Putri menghela napas berat untuk yang ketiga kalinya. Aktivitas beristirahat di akhir pekan tak lagi bisa dinikmati. Dia baru saja membaca berita-berita viral. Aldi kembali menjadi buah bibir. Isu penyuka sesama jenis merebak dan menyebar secara masif, padahal beritanya hanya tentang pacaran kontrak.
Putri mengusap wajah. Meskipun sudah memperkirakan, rasa bersalah tetap saja bercokol di hati. Dia juga masih tak tahu bagaimana harus berhadapan dengan Shinta. Putri bersyukur karena gadis itu masih berada di Singapura, sehingga tidak akan mengikuti latihan menari seperti biasa.
"Put, kamu baik-baik saja?" tegur Asih, membuyarkan lamunan Putri. "Kamu keliatan pucat, Nak?"
Putri tersenyum manis. "Mungkin karena cuacanya dingin, Bu, makanya pucet," kilahnya.
"Bukan karena masalah Nak Aldi?"
Putri mengalihkan pandangan. Asih tahu tebakannnya benar. Namun, dia tak melanjutkan obrolan karena merasa Putri tak nyaman jika membahas hal itu.
"Nak, Ibu tidak akan mencegah kamu membalas dendam karena biar bagaimanapun kami tidak pernah tau sebesar apa rasa sakit yang kau alami. Tapi, Ibu percaya kamu sangat cerdas dan pada akhirnya akan membuat keputusan yang tepat." Asih menepuk-nepuk pundak Putri. "Ibu masuk dulu, ya."
Putri mengangguk. Dia melemparkan pandangan jauh ke jalan raya. Saat keraguan meracuni hati, Putri suka mengamati mobil-mobil yang lalu-lalang. Hal itu bisa membangkitkan lagi kebenciannya. Jalan raya dan mobil selalu mengingatkannya tentang peristiwa nahas saat sang paman jahat terkena tabrak lari.
"Neng Putri! Neng Putri!" Seruan panik membuat Putri tersentak.
"Lho, ada apa, Bu RT?" tanya Putri sembari menghampiri wanita yang tadi memanggilnya.
Bu RT mengatur napas yang masih ngos-ngosan. "Saya bisa minta tolong, Neng?" pintanya setelah bisa bernapas dengan tenang.
"Minta tolong apa, Bu? Kalau masih dalam kemampuan saya, pasti saya tolong."
"Cucu saya, si Pita ada tugas praktek pelajaran kesenian, disuruh menari. Katanya, kemarin liat di YouTube malah bingung. Nah, saya baru ingat kalo Neng Putri ini, kan, sering ngajar nari," cerocos Bu RT. Dia menatap Putri dengan penuh harap. "Apa Neng Putri bisa bantuin?"
"Tari apa, ya, Bu?"
"Mereka dapat Tari Saman."
"Boleh, Bu. Tapi Tari Saman ini perlu sering latihan biar kompak. Sekarang saya kerjanya full time, bisanya malam atau akhir pekan saja. Gimana, Bu?"
"Tidak apa-apa, Neng. Dibantuin saja sudah terima kasih banget lho, Neng. Kapan Neng bisa mulainya?"
"Hari ini juga boleh, Bu. Panggil aja anak-anaknya ke sini."
Bu RT tampak sangat senang. Beliau meninggalkan panti. Putri juga masuk sebentar untuk mengambil beberapa perlengkapan. Tak lama kemudian, Bu RT kembali bersama beberapa orang anak. Suasana seketika menjadi riuh. Kegalauan Putri pun terlupakan. Seni tari memang obat paling ampuh baginya.
"Halo, Anak-anak!" sapa Putri. "Saya Ibu Guru Putri yang akan melatih kalian. Ibu jelasin dulu, ya, tentang Tari Saman."
Putri pun menjelaskan hal-hal penting mengenai Tari Saman. Tari ini memang memiliki nilai religius yang kuat. Asalnya dari Suku Gayo di Aceh dan kerap dibawakan dalam acara keagamaan seperti peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Pada mulanya berupa permainan rakyat, Tepuk Abe yang dikembangkan oleh ulama besar dari Gayo di Aceh Tenggara, Syekh Saman. Syekh menyisipkan berbagai syair-syair berisi pujian kepada Allah SWT, sehingga menjadi salah satu media dakwah.
Selanjutnya, Putri memperlihatkan kostum Tari Saman. Dia menjelaskan satu persatu bagian dari kostum mulai dari baju dasar yang disebut kerawang, berbagai sulaman yang khas, hingga hiasan kepala. Anak-anak tak henti berdecak kagum. Setelah penjelasan selesai, Putri meminta cucu Bu RT berdiri di sampingnya.
"Ibu akan contohkan dulu bersama Pita. Kita akan mempelajari gerakan pembuka atau disebut juga Gerakan Bersalaman."
Putri menangkupkan tangan di depan dada sembari memberi salam, lalu dia bersimpuh. Pita mengikuti dengan kagok..
"Mengawali pertunjukkan dengan meletakkan ikat kepala," jelas Putri. Dia meletakkan ikat kepala dengan sulaman indah. "Lalu, penari akan mulai melantunkan "Laa ilaha illallah" dan "Assalamualaikum" sebagai penanda mulainya pertunjukkan. Ada yang mau ditanyakan sampai di sini?"
"Belum ada, Bu!" sahut anak-anak kompak.
"Nah, sekarang kita masuk gerakan inti."
Putri memperagakan gerakan inti. Dia menepuk paha, dada, dan tangan, menciptakan irama yang kemudian dipadukan dengan lantunan syair. Gerakan-gerakannya semakin bertambah cepat, lalu mengkombinasikan gerakan membungkuk 45 derajat ke ke belakang dan 40 derajat ke depan. Tak lupa ditambah gerakan kepala dan gerakan setengah berdiri. Anak-anak melongo. Pita yang berada di samping Putri juga kelimpungan.
"Aduh, sulit, Bu!" keluh anak-anak kompak.
"Tentu tidak akan bisa dalam sekali mencoba. Nah, sekarang Ibu akan lakukan dengan lebih pelan."
Putri mengulangi gerakan dengan menurunkan tempo. Ketika anak-anak mulai terbiasa, barulah dia masuk ke gerakan penutup. Putri melakukan posisi badan setengah berdiri dengan tangan ditangkupkan di depan dada. Matanya lurus ke depan, lalu kembali duduk bersimpuh dan meletakkan tangan di atas paha.
"Setelah gerakan ini, penari bisa meninggalkan tempat pertunjukkan," tutup Putri.
Dia kembali berdiri diikuti Pita. Selanjutnya, Putri meminta anak-anak berbaris. Oleh karena Tari Saman menggunakan pola lantai horizontal, maka para penari akan didudukkan secara rapat dan sejajar. Hal ini sekaligus merefleksikan bagaimana rapatnya barisan saf pada saat salat berjamaah dilakukan.
"Nah, sekarang kalian akan memulai praktek. Tidak perlu takut salah. Lakukanlah dengan gembira, nanti kalo ada yang kurang akan Ibu bantu perbaiki. Sudah siap?"
"Siap, Bu!"
"Ya, mulai!"
Anak-anak memperagakan kembali gerakan tari yang sudah dipelajari. Mereka tentu masih kaku, lebih banyak lupa gerakan. Namun, Putri dengan sabar membimbing. Latihan pertama hari itu berjalan lancar meskipun masih perlu banyak perbaikan. Putri menyudahi latihan ketika dilihatnya anak-anak sudah cukup lelah.
***
Putri menyimpan file laporan, lalu menghela napas lega. Akhirnya, pekerjaan selesai. Dia menghabiskan kopi di meja, lalu menggerak-gerakkan badan untuk melemaskan otot.
"Huh, sudah seminggu belum dapat informasi apa pun, malah jadi budak koorporat," keluh Putri sembari membereskan barang di meja kerja.
Dia tak perlu khawatir akan ada yang curiga. Saat ini, Putri hanya tertinggal sendiri di ruangan. Para senior seolah-olah tengah memberikan sedikit pelajaran kepadanya akibat masuk lewat jalur nepotisme. Mereka melimpahkan banyak tugas, sehingga dia harus lembur. Nasibnya tentu berbeda dengan Gilang. Para senior tentu tak berani macam-macam kepada seorang anak direktur keuangan. Gilang bahkan belum kembali dari sejak jam makan siang.
Putri melirik jam tangan. "Sudah jam segini, sebaiknya aku cepat-cepat pulang," gumamnya.
Dia segera mematikan komputer. Meja juga sudah rapi. Putri bangkit dari kursi, menyampirkan tali tas di bahu, lalu meninggalkan ruangan bagian keuangan dengan langkah-langkah ringan.
Putri membuka aplikasi transportasi online. Dia berharap bisa segera mendapatkan ojek dan sampai rumah lebih cepat. Tubuh sudah sangat lelah. Bayangan kasur yang empuk terasa menari-nari di depan mata.
Namun, energinya harus terkuras lagi. Baru saja tiba di lobi, sosok yang sangat ingin dihindari malah muncul. Ya, Gilang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Putri bahkan belum sempat memesan ojek. Gilang kini berada di hadapannya dan tersenyum manis.
"Syukurlah, saya gak telat. Bener dugaan saya, mereka bakal bikin kamu lembur. Maaf, ya, tadi saya diminta Papa nemenin ketemu klien," kilah Gilang.
"Untuk apa minta maaf. Kamu, kan, tidak salah," sahut Putri cuek.
Sebenarnya, dia tahu pemuda itu hanya berkilah. Mata jelinya bisa melihat bekas lipstik di bagian dalam kerah kemeja, juga kissmark yang sedikit terlihat di tulang selangka karena Gilang tidak mengancingkan kemeja dengan benar. Si playboy jelas sehabis main perempuan. Namun, Putri tak ingin ambil pusing, semakin bobrok calon-calon penerus PT. Karya Lestari, semakin dekat juga tujuan balas dendamnya.
"Tetap saja, Put. Paling tidak tugas-tugas bisa kita bagi berdua," tutur Gilang sok bijak.
"Cih, memangnya para senior itu akan melimpahkan tugas padamu? Dasar serigala busuk!" umpat Putri dalam hati.
"Sebagai permintaan maaf, saya antar pulang, ya?" ajak Gilang.
"Enggak usah repot-repot. Kamu juga enggak salah. Nih saya baru mau pesan ojek," kelit Putri.
"Ikut saya aja. Bahaya cewek pulang sendirian malem-malem." Gilang masih berusaha membujuk.
"Kamu yang jauh lebih berbahaya sial*n!" gerutu Putri dalam hati.
Gilang terus membujuk. Putri akhirnya mengangguk. Dia tidak luluh sama sekali dengan rayuan Gilang. Namun, Putri mempertimbangkan keamanan posisinya jika terus menentang.
"Silakan naik, Put!" seru Gilang riang sambil membukakan pintu.
Selama ini, targetnya selalu terkesima. Sementara Putri mengucapkan terima kasih singkat dengan santun dan kaku. Gilang sedikit kecewa, tetapi juga semakin bersemangat ingin menaklukkan gadis itu.
Setelah memastikan Putri duduk dengan nyaman, dia menutup pintu, lalu berlari ke sisi lain mobil. Gilang segera masuk dan duduk di belakang kemudi. Tak lama kemudian, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju panti asuhan.
Mereka tiba di panti asuhan tepat pukul 10 malam. Putri kembali mengucapkan terima kasih sebelum keluar. Dia pura-pura tersenyum manis saat melepas kepergian Gilang. Setelah mobil mewah itu tak lagi terlihat, Putri menghela napas lega. Dia segera masuk ke panti. Namun, baru di depan pintu sudah mendapat pelototan Tyas.
"Ya ampun, Kak! Kenapa bisa pulang bareng cowok berengs*k itu! Padahal, dulu Kakak yang selalu ngingetin aku buat jauhin dia! Kok, sekarang malah Kakak yang jalan sampai larut sama dia!" cerocos Tyas dengan mata berapi-api.
Putri tak marah. Dia tahu Tyas khawatir. Terlebih, sahabatnya itu telah merasakan sendiri kejahatan Gilang.
"Aku pulang larut karena lembur, Tyas. Dia mengantarku karena kami bekerja di tempat yang sama."
"Tapi, Kak, tetap aja bahaya!"
"Aku tau bagaimana menjaga diri." Putri menghela napas berat. "Sekarang, aku lelah sekali, mau mandi terus tidur. Kamu juga cepatlah tidur, jangan begadang," nasehat Putri sebelum meninggalkan Tyas yang masih dongkol.
Tyas benar-benar tidak mengerti. Setahunya, impian Putri adalah mendirikan sanggar tari. Menjadi pekerja kantoran dengan jam kerja mencekik tentu sangat tidak sinkron. Lalu, kenapa Putri menyebutkan bekerja di PT. Karya Lestari sebagai impian.
"Apa Kak Putri impiannya berubah gara-gara realita kehidupan, ya?" gumam Tyas sambil mengelus dagu. "PT. Karya Lestari ... yang aku tau, sih, cuman Mall Maju Jaya."
Tyas menepuk kening. Dia teringat wajah Putri yang berubah drastis saat menatap mal tersebut. Sorot mata kawannya itu menjadi penuh kebencian.
"Saatnya menggunakan Google!" seru Tyas.
Jemarinya begitu lincah mengetikkan kata sanggar tari dan Mall Maju Jaya di pencarian. Tak lama kemudian, bermunculan berita terkait hal tersebut. Meskipun Bimasakti sudah melenyapkan berita yang buruk, tetapi sejarah mal secara umum masih bisa ditemukan.
Tyas mengerutkan kening sebelum mulai membaca, "Mall Maju Jaya dibuat setelah pembebasan lahan pemukiman penduduk, salah satunya adalah Sanggar Adi Luhur. Namun, cerita tentang sanggar ini sangat mengiriskan hati."
Tyas berhenti membaca sejenak. Perasaan mendadak tak enak. Dia seperti tengah membuka kotak pandora yang mengandung banyak kutukan. Tyas menyiapkan hati dulu sebelum membaca lagi.
"Kebakaran akibat korsleting listrik menghanguskan seisi sanggar termasuk suami istri pemiliknya. Hanya putri semata wayang mereka yang berhasil diselamatkan."
Ponsel seketika terjatuh dari tangan Tyas. Dia benar-benar syok saat melihat foto anak pemilik sanggar yang berhasil lolos dari kematian. Wajah gadis kecil berpipi tembem itu benar-benar persis dengan Putri sewaktu kecil.
"Korsleting dan kebakaran sebelum dijadikan mal terlalu mencurigakan ... apa mungkin disengaja? Jangan bilang maksud Kak Putri impiannya adalah membalas dendam ...." gumam Tyas. Dia cepat-cepat mengirimkan pesan kepada Paijo.
["Bang, kita ketemuan besok ada hal penting banget yang perlu kita bicarakan. Ketemunya sekalian makan siang aja di rumah makan dekat tempat kerja aku."}
Tak lama kemudian balasan dari Paijo masuk.
["Oke, siap, Beb!."]
***