"Tak perlu kau ingatkan pun aku sudah pasti tahu." Sahut Kahime acuh tak acuh. Lalu mereka berdua masuk kedalam ruang ganti, Kahime berjalan menuju lokernya, kemudian melepas seragam yang dipakai, dan menggantinya dengan seragam olahraga. Penuh rasa gelisah, Yuri menghampirinya begitu selesai berganti seragam, sambil memegang kedua tangannya dengan erat, ia memohon, "Kahime, kamu tidak perlu kembali ke kelas. Aku akan bilang kalau kamu tiba-tiba sakit, jadi kamu tidak perlu membersihkan kekacauan yang sudah diperbuat oleh mereka." Dia menggeleng, "Tidak. Akulah yang sudah membuat kekacauan itu, berbohong pada guru sama saja cari masalah." Ia mengerutkan kening menatap penuh harap, tapi diabaikan olehnya, "Sudahlah, yang kau lakukan akan sia-sia. Tidak akan membantu, aku masih belum bisa mempercayaimu. Aku tidak menganggapmu sebagai musuh, tapi..." ucapannya terhenti sejenak.
Dia menghela napas dan melanjutkannya, "Semua yang kau lakukan takkan berguna." Setelah mengucapkannya, dia melepas tangan Yuri, dan pergi meninggalkannya begitu saja. Tak terima diacuhkan, ia terus memanggilnya, "Kahime! Kahime, kumohon!", namun semua upayanya dihiraukan.
Tak berapa lama kemudian, ia melihat nama loker milik Kahime dengan kedua mata berkaca-kaca, "Kenapa?... apakah karena dia? Karena orang itu?"
**********
Lima belas menit kemudian, di ruang seni...
Kahime dan Yuri kembali, Yuri kembali ke kursi, dan Kahime menghampiri gurunya, "Pak, saya sudah kembali.", pria itu hanya ber-oh tanpa ekspresi fokus memperhatikan murid lain, "Kalau begitu, cepat bersihkan kekacauan tadi. Begitu kau selesai, baru kembali melanjutkan lukisanmu." Perintahnya dengan mendengus kesal. Dia mengangguk, kemudian berjalan menuju ke tempat yang sempat berantakan sebelumnya. Akan tetapi, beberapa saat kemudian dia kembali ke kursi lukisnya, guru yang melihatnya menegur, "Hei, bocah sialan! Kenapa kau kembali duduk?! Aku menyuruhmu kesana untuk membersihkannya!!... haizz, bocah sialan ini.. kau!!" gerutunya kesal penuh amarah, mengambil kuas besar untuk mengecat tembok, dan siap-siap melemparnya ke arah Kahime. Namun aksinya dihentikan karena dipanggil oleh Saki.
"Saya..." Seketika Kahime berhenti bicara, dia berhenti bicara, ----ketika Saki mengangkat tangan kirinya sambil tersenyum dikursi, "Pak, anda jangan marah. Kekacauan yang terjadi, saya langsung membersihkannya. Sayalah yang sudah membersihkannya, jadi... anda tidak perlu memarahinya."
Murid yang melihatnya termangu heran, begitu juga dengan gurunya, ia mengurung niatnya sembari mengembalikan kuas yang hampir dilempar. "Apa?!... o-oh begitu ya. Kukira masih berantakan... ternyata sudah dibersihkan... terima kasih sudah membersihkannya, nak." Celatuknya gelagapan dengan senyum kaku diwajahnya.
Saki menurunkan tangannya, masih tersenyum, "Sama-sama, pak."
Mereka pun kembali pada kegiatan melukis dengan tenang.
Jam istirahat makan siang....
Yuri mengambil kotak bekalnya, lalu melihat sekeliling, dan bertanya pada murid lain, "Apakah ada yang melihat Kahime pergi kemana?", murid yang bersandar diluar jendela lorong kelas menjawab dengan suara yang cukup keras, "Tidak ada yang melihat hantu... ah, tadi kulihat dia dibawa pergi oleh jagoan sekolah." Yuri bertanya lagi, "Jagoan sekolah?" dan dijawab, "Mereka adalah murid kelas dua yang suka bikin onar. Seluruh anggotanya laki-laki,... sepertinya hari ini adalah akhir riwayatnya."
"Tidak mungkin. Aku harus menghentikannya." Gumam Yuri meletakkan kotak bekalnya, namun dicegah oleh murid lain, "Oh iya, kami diminta untuk mengawasimu agar tidak mengganggu."
**********
Di ruangan kosong, Kahime didorong sampai menempel pada dinding, dagunya diangkat paksa oleh ketua jagoan sekolah, "Woi! Lu cewek yang sering disebut hantu ya? Mau gak lu-... khh!!!" belum selesai bicara, sebuah tinju melayang kearah ulu hatinya, membuatnya terjatuh.
"Bos!!!" teriak anak buahnya bersamaan menghampirinya. "Gua.. belum... selesai... ngomong, kunyuk kampret.... anjir... sakit banget..." keluhnya dengan napas terengah-engah karena rasa sakit setelah mendapatkan tinju.
Dia menghela napas, lalu menatap tajam ke arah mereka, membuat mereka bergidik ngeri. "Kalau bicara denganku, jangan berlagak sombong kau, dasar brengsek... ini adalah jawabanku dari pertanyaanmu. Satu, jika kau ingin aku bergabung denganmu, maaf aku tidak tertarik sama sekali. Kedua, jika kau ingin mengajakku untuk membalas perbuatan mereka yang sudah menindasku, aku juga tidak tertarik sama sekali. Ketiga, kalau kau mau menjadikanku sebagai pacarmu, aku menolaknya, karena kau,.. atau kalian semua bukanlah tipeku. Keempat, ... hmph... kalau kau adalah penggemarku, aku menolak juga."
Sialan!! Serangan terakhirnya sangat menyakitkan. –batin mereka terkejut. Dia meletakkan tangan kanannya dipinggul sambil berkacak pinggang, "Hee, sepertinya jawabanku tepat sasaran. Benar 'kan?" tanyanya tersenyum miring lebar seperti iblis.
Mereka berlima langsung bersujud sambil merengek, "Nona, maafkan kami. Mohon terima kami sebagai penggemarmu. Kami mohon..."
"Kudengar kalian adalah jagoan sekolah, tetapi dengan penampilan yang sangat rendah seperti itu. Mana ada yang mau menerima kalian,.... sangat menyedihkan." Ucapnya menatap rendah pada mereka. Mereka tertohok, menangis bahagia dengan kedua tangan saling menempel seperti orang berdoa dikuil.
Nona, sungguh sangat bijaksana.
Walaupun dia adik kelas kami, dia sangat keren.
Kata-katanya sangat menusuk, tapi kami sangat bahagia bisa mendenganya dari Nona.—batin mereka bersyukur mendapat kritikan tajam darinya.
Tidak berapa lama kemudian, Kahime berjalan memutari mereka, lalu bersandar didekat pintu. Mereka mengikuti arahnya sampai saling berhadapan –masih penuh harap. Dia mendengus sambil mengambil napas lebih dalam beberapa kali, "Kalau kalian sungguh ingin jadi penggemarku, akan kupertimbangkan..." mereka terperangah bahagia sampai berkilau. Nona sungguh bagaikan dewi kebijaksaan. –pikir mereka.
"Aku akan menerima kalian sebagai penggemar, tetapi dengan satu syarat." Ucapnya sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah mereka, mereka berjalan dengan lutut tiga kali dan membalas, "Akan kami lakukan!!... Apapun syaratnya!!...., meskipun syaratnya sangat berat."
Dia terkekeh pelan, "Baru saja aku ingin bertanya apa kalian sanggup, kalian sudah memberi jawaban yang aku inginkan... baiklah, syaratnya adalah...."
BLAM
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka sehingga menimbulkan suara yang sangat keras, membuat mereka terperanjat kaget. Kahime melihat ke arah pintu yang dekat tepat disebelah kanannya, dia melihat Saki dengan napas terengah-engah, dan penuh keringat dingin diwajahnya. Saki-san[1]? –pikirnya dalam batin.
"Woi!! Siapa yang ngijinin lu masuk kesini, hah?!" bentak ketua jagoan sekolah kesal, namun tidak digubris sama sekali olehnya. Saki langsung menoleh ke arah Kahime –masih dengan napas terengah-engah, lalu menghantam dinding dengan tangan kiri agar dia tidak bisa lari darinya. Dia dikejutkan oleh hantaman keras tersebut, sampai membuatnya gugup dan gelisah, "He-hei, apa yang akan kau lakukan? Jangan melakukan hal aneh... a-aku akan membuatmu menyesal."
Ia mendekatkan wajahnya sampai tinggal berjarak tiga cm dengan Kahime, sampai bisa merasakan deru napas masing-masing. Dia... apa yang dilakukannya ini?! Apa dia sudah tidak waras?! –pekiknya dalam pikiran.
[1] San = panggilan untuk orang yang belum akrab/menghormati keluarganya