webnovel

6 - Laras Marah?

"Senin yang akan datang, upacara giliran kelas kita. Semuanya, dimohon partisipasinya, ya!" Arfan, salah satu teman Nadya menyerukannya di depan kelas.

"Berhubung tinggal beberapa hari, jadi selesai pelajaran, kita akan latihan. Atau, pas jam kosong, kita ambil latihan. Gimana?" Tanyanya.

"Bikin capek aja." Celetuk Niken.

"Yang keberatan, tolong angkat tangan dan sampein sekarang. Biar saya pertimbangkan. Dan teman-teman bisa dengarkan bersama."

"Gue!" Niken mengajukan tangan.

"Ya, Ken. Kenapa?"

"Gue keberatan. Kita udah capek selama pelajaran. Kenapa mesti ditambah latian? Apa nggak cukup sekali aja?"

"Kalian semua emang nggak capek?" Imbuhnya berusaha memprovokasi.

"Iya, nih. Bikin tambah capek aja." Jawab Dewi dan Dian. Dua siswi satu geng dengan Niken.

"Ok, sebentar. Kenapa saya ajukan latian beberapa hari, itu semata buat kebaikan kelas kita. Karena kalau cuma latian sekali, kita gak akan pernah belajar memperbaiki. Sangat mungkin gak maksimal pas seninnya. Makanya saya ajukan latian mulai nanti selesai pelajaran."

"Sudah? Apa ada yang lain?"

"Gimana kalau ada yang gak mau karena capek? Apa gak kasian?" Niken terus berusaha memojokkannya.

"Ok. Kalau ada yang merasa sangat capek, kita semua capek. Tapi kalau memang ada yang sakit, bilang saja. Tapi saya disini minta tolong kerjasamanya. Ini semua juga demi kebaikan kelas kita. Saya juga sudah minta saran ke wali kelas. Yakni Bu Sri."

"Gimana? Ada saran lain?"

Semuanya terdiam.

"Kalau gak ada, saya anggap setuju. Dan setelah bel pulang nanti. Kita kumpul di lapangan upacara. Terimakasih."

"Huh! Sok ngatur!" Gerutu Niken.

"Kenapa nggak lo aja sih, Ken yang jadi ketuanya? Kan jadi bebas kitanya." Celetuk Dewi.

"Iya, nih. Mending lo aja." Jawab Dian.

"Kalian tenang aja. Besok bakal gue rencanain. Biar si sok smart itu bakal lengser dan gue yang jadiiin ketua kelas!"

Dewi dan Dian tersenyum. Seakan begitu mensemogakan yang diucapkan Niken.

***

Siang itu cukup terik. Waktu menunjukkan pukul satu lebih lima belas menit. Semua anggota kelas mengikuti perintah Arfan dengan patuh. Arfan dan Bu Sri mulai memilih siapa saja yang akan jadi petugasnya.

"Nah, yang jadi pembawa acara siapa, fan? Kamu punya usul?" Bu Sri menanyakannya pada Arfan.

"Ehm, siapa ya. Saya belum begitu kenal semuanya, Bu. Menurut Ibu saja. Nanti Arfan bantu menyampaikan dan membujuk anaknya."

"Kalau Ibu perhatikan, siswi yang cukup bersuara di kelas Niken, Nak. Kamu setuju?"

"Ehm, saya manut Ibu saja."

"Yasudah, Ibu bilang ke dia ya."

Arfan mengangguk.

"Nak Niken, kamu mau jadi pembawa acaranya? Ibu lihat, kamu siswi yang paling bersuara di kelas. Gimana?"

Niken tersenyum bangga. Matanya melihat ke arah Laras dan Kinara. Bersiap-siap membanggakannya pada mereka.

"Eh, Iya, Bu. Saya emang sering jadi pembawa acara petugas upacara dari SD, Bu. Jadi, udah berpengalaman." Niken berlagak sombong.

"Syukurlah, berarti kamu sudah nggak canggung."

"Hee... Iya, Bu."

"Nah, untuk pembaca do'a dan undang-undang, kamu punya usul, Nak?"

"Gimana kalau Dewi dan Dian aja, Bu? Mereka temen saya. Kebetulan juga sudah pengalaman dari SD. Pasti dijamin keren deh, Bu. Gak malu-maluin."

"Begitu? Yasudah, Ibu percayakan pembaca do'a ke Dewi. Dan pembaca undang-undang ke Dian, ya. Gimana?"

Dian dan Dewi yang berada di samping Niken pun tersenyum bangga.

"Baik, Bu. Kami pasti gak bakal ngecewain."

"Nah, Arfan... berhubung sudah ada semua. Kita mulai saja latiannya, ya?"

"Berarti siswi yang lain jadi paduan suara ya, Bu?"

"Iya. Betul, Nak. Saya kesana dulu, ya. Nak Arfan kondisikan teman-teman lain, kalau sudah siap, bisa mulai latiannya." Bu Sri menjauh dan mengamati dari sisi lain.

"Hahaha, gue bilang apa. Niken gituloh! Kita tuh udah terkenal dari kecil. Mau gimanapun ya... tetep keren! Ya nggak, gaes?"

"Iya, dong." Dewi dan Dian bersamaan menjawab.

"Nggak kaya dua cewe aneh itu tuh. Yang cuma taunya buku dan satunya apa ya? Bisanya ngrengek dan ngadu kali, ya? Eh, hahaha." Lanjut Niken mengejek Laras dan Kirana.

"Udah, ya. Jangan bikin ribut. Kalian lakuin aja amanah dari Bu Sri. Jangan bikin ribut! Tegas Arfan.

"Ok, Ketua kelasku. Hahaha."

Arfan tak menggubrisnya. Ia berjalan ke arah barisan siswi lainnya. Mereka adalah selain petugas upacara yang sudah dipilih.

"Nah, saya nyampein amanah dari Bu Sri. Kalau kalian semua yang pegang bagian paduan suara."

"Tuh, kan. Paling kita jadi yang disisihkan dan jadinya masuk paduan suara." Keluh Laras.

"Kalian jangan pesimis. Disini semuanya sama. Gak ada petugas paling penting atau apapun. Kita semua kerjasama."

"Demikian juga paduan suara. Jangan remehin paduan suara. Kalau suara kalian tak berpadu, seperti namanya. Penarik bendera nanti, dan semua peserta upacara akan sangat terganggu."

"Jadi, saya tegasin. Bernyanyilah! Bersuara, dan berpadulah semaksimal mungkin. Ok?" Arfan nampak begitu semangat.

"Berpadu? Hahah ada-ada aja." Celetuk Niken.

"Ok. Sebentar lagi kita mulai. Siap?"

Seluruh siswi dan beberapa siswa yang tak masuk jadi petugas, juga turut serta di paduan suara. Mereka patuh ke Arfan. Tak sedikitpun yang menolak.

"Ok, Niken. Kamu mulai acaranya pas saya sudah berdiri siap di sana, ya?" Arfan menunjukkan posisi awal sebelum ia masuk ke tengah lapangan sebagai pemimpin upacara.

"Ok, Bos!" Niken menjawab singkat. Sambil tersenyum sinis.

***

"Heuh... lagi-lagi jadi paduan suara. Skalian aja gausah berangkat." Gerutu Laras.

"Emang kenapa, Ras? Bukannya paduan suara juga keren? Gak gampang lo maduin suara. Sekali ada satu suara yang mau unggul sendiri, gak mau berpadu, kan bisa rusak semuanya." Jawab Nadya merasa aneh mengamati Kirana.

"Hmm, tetep aja. Paduan suara itu seperti siswa-siswi yang tak terpilih dan mau gak mau disatukan. Barisan orang-orang tak terpilih. Gak berguna." Keluhnya kian menjadi.

"Hus! Gak boleh bilang begitu. Lagian, kamu apa-apaan si, Ras? Kenapa? Kamu gak siap? Emang kamu pengin jadi apa, hah?"

"Pembawa upacara? Yang bawain rundown upacara dengan resiko besar, hah? Siswi pendiam seperti kita itu gak pantes!" Nadya terlihat kesal menanggapinya. Entah, mungkin karena capek.

"Gak pantes ya, Nad? Lo bener. Cewe aneh, gapunya bakat, gak layak bersuara seperti anak populer lainnya. Lo bener, Nad!" Laras berkata sambil berkaca-kaca. Sejenak kemudian, menjauh dari Nadya. Berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Laras.

"Ras! Laras, tunggu!!" Nadya makin heran.

"Apa ada yang salah dengan ucapanku?"

"Heh, Nad! Kenapa? Belum pulang?" Terdengar suara laki-laki menyapa Nadya dari belakang. Saat ua menoleh, ternyata Dika.

"Eh, Dika? Iya, tadi habis latian upacara. Jadi baru pulang."

"Tadi aku liat sepintas si dari ruang OSIS. Kamu jadi paduan suara, ya?"

Nadya mengangguk. Lalu menunduk.

"Kenapa? Ada masalah?"

"Dik, emang pantes ya misal orang pendiam sepertiku menyuarakan suara. Perform di depan banyak orang? Seperti jadi pembawa acara, mungkin?"