" gumammnya dengan kekhawatirannya terhadap sahabatnya tersebut.

Tidak lama kemudian, akhirnya laki-laki itu pun sampai di pekarangan Rumahnya dengan wajah yang ditekuk. Rai sama sekali tidak menyapa orang-orang yang berada di Ruang tamu membuat Fadly yang melihatnya pun menggelengkan kepala.

Semua orang, termasuk kedua orang tua dari sahabatnya sendiri pun mengerutkan keningnya ketika ternyata Rai pulang seorang diri sehingga menimbulkan tanda tanya besar di antara keduanya.

"Rai," panggil Fadly kepada anak laki-laki itu. "Ke sini dulu sebentar!"

Dengan sangat terpaksa, Rai yang tadi tidak melihat keberadaan dari kedua orang tua Rain pun saat ini langsung membelalakkan kedua matanya dan menyalimi sepasang suami dan istri tersebut dengan begitu sopan.

"Maaf Rai nggak lihat tadi," ujarnya tidak nyaman. Kemudian menoleh ke arah Fadly yang sedari tadi memperhatikannya dan berkata, "Papa panggil aku?"

"Iya, kenapa kamu pulang sendiri?" tanya pria itu dengan kening yang berkerut. "Papa pikir kamu pulang bareng Rain."

"I-itu..." Rai menggantungkan perkataannya sembari memandang para orang tua tersebut dengan kebingungannya yang begitu luar biasa, karena tidak mungkin laki-laki itu memberitahukan bahwa ternyata Rain pulang bersama dengan Vano. "Tadi aku sempet ke kelasnya, tapi katanya dia udah pulang duluan, jadi Rai pulang sendiri, deh."

"Coba kamu telepon dia, Pa." Mitha benar-benar khawatir takut terjadi sesuatu kepada anak satu-satunya tersebut.

"Oke, aku coba hubungi dia, ya," ujar Amar yang diangguki oleh istrinya itu.

Cukup lama pria itu mencoba menghubunginya, akan tetapi hasilnya nihil, tidak ada satu pun panggilan yang diangkat membuat Mitha dan semua orang yang berada di sana saling menatap satu sama lain.

Berbeda dengan Rai yang saat ini menjadi merasa bersalah kepada kedua orang tua gadis itu, hingga dimana ia pun akhirnya memutuskan untuk pergi mencari ke Rumah Rain untuk memastikan bahwa sahabatnya tersebut sudah berada di sana. Setidaknya dirinya bisa menghilangkan kecemasan Amar dan Mitha yang saat ini sedang berusaha menghubungi anak perempuannya tersebut.

"Kalau gitu, Rai mau pergi cari Rain dulu, ya," ujar laki-laki itu. "Kalian tunggu di sini, nanti Rai kabarin kalau udah ketemu sama dia."

Saat Rai hendak kembali melangkahkan kakinya keluar dari Rumah, suara dari Raya membuat laki-laki itu langsung menghentikan pergerakannya.

"Seenggaknya kamu harus ganti baju dulu, Sayang."

"Ganti baju dulu, sana."

Laki-laki tersebut yang mendengarnya pun langsung menghela nafas dan kembali memutar tubuhnya dan berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas.

"Jangan lama, Rai," teriak Fadly dari bawah sana yang membuat laki-laki tersebut yang baru saja sampai di depan pintu kamarnya pun langsung berkata, "Iya Pa."

Rai langsung membuka pintu kamar dan segera mengganti pakaiannya dengan cepat karena ia ingin memastikan bahwa sahabatnya baik-baik saja sehingga dirinya bisa sedikit bernafas lega.

Ponselnya yang tiba-tiba berdering membuat laki-laki itu dengan cepat berjalan mengambilnya dan terdapat sebuah notifikasi yang masuk dari Rain membuat Rai langsung membelalakkan kedua matanya.

Rain: Maaf

Hanya itu? Rai benar-benar tidak tahu mengapa gadis itu meminta maaf kepadanya, akan tetapi ia menjadi semakin khawatir dan dirinya kini mencoba untuk menghubunginya, dan sahabatnya itu tidak menerima panggilan darinya sama sekali.

"Kenapa nggak di angkat, sih?" gumamnya kesal.

Rain: Jangan telepon

Mengetahui hal tersebut membuat Rai berdecak kesal sebelum akhirnya mengetikkan balasan kepada gadis itu yang sudah membuat semua orang begitu mengkhawatirkannya. Setelah itu ia langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dengan kunci mobil yang sudah berada dalam genggaman, dirinya langsung bergegas menuju ke luar kamar dan berlari menuruni tangga.

"Papa, Mama, Rai pamit pergi cari Rain, ya!" teriaknya sembari melewati semua orang yang masih berada di Ruang tamu.

"Hati-hati bawa mobilnya, Rai, jangan ngebut-ngebut!" ujar Raya kepada anak laki-lakinya itu.

Semua orang yang berada di dalam sana pun spontan menutup telinganya karena teriakan dari ibu dan anak yang memang begitu memekakan telinga. Raya yang menyadarinya pun langsung menutup mulutnya dengan canggung.

"M-maaf."