webnovel

The Fire

Seseorang mengangkat tangannya, menunjukkan rasa penasaran yang di tanamkan oleh orang tua tak acuh yang ada di depan kelas.

" Apakah jika kita melukis diri sendiri, saat kita mati kita bisa hidup dalam lukisan tersebut, sir? "

Orang tua itu tidak langsung menjawab, aura mistis yang di tumbuhkannya kembali membuatku bergidik. Dia menyesap cangklong dengan khidmat, lalu menghembuskannya secara lembut.

" Pertanyaan yang menarik....namun tidak menarik untuk dilakukan."

Perlahan, orang tua itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju tempat duduk mahasiswa. Aku terpaku melihat orang tua itu. Wajahnya tegas dan putih. Badannnya tinggi dan bugar. Rambutnya yang putih karena uban, namun lebat. Matanya juga menandakan ia bukan orang asia, karena sentuhan warna biru dan hijau menyatu sempurna dan membuat indah sekaligus candu untuk dilihat.

" Nona Dean, tolong berikan pendapatmu. Apakah setelah mati, kita bisa terkurung dalam lukisan?"

" I..itu sama sekali tidak mungkin sir". Aku gugup, tiba - tiba diserang pertanyaan aneh itu.

" Nah, begitu pula jawaban ku."

Sir James membalikkan badannya dari pandangan mahasiswa menuju meja untuk mengambil buku - bukunya.

" Baiklah, perkuliahan berakhir, namun kehidupan masih menjadi takdir. Sekian dan Terima kasih."

Serempak semua yang ada dikelas menjawab " yes sir."

........

#Taman kampus

Kali ini aku berusaha mendapatkan ide dari sebuah cerita dongeng. Kugambar sketsa seorang putri yang sedang menunggang kuda dengan gaun putihnya.

" hmmmm, apakah sebaiknya ditambah pangeran, atau .... hmmm."

Lama aku berkelayapan dalam pikiran - pikiran yang membuatku tak merasa kalau hari sudah mulai menyebulkan warna jingga.

" Haaaaah, kenapa susah sekali mendapatkan ide." Maki ku pada diri sendiri, sambil menarik sedikit rambut yang mulai rontok karena kebiasaan itu.

" Nona Dean?"

" Oh, sir James."

Sebenarnya aku tidak terbiasa dipanggil nona. Namun, karena itulah aku bisa mengenali orang yang memanggil itu adalah sir James.

Orang tua itu diam sejenak sambil mengamati sketsa ku yang abstrak. Tidak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Aku yang membuat pun rasanya ingin memberikan kalimat "kacau".

Kembali dengan cangklong penuh asap itu, karisma orang tua ini entah kenapa menjadi keluar.

" Untuk menghidupkan lukisan, bukankah kamu seharusnya memberi sentuhan benda mati, nona Dean?"

" Eeeh, sir?"

" Berikan sesuatu yang memberikan penekanan pada karya ini. Apakah kau ingin menonjolkan orangnya atau suasananya." Kata orang tua itu dengan mengangkat cangklongnya dan menghembuskan asap dengan elegan.

"..."

" Sepertinya nona Dean terlalu banyak berpikir, pulanglah lebih dahulu dan bersihkan isi otak. Setelah itu baru kau bisa memberi sentuhan benda mati itu pada lukisanmu."

Tak sadar aku memperhatikan langkah orang tua itu dengan mataku, kalimatnya yang ekstrim untuk seorang pelukis membuatku kagum. Ia mampu melihat dan mengekspresikan secara berbeda dengan dosen yang lain. Dimana dosen lain sangat monoton, tapi sir James sangat berbeda. Mampu membuat seseorang terasa hidup kembali.

...

DOOORRR

"AAaaaaa"

" Happy Birthday sayaang."

" Mamah?"

" Ayo ayo, mamah udah bawain cake spesial nih."

Wanita yang belum genap 40 tahun ini adalah seorang ibu dengan toko kue yang digiatinya mulai umur 25 tahun. Selalu tidak lupa dengan kelahiran anaknya yang bahkan hanya ada di tahun keempat penanggalan masehi.

29 Februari tahun xxxx

" Mamah ngapain sih, bikin kaget aja nggak laporan dulu mau ke sini."

" Duh, kamu ini. Makanya inget hari dong."

" Yaaa kan nggak kewajiban juga mah. Masa mamah jauh - jauh kesini cuma ngerayain ultah aku doang."

" Nggak, ini tuh wajib bagi mamah. Soalnya kamu itu anak tukang kue paling jago."

" Iya iya, nanti dipromosiin deh."

....

Aku tidak pernah suka dimanja, namun selalu ditepis dengan kebaikan wanita ini. Mungkin karena rasa bersalahnya sudah bercerai dengan ayah kandungku.

Aku juga tidak mau ia bersedih karena aku egois untuk mempertahankan hubungan mereka. Maka dari itu dengan hati yang lapang, aku setuju dengan perceraian mereka dan tidak membenci salah satu diantaranya.

Baru - baru ini ada seseorang yang baru di kehidupan kami, yang ku sebut ayah tiri. Hari ini ia tidak bisa datang karena katanya sedang sakit.

" Bagaimana keadaan ayah?"

" Hmm, yang mana?" Sambil sibuk menyiapkan makanan.

" Memangnya yang mana lagi, yang sekarang." Jawabku ketus,  karena sudah menghindari pertanyaan tapi tetap tersampaikan.

" Cuma sakit flu, tapi karena mamah khawatir bakal nular jadi dilarang ketemu kamu."

" Semoga lekas sembuh. Terus yang ngerawat di rumah siapa mah?"

" Ya mamah dong, keluarga kita kan jauh jauh."

" Mamah nggak nginep?" Tanyaku heran.

" Nggak, mamah langsung pulang aja."

"...."

Pesta yang singkat, tanpa nyanyian dan tiup lilin, karena aku memang tidak mau melakukannya. Kami berdua makan dengan lahap. Masakan seorang ibu memang tak pernah bisa ditolak, apalagi untuk anak kos yang sedang merantau sepertiku.

Sebuah bingkisan berukuran sedang, membuat mataku kaget.

" Ini buat anak mamah, semoga kamu suka ya."

" Lukisan?"

" Sebenernya itu mama beli random. Karena mamah bukan penyuka lukisan, tapi semoga aja kamu suka."

" Aku suka." Langsung menyambar lukisan itu dan menggantungnya di tempat bekas foto idol.

" Katanya lukisannya diambil ketika zaman dulu, dan orang ini adalah ksatria." Wanita itu menjelaskan apa yang didengarnya dari penjual lukisan.

" Ih mamah keren banget, makasih ya mah."

Kami berpelukan, lalu tak berapa lama kami mengucapkan perpisahan karena ia akan pulang kerumah.

Merasa tidak yakin karena sudah malam, akupun sebagai anak mencegahnya dan bersikeras menyuruh untuk menginap saja. Namun, wanita ini keras kepala dan tetap pergi untuk pulang. Dan berkata.

" Mamah baik - baik aja, kamu kan malaikat pelindung mamah."

....

Rasa segar mencuat dari dalam diri ketika selesai mandi, walaupun agak kemalaman.

Aku kembali teringat kata - kata sir James tentang sketsaku sore tadi. Segera aku mengambil sketchbook yang ada di meja kecil tempat favoritku ketika memikirkan ide.

" CTAK...."

Seluruh tempat menjadi gelap.

Aku menjadi gelagapan karena lupa meletakkan handphone. Aku mencoba menyalakan lampu meja, hasilnya nihil. Tak menyala karena aku lupa men-charge.

" Ah lilin ultah." Pikirku tanpa pikir panjang.

Lilin yang tak jadi dipakai pun menjadi penyelamat. Lilinnya kecil, sehingga aku kepikiran untuk membeli lagi ke toko serba ada.

Ingin hati keluar rumah, aku malah berhenti melihat lukisan yang menjadi hadiah itu.

" Hebat, apinya seperti nyata."

Aku pun memikirkan ide untuk karya sebagai ujian akhir nanti. Memakai cat lukis bercahaya ketika gelap.

Seketika udara dingin menyelimuti. Kupikir aku membuka pintu, tapi kunci masih berada di tangan.

Segera aku berfikir yang menyenangkan, karena aku tidak terlalu suka dengan suasana saat ini. Pikiranku terlalu negatif saat ini, menuju hal mistis.

" Akhh... panas panas."

Lilin mencair mengenai tanganku.

.

Lilin terlepas dari genggamanku.

.

Dengan cepat api lilin menjalar mengenai kertas - kertas berserakan. Aku segera menuju kamar mandi dan panik.

Api sudah menjalar kemana - mana, aku menangis tak bisa keluar. Sangat takut karena api mulai membesar karena isi dari kosku sendiri setengahnya hanyalah kertas.

Aku menangis meminta tolong, mencari cara untuk ke pintu depan. Aku nekat menerobos api di depanku, tapi tidak ada jalan yang bisa kulalui.

Aku menyesalinya, memilih kos di lantai atas.

Tepat di depan lukisan ksatria itu, aku terduduk lemah. Sudah banyak asap yang ku hirup. Pasrah dan hanya berdoa, lalu kembali mengingat bahwa aku benar benar malaikat pelindung.

" Setidaknya mamah pulang dengan selamat. Mungkin ini akhirnya aku bisa mengikhlaskan semuanya."

Kemudian seketika menjadi gelap.