webnovel

2 - Musuh Nadya?

(POV Nadya)

"Kak, kakak kelas yang tadi mana, ya? Kok lama banget." Tanya salah seorang siswi.

"Oh, Dika. Dia tadi nyari siswi yang belum baris. Gatau deh kemana. Paling bentar lagi."

"Tapi ini udah mau selesai. Masa belum dateng? Ga tanggung jawab banget."

"Apa?" Raka kaget mendengar ucapan calon adik kelas barunya itu.

"Apa kamu bilang?" Tanya Raka tegas.

"Eh, enggak. Maksudnya kasian aja nyari lama banget. Lagian siapa sih yang ngilang pas baris gini? Ngrepotin aja."

"Nah, itu dia Dika."

"Gimana, Dik? Udah ketemu?"

"Udah, tapi mereka gak ikut kesini."

"Lho, kenapa?"

"Panjang ceritanya. Singkatnya satunya sakit, jadi mereka berdua aku ijinin gaikut. Kasian kan, kalau ke UKS sendirian."

"Iya si. Yaudah, kamu pasti capek. Sana, ambil minum dulu. Istirahat."

"Thanks, Rak."

"Aman."

"Eh, Kak. Aku ijin ke toilet sebentar, ya." Siswi yang tadi bertanya itu bertuliskam Niken dan tiba-tiba ijin.

Raka mengijinkannya.

***

Aku menemani teman baruku menuju UKS. Perjalanan ke UKS cukup melewati beberapa ruangan. Aku coba mengisinya dengan berbagai pertanyaan santai. Sekedar ingin menghiburnya.

"Laras, aku masih penasaran deh. Kenapa tadi duduk di sana? Sendirian lagi. Apa gak takut?"

"Kamu juga di toilet sendirian 'kan? Apa gatakut?"

"Kalau aku takut. Udah jelas. Takut bukan main."

"Kalau aku nggak. Aku gak takut dengan suasananya. Tapi aku lebih takut satu hal."

"Apa?"

"Aku sendiri."

"Maksudnya?"

"Masa pembaca novel gatau." Ledeknya.

"Oh ya, tadi yang nolongin kamu kan Kak siapa itu?"

"Dika."

"Nah, iya itu. Ko bisa?"

"Aku juga gatau. Ya mungkin dia denger suara minta tolong."

"Ehm, aku masih penasaran siapa yang tega ngunci kamu di toilet. Tenang aja. Pasti aku ketemu orangnya, Ki."

"Sok pahlawan."

"Emang. Jadi cewe mesti strong. Jangan minder."

"Lah, tadi aja sendirian. Apa coba kalau gaminder?"

"Bukan. Itu namanya introspeksi. Merenung."

"Tau deh. Eh, itu UKS-nya udah deket."

Tiba-tiba, Niken mendekatiku dan Laras. Entah, muncul begitu saja dari ruang kelas sebelum UKS.

"Masih betah ya di sekolah ini? Hah?" Suaranya terdengar mengiringi api yang menyala di matanya.

"Saat marah, seseorang tak boleh membuat puisi." Kata Sapardi. Agar ada jarak antara realita dan luapan emosi diri—Sebab itu perlu jeda.

Ehm... atau barangkali, memang muaranya sama—dalam segala tindak apapun perlu ketenangan. Entah bicara atas nama keadilan, kepedulian, atau tanpa atas nama apapun. Ada titik ketenangan tersendiri—meski luapan emosi marah pun—akan jadi marah yang elegan. Bagaimana membentuknya?

Laras pun sepertinya tak tahu. Barangkali lewat membaca foam moccacino yang dibentuk cantik sedemikian rupa—tapi tak pernah protes kecantikannya dirusak; demi dinikmati penikmatnya. Atau... gemericik air jatuh yang meneduhkan—meski dirinya jatuh sedemikian menyedihkan. Ah, apakah kesedihan itu? Apakah hanya karangan manusia—yang tak mampu membaca kesenangan lainnya? Atau, lewat tulisan yang selalu ia luapkan di buku hariannya?

Laras senang membaca gelap jalanan rumahnya. Ia pun suka membaca gemericik air jatuh tiba-tiba—saat membaca berbagai (warna) mata. Belum pernah ia jumpai hal terindah dari manusia selain ketulusan hati. Dimanapun. Dalam hal apapun. Dan.. siapapun. Nampak pada wajahnya, sebuah kecewa dan rindu yang tak tertahankan. Seperti ingin diungkapkan tapi tak ingin tersingkap. Ia memilih mendekap. Hingga kecewa dan rindu kian tersekap. Lenyap.

***

"Kenapa bisa kambuh begini, Nak?"

"Bapak habis ngapain tadi?"

"Gatau, By. Pas Laras pulang, Bapak sudah terbaring di lantai."

"Astaghfirulloh, Pak. Maafin Ibu gabisa jagain Bapak." Kesedihan tak bisa dibendung lagi. Kini, dua orang perempuan itu sibuk menanti kabar. Bapaknya yang tak kunjung sadar. Lalu lalang pasien lain, dokter, suster, pengunjung, turut jadi pemandangan gelisah di halaman matanya.

"Gimana, Dok? Bapak saya baik-baik saja 'kan?" Laras panik. Matanya berusaha menilik. Seorang pasien dibalik pintu itu. Yang tak lain adalah bapaknya.

"Sabar, ya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Allah berkehendak lain. Kami turut berduka cita."

Laras tak menghiraukan perkataan dokter itu lagi. Ia langsung masuk ke ruangan empat puluh tujuh. Ruangan bapaknya yang membujur meninggalkan kelu. Kelu di mata Laras juga tentu Ibunya, Hesti.

"Pak, Bapak bangun yah? Laras sudah bisa bikin tulisan yang bagus. Nanti mau dikirim ke koran, biar bapak bisa lihat nama Laras di sana. Pak, Bapak... bangun..." Laras masih tak bisa menerimanya.

"Sudah, Nak. Ikhlasin... Bapak sudah pulang."

Ibunya berusaha menenangkan.

Laras terus mendekap bapaknya.

"Pak, Bapak capek ya? Laras berhenti sekolah aja ya, biar jagain bapak?" "Gimana, Pak? Bapak diam berarti setuju 'kan?" "Kalau Bapak setuju, Laras akan segera pamit skalian cari kerja aja, Pak."

"Nak, udah... Bapak sudah pergi." Ibunya memeluk Laraa. Berusaha menenangkan kesedihannya.

Pecah segala duka. Air mata jadi bahasa kesedihan paling nyata. Tumpah di ruangan bercat biru muda. Dindingnya yang kokoh, tak sebanding dengan penghuninya. Berbagai kisah tertuang. Puzzle memori bersama orangtuanya—terutama bapaknya. Laras seperti memandang berbagai kejadian selama ia bersama bapaknya. Perlakuannya sejak kecil, kasih sayang, kerja keras dan tentu kesabaran melaluinya.

Ibunya keluar sebentar dari ruangan itu. Mencari kontak saudara jauh di teleponnya. Tetapi, yang ada hanya dering nadanya. Tak ada jawaban.

***

"Dik, Lo dimana? Gak ke sini lagi?" Tanya Sekar, teman Laras.

"Gak, nih. Gue lagi ada perlu sama temen."

"Ngapain? Beneran lo gamau kesini?"

"Emang ada apa?"

"Penting, Dik! Bapaknya Laras...,"

"Kenapa dengan bapaknya Laras?"

"Bapaknya meninggal. Barusan gue dikabarin. Makanya ini langsung ngabarin lo. Tau sendiri kan, bapaknya Laras lama tak ada kabarnya. Gue sedih aja kalau nanti ke pemakaman, mereka cuma berdua."

"Pemakaman jam berapa?"

"Mungkin nanti sore, Dik."

"Gue kesana!"

Klik. Telepon segera dimatikannya. Suara Dika menghilang begitu saja tanpa salam.

"Kalau sudah urusan cinta baru cepet." Sekar menggerutu. "Kisah yang rumit." Imbuhnya.

"Nak, kamu dimana? Kapan pulang?"

"Dika lagi perjalanan ke rumah temen, Bu. Ada keperluan mendadak. Maaf, ya. Gasempet kabarin Ibu."

"Ibu minta waktunya dulu, ya. Kamu mesti pulang sekarang. Ayahmu, Nak. Ayahmu."

"Kenapa dengan Ayah, Bu?"

"Kamu pulang dulu. Ibu gasanggup bilangnya."

"Bu, tapi... temen Dika baru ada yang meninggal bapaknya. Rencananya mau nyusul kesana."

"Siapa?"

"Laras."

"Innanillahi..."

"Kamu nanti juga akan ketemu dia. Sekarang, kamu mesti pulang dulu, Nak. Nanti kamu bisa nyusul ke pemakamannya lain hari."

"Ini darurat. Ibu takut."

"Baik, Bu. Dika segera pulang."

Tawa lepas bersama teman-temannya, seketika redup dari mata Dika. Ia dengan berat hati meninggalkan rencananya ke pemakaman bapaknya Laras.

"Kamu kelihatan cemas banget, Kar. Ada yang ditunggu?" Laras menegurnya.

"Ehm... gak, Ras. Ayo, udah mau ke pemakanan kan?"

"Iya. Beneran mau ikut?"

"Iyalah. Cuma lagi kepikiran aja."

"Kepikiran apa?"

"Gak, ko. Gapenting. Yuk!"