webnovel

3 - Masalah Dika

"Kenapa, Bu? Ada apa?" Dika memeluk Ibunya yang sedang menangis. Dibalik layar komputernya, ia terus menangis.

"Apa yang terjadi, Bu? Kenapa dengan Ayah?"

"Ayahmu terjerat kasus korupsi, Nak. Kemarin dibawa untuk tahanan sementara."

"Ayah...," Dika terdiam seketika.

"Ibu? Ibu gak kenapa-napa 'kan?"

"Ibu gapapa, Nak. Ibu cuma takut. Takut kamu kenapa-napa. Kamu belum cukup dewasa menerima kabar seperti ini. Tapi Ibu gatau gimana caranya mengabarkan ke kamu, Nak. Maafin Ibu sayang."

"Ibu gasalah. Ibu gausah takut, ya."

"Iya, Nak. Ibu cuma kawatir sama kamu."

"Dika gapapa, Bu."

"Kamu baru saja masuk SMA. Pasti banyak teman-teman sekolahmu yang akan tahu hal ini cepat atau lambat. Di koran, berita. Ibu tak terbayang gimana perasaanmu nanti, Nak. Melihat foto ayahmu nanti di sana."

"Itu gampang. Itu urusan Dika. Ibu gausah kawatirin Dika. Yang penting Ibu gapapa.

***

"Hello, Bro!! Lo dimana? Kita mau rapat nih buat acara PLS nanti. Lo ikut kan? Inget loh. Lo ketuanya!"

"Dasar, aktivis rohis abal-abal! Giliran bokapnya yang tersangka, anaknya pergi! Hahaa, dasar anak koruptor!"

"Dik, lo dimana? Masih di rumah? Gue tunggu kabar lo! Keadaan genting!"

"Dika, lo baik-baik aja 'kan? Lo mau balik ke kampus kapan? Besok mau ada aksi besar-besaran. Lo mesti ikut yah!"

Berbagai pesan, baru dilihat Dika dari teleponnya. Berbagai emosi terasa bercampuran. Namun, yang ada saat itu adalah menenangkan Ibunya.

"Apa apa, Nak? Kamu baik-baik aja 'kan?"

"Gapapa, Bu. Ibu pengin apa? Biar Dika beliin."

"Ibu gapapa. Cuma pusing."

"Dika beliin sop buah dulu di luar, yah? Biar lebih seger."

"Nak...,"

"Iya, Bu?"

"Kamu yang kuat, ya. Jaga Ibu."

"Ibu jangan kawatir. Dika pasti jagain Ibu."

Dika segera pergi keluar. Mencari sop buah—sebenarnya juga ingin meredakam gejolak amarahnya. "Kenapa ayah nglakuin hal kegini?" "Kenapa, yah?"

"Dika, lo dimana?"

"Heh! Dika! Temen-temen di sini pada nungguin!"

"Dik, lo dimana? Acara PLS tinggal beberapa hari lagi nih. Kita mesti rapat pemantapan."

Berbagai pesan whatsapp tak dibaca Dika. Wajahnya mematung. Ia masih duduk di ruang tengah. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Segelas kopi yang dibuatkan Ibunya pun mendingin. Bukan hanya karena cuaca, waktu, tapi barangkali juga jemu. Bosan menanti Dika meminumnya.

"Dika, kok masih di rumah, Nak? Gak ke sekolah?"

"Eh, Iya, Bu. Nanti aja. Dika pengin di rumah dulu."

"Kamu kenapa, Nak?"

"Kopinya udah dingin? Gaenak?"

"Enggak, Bu. Nanti Dika juga minum."

"Bu, Dika boleh minta sesuatu?"

"Apa, Nak?"

"Mulai sekarang jangan panggil Dika lagi, ya. Panggil Wahyu aja. Aku lebih suka panggilan itu." Pintaku kelu.

"Kenapa sayang?" Ibunya terheran.

"Gapapa, Bu. Aku lebih suka Wahyu aja. Sama aja, 'kan? DIKA WAHYU HIMAWAN. Sama-sama bagian nama Dika 'kan?"

"Boleh, Bu?"

"Boleh, Wahyu." Ibunya tersenyum.

"Makasih, Bu. Dika pamit dulu, ya."

"Mau ke sekolah?"

"Iya. Tinggal beberapa hari lagi acara PLS. Kawatir temen-temen nungguin."

"Lho, emang Dika gak buka hp?"

"Lagi males aja buka hp, Bu."

"Yaudah Dika pamit, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam... hati-hati, Nak."

"Iya, Bu."

***

"Heh, Dik? Gimana? Ko temen lu gak dateng-dateng? Dia niat gak si jadi ketua panitia? Tau gini mending gue aja yang jadi ketuanya!"

"Diem lu!"

"Dibilangin sewot!"

"Bentar lagi juga pasti dateng. Lu tenang aja."

"Kasih pengertian ke temen-temen lainnya di dalam. Dika pasti dateng, ko."

"Atau... jangan-jangan Dika trauma karena ayahnya kena kasus?"

"Awas lo! Skali lagi gue denger lu ngatain dia. Apalagi di depan temen-temen lainnya, tamat!" Raka tak segan mengancam temannya itu.

Iapun segera masuk. Bergabung kembali dengan teman-temen panitia lain—yang sama-sama sedang menunggu arahan dari Dika. Raka masih di luar. Ia pun berjalan ke arah parkiran depan sekolah.

"Dimana si lo, Dik...,"

"Lo gapapa, 'kan?" Raka cemas.

Beberapa saat kemudian, sebuah motor satria warna merah mendekatinya. Tak lain adalah motor Dika.

"Kemana aja si! Temen-temen lainnya pada nungguin lo!"

"Gue whatsapp gak dibaca. Bikin parno aja."

"Hehe iya, iya, sorry. Gue di rumah aja ko."

"Trus kenapa WA gue gak dibaca? Lo gak kenapa-napa 'kan?"

"Udaah, bawelnya nanti dulu. Katanya udah ditungguin. Gue parkir motor dulu. Lo tunggu aja di depan ruang OSIS."

"Rapatnya di ruang Rohis, bro!"

"Ok. Gue kesana!"

Dika segera memarkirkan motornya. Seolah perasaan kecewa yang sedang melandanya, tak pernah terjadi. Lenyap begitu saja.

"Biar gimanapun, gue mesti tetep lanjutin!" Tegasku.

Beberapa kabar, menjelma sabar. Sampai aku tak tahu mana itu kabar, karena terbiasa menelan sabar.

Pagi menyajikan gerimis. Sepotong harapan tumbuh lalu menangis. Seorang perempuan tersedu dalam sudut kamarnya. Nadya.

"Nak, kamu kenapa? Nggak berangkat sekolah? Bukannya mau ada bayar daftar ulang?"

"Iya, Bu. Nanti Nadya berangkat."

"Nak... maafin Ibu kemarin marah-marah sama kamu, Nak."

"Iya, gapapa, Bu. Nadya nurut, ko. Ibu tenang aja." Jawabku terpaksa. Tapi tetap dengan tersenyum.

"Nak, tak ada Ibu yang tega membiarkan anaknya sedih dan susah. Ibu cuma pengin yang terbaik buat kamu."

"Nadya gak sedih, Bu. Juga gak merasa susah. Laras lakuin ini dengan senang hati, Bu. Buat Ibu."

Beberapa saat kemudian, mata Ibunya seperti membaca dinding kamarnya. Mengumpulkan tanya-tanya. Kemudian, lahirlah kembali tanya.

"Nak, kamu masih berteman dengan Dika? Gimana kabarnya sekarang? Ibu lama sekali gak lihat dia."

"Alhamdulillah, dia baik, Bu."

"Syukurlah. Kenapa kamu jarang cerita? Ibu lihat kamu juga gapernah lagi keluar sama Dika."

"Lagi pengin di rumah aja, Bu."

"Nak, selagi orang yang kamu sayangi masih ada di dunia ini. Dan ia pun masih tulus menyayangimu. Sinarilah. Rengkuh segala sedih dan susahnya. Tak ada kesedihan paling menyedihkan saat melihat orang yang kita sayang pergi meninggalkan kita dengan cinta yang tak pernah retak."

"Bu ... Ibu ngomong apa?"

"Laki-laki itu seperti pejalan, Nak. Kadang-kadang, kamu cukup jadi langitnya yang mendengar segala ceritanya. Sejauh melangkah seorang pejalan, ia pasti akan kembali pada hati yang meneduhkannya."

Nadya tak tahan menyimpan rindunya. Ya, bagaimanapun Dika-lah sahabat kecilnya. Yang hampir selalu tahu apapun tentangnya. Namun, sejak kabar ayahnya, ia seperti menghindar. Entahlah. Kupeluk Ibu. Sambil menyeka bulir mataku.

"Yang sabar, Nak. Dika pasti baik-baik saja."

***

"Ayo, Dik! Temen-temen sudah nungguin!"

"Iya, iya. Ini juga lagi jalan. Eh kok rame sih, Rak?"

"Yaelah kayak gapernah ngalamin aja. Kan mereka pada daftar ulang."

"Ouh..."

"Makanya, punya hp dibuka. Bukan cuma disimpan! Jadi gak update!"

"Iya-iya."

Sesampainya di depan ruang Rohis, teman-temannya sudah menunggu. Wajah-wajah berbagai rupa. Ada yang memang benar-benar menanti kehadirannya. Ada pula yang memasang wajah penuh tanda tanya. Seakan seperti wartawan yang ditahan bertanya. Entah apa yang dipikirkan mereka. Aku mencoba tak memedulikannya. Terus melaju. Cuma itu satu-satunya membahagiakan Ibu. "Aku gaboleh terlihat pesimis. Aku pasti bisa." Batinku.

"Udah, ayo masok. Kok malah nglamun?" Ajak Raka yang sudah melepas sepatunya.

"Cepetan Dik!"

Aku mengikuti langkah Raka. Ia terlihat bijak sekali menyampaikan alasanku datang terlambat. Meski kuulang juga ceritanya. Lebih tepatnya, kucari-cari alasan tepat agar mereka—teman-temanku tak banyak menaruh curiga. Aku yakin, mereka pasti sebagian besar sudah tahu kabar itu. Ya, apalagi kalau bukan kabar ayahku? Seorang pejabat yang korupsi!

"Ayah, kenapa ayah nglakuin kegini? Apa salah Dika sama ayah? Kenapa harus melakukan korupsi?" Batinku tak bisa menyembunyikan pilu. Meski berkali-kali kutahan sendiri.

"Nah, saya rasa itu saja. Berhubung sudah cukup, kita maksimalkan saja buat acara PLS nanti. Tetap semangat. Dan ingat, anggap mereka teman. Jangan merasa paling tinggi apalagi sok menghakimi. Harus tetap jaga kendali. Ok?"

Akhirnya, rapat penutupan untuk acara PLS selesai. Aku pun ingin pulang ke rumah.

"Eh, Dik. Mau kemana?" Tanya Raka.

"Pulang, Rak. Kasian Ibu di rumah."

"Gue boleh ikut nggak? Bosen nih. Main PS aja di rumah lo, gimana?"

"Boleh..., asal bawa jajan sendiri, ya!"

"Haha tenang. Yuk!"

Di perjalanan menuju parkiran, aku dan Raka melewati suatu kelas. Papan pengumuman tampak ramai di sana. Entah, padahal pengumuman penerimaan sudah diumumkan sejak kemarin.

"Lo gak penasaran nama-nama yang diterima, Dik?"

"Oh ya. Sekarang jangan panggil Dika, ya. Wahyu aja."

"Eh, kenapa? Biar lebih beda aja."

"Ish, ada-ada aja. Oklah no problem."

"Bentar, Rak."

"Kenapa, Dik? Eh Wahyu. Ada apa? Lihat apa?"

"Dia... sekolah di sini?"

"Siapa sih?"

"Bukan siapa-siapa, Rak. Yuk, pulang!"

Entah, apakah Dika lupa siswi yang kemarin ditolongnya adalah sahabat kecilnya. Lupa? Atau... memang melupakan?