Putri memandangi bayangannya di cermin. Rambut tergelung rapi, riasan tipis, dan baju kerja khas kantoran tampak serasi. Hari yang dinantikan telah tiba. Dia bisa memasuki perusahaan Dirja untuk mempercepat kejatuhannya.
Brak!
Pintu yang dibuka kasar membuat senyuman licik di bibir Putri raib. Dia mengalihkan pandangan. Tyas memasuki kamar dengan napas terengah-engah dan wajah merah padam.
"Kak Putri! Aku udah dengar dari Bang Paijo! Kakak bener-bener mau kerja sama dengan musuhnya Bang Aldi buat menjegal Bang Aldi, 'kan?" cecar Tyas.
"Ya," sahut Putri singkat.
Tyas ternganga. Dadanya naik turun, tampak jelas seperti singa hendak menerkam mangsa. Namun, Putri malah melenggang ke luar kamar setelah menyampirkan tali tas di bahu.
"Kak Putri! Kak Putri, tunggu!"
Putri menghentikan langkah, lalu berbalik sembari mengerutkan kening. "Ya, Tyas? Ada sesuatu yang perlu dibicarakan lagi?"
Tyas tergopoh-gopoh menghampiri. "Banyak, Kak! Banyak yang perlu dibicarakan!"
Tyas pun mencerocos menyampaikan keluhannya. Dia telah mendengar dari Paijo bahwa Putri dan Aldi sudah putus. Tyas meminta Putri untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Menurutnya, panti asuhan masih bisa diselamatkan tanpa harus melakukan pengkhianatan. Tyas yakin Aldi dan Sulistyawati akan membantu.
Putri menghela napas. Dia menatap Tyas dengan sorot mata sendu. Tangannya terkepal kuat untuk menegarkan hati.
"Tyas, ini bukan hanya soal panti asuhan kita, tapi mengambil tawaran mereka bisa mewujudkan salah satu impianku."
"Impian apa, Kak? Kenapa hanya orang-orang jahat itu yang bisa mewujudkan? Aku yakin Bang Aldi sama Eyang Sulis juga bisa–"
"Mereka tidak akan bisa," sergah Putri. "Sudahlah, Tyas. Aku tidak bisa memberitahukanmu tentang itu karena ...," Putri mengusap rambut Tyas dengan lembut, "aku tidak mau mengotori hatimu," lanjutnya.
Tyas tercenung. Dia merasa ada yang janggal dalam kata-kata Putri, seperti rahasia terpendam. Namun, begitu Tyas ingin bertanya lebih lanjut, Putri malah sudah menghilang.
"Ish! Malah ditinggal. Pasti ada yang disembunyiin Kak Putri nih," gerutunya. Satu tepukan lembut di bahu membuatnya berbalik. "Ibu ...." Tyas seketika bersemangat. "Ibu pasti tau sesuatu, 'kan? Apa yang disembunyiin Kak Putri, Bu?" cecarnya.
Asih tersenyum lembut. "Ibu ngerti kamu penasaran. Tapi, Ibu tidak berhak berkata apa-apa jika Putri memutuskan untuk menyembunyikannya."
"Tapi, Bu–"
"Hargai keputusan, Putri."
"Masalahnya, Kak Putri kerja sama orang-orang jahat," protes Tyas.
"Putri sudah dewasa. Dia juga tidak bodoh. Kita semua tahu, Putri sangat cerdas. Jika keputusannya kali ini salah, dia pasti akan segera sadar."
Sebenarnya, Tyas masih ingin protes. Namun, ponselnya terus berdering, panggilan dari rekan kerja di toko kue. Tyas langsung menepuk kening. Terlalu asyik mengurusi Putri, dia sampai lupa harus masuk lebih pagi dari biasanya.
"Aduh, telat nih! Bakal kena omel deh," keluh Tyas.
"Nah, makanya daripada galau mikirin Putri, mending kamu cepat berangkat," cetus Asih.
"Iya, Bu, iya."
Setelah mengambil tasnya di kamar, Tyas bergegas ke luar. Nasib baik, Paijo seperti memiliki telepati sudah menunggu di halaman. Tak lupa, dia pamit terlebih dulu dan mencium tangan Asih.
***
Putri telah tiba di lobi PT. Karya Lestari. Dia menghampiri meja resepsionis, lalu menanyakan ruangan HRD. Baru saja gadis cantik di belakang meja resepsionis hendak, menjawab, Gilang tiba-tiba muncul dan menyapa.
"Kamu mau ke HRD? Ikut saya aja, Put. Saya juga mau ke sana. Mulai hari ini, saya juga jadi karyawan baru di sini."
Sebenarnya, Putri sangat enggan harus berjalan bersama Gilang. Namun, dia mengangguk pelan karena tak punya pilihan. Membuat masalah dengan anak salah satu direktur perusahaan tentu akan berbuntut panjang. Putri bahkan belum mendapatkan informasi penting apa pun tentang kebakaran sanggar tari ayahnya.
"Bukannya Pak Gilang bekerja di PT. Karya Abadi?" tanya Putri saat mereka sudah masuk lift. Meskipun terlihat tenang dan ramah, dia sangat waspada karena hanya berduaan di dalam lift.
Gilang mengedipkan mata genit. "Demi kamu, saya pindah ke sini," godanya.
Putri terkekeh sembari menjaga raut wajahnya. Ekspresinya seolah-olah menganggap ucapan Gilang hanya candaan, padahal sangat muak. Sialnya, Gilang malah semakin semangat tebar pesona, membuat Putri merasa mual. Beruntung, pintu lift terbuka sebelum terjadi adegan muntah yang memalukan. Putri dan Gilang pun segera menuju ruangan HRD.
Staf HRD memberikan beberapa arahan singkat, hampir terasa seperti sekenanya. Mungkin dia sudah mendapat mandat dari Bimasakti agar mempercepat urusan. Lelaki kurus berkacamata itu juga tampak malas dan sedikit meremehkan, seperti sudah biasa menghadapi karyawan yang mendapat pekerjaan melalui jalur nepotisme. Kini, Putri mengerti kenapa Aldi memperkirakan perusahaan akan runtuh di bawah kepemimpinan Bimasakti. Kebetulan saja, Putri termasuk kompeten, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka menerima pegawai baru dengan kemampuan abal-abal.
"Anda berdua bisa segera menuju bagian keuangan," tutup staf HRD. Dia mengalihkan pandangan ke arah Gilang. "Anda sudah tahu di mana ruangannya bukan?"
"Iya, tentu saja."
Gilang mengajak Putri meninggalkan ruangan HRD. Selama perjalanan menuju bagian keuangan, pemuda itu terus mengajak bicara. Putri menanggapi dengan ramah dan pura-pura antusias. Namun, dia tetap menjaga jarak aman. Setiap Gilang ingin melakukan kontak fisik, Putri berkelit dengan lincah dan alami, seolah tak sengaja menghindar.
Akhirnya, mereka sampai di bagian keuangan. Keduanya langsung melapor kepada kepala bagian keuangan. Saat bertatap muka dengan pria yang hampir seluruh rambutnya memutih itu, Putri diam-diam menghela napas berat. Jalan membalas dendamnya ternyata penuh dengan serigala. Si kepala bagian keuangan sebelas dua belas dengan Broto dan Gilang. Dia menebak Bimasakti pun akan serupa.
"Saya harap Anda sekalian betah dan bekerja dengan profesional," tutur kepala bagian keuangan dengan mata jelalatan.
"Profesional gundulmu!" umpat Putri dalam hati.
Selanjutnya, kepala bagian keuangan memperkenalkan mereka sebagai staf baru. Para karyawan tampak menyambut baik, tetapi beberapa menatap dengan sorot mata merendahkan. Menurut perkiraan Putri, sosok-sosok yang kesal tersebut adalah para karyawan yang masuk melalui jalur resmi dan jujur. Mereka tentu memandang sebelah mata orang-orang dalam lingkup nepotisme.
"Nah, meja Anda sekalian ada di sana." Kepala bagian menunjuk dua meja kosong berdampingan. "Tugas-tugas yang harus dikerjakan juga sudah mengerti, 'kan?"
"Iya, Pak," sahut Putri dan Gilang kompak.
Kepala bagian keuangan pun kembali ke ruangannya. Sementara Gilang dan Putri menuju meja masing-masing. Baru saja duduk, salah seorang staf senior sudah menghampiri dan memberikan tugas untuk membuat laporan. Putri menerimanya dan segera menggarap tugas dengan teliti. Meskipun tujuannya untuk menghancurkan, pada fase awal Putri harus memperlihatkan kinerja profesional.
Putri larut dalam pekerjaan. Ponsel bergetar. Sebuah pesan masuk dari Shinta mengabarkan bahwa dia akan pergi ke Singapura untuk waktu lama karena Bibi Cici sakit. Putri membalasnya dengan pesan berisi doa agar sang murid selamat sampai tujuan. Setelah menyimpan ponsel, Putri kembali bekerja. Namun, ketenangan dan kedamaiannya harus terusik. Kepala bagian keuangan tiba-tiba keluar ruangan dan menghampiri dengan tatapan yang benar-benar membuat risih.
"Bu Putri, tolong kerjakan perbaikan ini segera. Saya perlu untuk rapat setengah jam lagi. Saya tunggu di sini saja," perintahnya seraya menyerahkan dokumen penuh coretan.
"Baik, Pak," sahut Putri. Dia terpaksa menunda dulu pekerjaan sebelumnya untuk menggarap tugas dadakan itu.
Lima menit berlalu, Putri bisa melihat seringaian di bibir kepala bagian keuangan. Pria tua itu juga tampak sengaja berdiri sangat dekat. Putri semakin waspada ketika tangan si kepala bagian merayap di sandaran kursinya, terus menuju satu bagian tubuh.
Bruk!
Tepat sebelum tangan gempal menyentuh pantatnya, Putri memelintirnya, lalu mendorong si pelaku dengan keras. Kepala bagian keuangan pun terkapar dengan posisi memalukan. Satu ruangan langsung ribut. Putri sendiri seketika berdiri dengan wajah panik.
"Tolong! Tolong! Pak Kepala Bagian jatuh!" jeritnya pura-pura panik menggoyangkan badan si kepala bagian, tetapi dengan cepat memukul tengkuknya hingga pingsan.
Beberapa staf pria pun menghampiri. Namun, kepala bagian telah tak sadarkan diri. Sementara Putri memakai topeng wajah cemas dan menceritakan kejadian dengan terbata-bata. Dia mengarang cerita bahwa kaki kepala bagian keuangan tak sengaja terbelit kabel, sehingga jatuh dan tak sadarkan diri.
Akhirnya, kepala bagian keuangan digotong ke luar ruangan. Putri masih menunjukkan ketakutan. Seorang gadis berkacamata iba dan mengambilkan minuman. Kemudian, Putri mengatur dengan baik waktunya agar kembali tenang dengan natural. Setelah kondisi terkendali, barulah dia mengerjakan lagi laporan. Itupun dengan tangan yang sesekali gemetar.
Hampir semua staf di ruangan menatap Putri iba. Sandiwaranya telah berhasil menipu orang-orang, tetapi tidak dengan Gilang. Pemuda itu menyadari Putri bukan hanya mangsa yang sulit ditangkap karena terlalu gesit berkelit. Lebih dari itu, Putri adalah ular berbisa yang bisa menyerang balik kapan saja.
"Ck! Akan benar-benar sulit!" keluh Gilang dengan suara lirih.
***
"Lemes banget, Bang, muka lo, bukannya rencana kita udah berhasil?" ledek Rani.
Mereka memang tengah berkumpul di apartemennya untuk menjalankan rencana jahat selanjutnya. Namun, Gilang yang biasanya antusias, terlihat lesu. Oleh karena itulah, Rani menjadi sedikit penasaran. Sementara Tiana hanya menghela napas berkali-kali. Besar keinginannya mencegah perbuatan buruk Rani dan Gilang, tetapi nyalinya sangat kecil. Akhirnya, dia hanya diam seperti pajangan.
Gilang mendecakkan lidah. "Misahin tuh cewek sama Aldi emang berhasil, tapi susah gue mau deketin," keluhnya.
Rani mengerutkan kening. "Lah, bukannya Abang udah kerja di perusahaan yang sama? Bukannya bakal banyak kesempatan, Bang?"
"Iya, tapi serem beudh tu cewek. Mana mukanya tanpa dosa pas playing victim."
"Playing victim?"
Gilang pun menceritakan adegan Putri mematahkan lengan kepala bagian keuangan. Rani menutup mulut, lalu memaki Putri dengan sebutan cewek bar-bar tak punya tata krama. Dia bahkan semakin bertekad untuk merebut hati Aldi karena tak rela jika sampai lelaki pujaan hati jatuh ke pelukan wanita sadis. Sementara Tiana dalam hati mengagumi aksi berani Putri dalam menjaga diri dari pelecehan seksual.
"Ah, sudahlah!" Gilang mengibaskan tangan. "Putri itu urusan nanti. Sekarang, kita harus membuat Aldi terdesak dulu."
"Jadi, apa yang perlu dilakuin, Bang?" cecar Rani.
"Pertama, kita sebar dulu berita putusnya Aldi sama tuh cewek, habis itu baru sebar lagi berita hubungan mereka selama ini cuman kontrak," jelas Gilang.
"Lho, mereka beneran cuman kontrak? Ish! Percuma dong gue sampai mencak-mencak," gerutu Rani.
"Aktingnya emang bagus banget. Pokoknya, nanti lo bakal datang buat Aldi pas dia kepepet."
Rani mengacungkan jempol. "Siiplah, Bang!" serunya percaya diri. Dia seolah lupa pernah seenaknya mengucapkan pernyataan yang memojokkan Aldi di acara talk show.
Selanjutnya, mereka pun segera menjalankan rencana jahat tersebut. Hanya dalam 15 menit, kasus Aldi sudah tersebar luas meskipun belum sampai viral. Gilang dan Rani bersulang, lalu tertawa jahat.
Tiana menggigit bibir dengan badan gemetaran dan berkeringat dingin. "Ya Tuhan, bagaimana cara menyadarkan Rani?" keluhnya dalam hati.
***