webnovel

Berawal dari Satu Malam

Hanya berawal dari satu malam. Terlalu singkat namun mengubah seluruh kehidupan dua orang yang dipenuhi ketidaktahuan. ONS? Benar. Lantas ketidaksengajaan, ketidaktahuan dan kesalahanlah yang terjadi. Bisakah mengalahkan takdir saat semuanya sudah terlambat? Rein, sang perempuan polos mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi 'korban.' Lalu Redis Sanjaya langsung meninggalkan Rein begitu saja setelah ia pun juga merasa tak sengaja. Redis yang dipaksa menikah mengorbankan Rein. Sedangkan banyak orang menyukai orang tersebut. Pernikahan berjalan buruk, Rein dan Redis tak cocok. Justru, Redis hanya tahu soal kerja dan kerja sampai Rein pikir orang itu tak normal. Lantas, bagaimana jika ibu Redis minta Rein mengubah anaknya? Rein dihadapkan dengan pilihan keluar namun tak boleh membawa anaknya. Lalu orang tersebut mau tak mau memilih pergi. Sepupu Redis yang bernama Radit menyukai Rein, oleh karena itu ia pun membantu Rein. Radit adalah orang yang membuat orang lain kesal. Ia adalah orang yang menjengkelkan. Bisakah Rein bahagia?

Raein23_Raein · 都市
レビュー数が足りません
214 Chs

16 Lihat dengan Mata Telanjang (buka mata selebar mungkin!)

Ingin marah dan melakukan sesuatu, akan tetapi tak bisa. Adakah keajaiban?

Tolong, biar orang-orang menghirup udara bebas.

Tolong jangan bersikap berlebih. Apakah bisa?

Tak ada yang tahu.

Two person, Meri and Rein.

***

"Wuah...! Mer, apa yang harus ku lakukan?"

"Melakukan apa, sekarang aku mau berangkat kerja jadi jangan aneh-aneh deh."

"Hey, bagaimana bisa kamu sesantai ini setelah pukul sekretaris. Aku berani jamin, hidupmu di kantor gak akan baik-baik aja."

Anggaplah kedua orang tersebut adalah sepasang sahabat normal pada umumnya. Tak ada hubungan manapun yang adem ayem doang.

"Lho, kamu nyumpahin aku ya!?"

Begitulah keseharian antara sepasang sahabat Rein dan Meri. Pertengkaran kecil sudah biasa. Seperti mendarah daging hingga jadi kebiasaan.

"Bukan gitu. You know, kamu sudah berbuat ceroboh--begitupun denganku."

Meri yang sedang menata pakaian--merupakan aktivitas akhir pun terhenti oleh perkataan Rein.

Apa yang orang itu bilang?

"What happen, coba katakan sesuatu."

Keduanya pun saling berpandangan intens, yang membuat waktu seakan-akan berhenti.

Tik. Tok. Tik.

Sepersekian detik lewat.

"Ck, cepetan. Aku mau berangkat kerja nih."

Jadi hancur kan momennya kalau begitu. Ah sudahlah, cancel!!!

***

Oke, mari kita beralih pada situasi dan keadaan lain. Sudah cukup dulu masalah Rein dan temannya.

Sekarang Radit dan sekretaris.

"Ku pastikan mereka nyesal. Mereka yang kalah."

"Pak?"

Teng, bagai bunyi dentingan lonceng, Radit pun akhirnya tersadar.

Kalau dipikir-pikir, rada-rada bodoh tanpa sadar ngomong sendiri. Lebih-lebih saat sedang rapat. Mau ditaruh dimana itu wajah?

Harap maklum.

"Apa lihat-lihat, lanjutkan rapatnya."

Seluruh karyawan langsung mengikuti perkataan sang atasan. Mau bagaimana lagi, kalau tidak, bisa kena amuk.

Kemudian..., rapat lanjut seperti biasa seolah-olah tak terjadi apapun. Waktu berjalan, tahu-tahu akhirnya rapat pun selesai. Sekarang tinggal Radit dan sang sekretaris. Berdua.

"Kamu harus membantuku," celutuk Radit saat suasana hening tentram dan damai.

Hal tersebut sontak membuat si sekretaris kaget. Tiba-tiba?

Kening mengerut bingung dan mata mengerjap lamat-lamat. Lengkap dengan posisi refleks memegang dada.

Sudahlah kaget, bingung lagi.

"Apa yang harus saya lakukan, Pak?" Si sekretaris pun bertanya pelan.

Harus profesional. Walau kaget otak masih berproses kok.

"Sebelumnya aku bilang, siap-siap, posisikan diri sebagai teman bicara bukan sekretaris terhadap atasannya. Paham?"

Sungguh, sebelum ini Radit sama sekali tak pernah bersikap begitu. Lantas apa yang terjadi, sang atasan tiba-tiba menyuruh jadi..., sahabat?

Kurang lebih begitu.

Mungkinkah mereka akan curhat versi semi formal?

Sebab ya, selama ini yang terjadi antara orang itu sebatas atasan dan bawahan. Tak lebih.

Normal.

"Oh of course Mr, i will."

Suara Reni lirih. Ia merasa aneh.

Tak ada hal baik apapun yang bisa ia lakukan, semua terlalu terburu-buru, mendadak dan tiba-tiba.

"Oke, aku mulai. First, kamu marah dengan pak CEO Redis?"

Nona Reni diam. Kenapa tanya soal itu...?

Kok...?

Mengenai tersinggung pastilah, tapi kalau marah, belum tahu.

But, inilah yang terjadi.

Tanpa orang itu sadari tangan terkepal kuat.

"Right, saya marah dan tersinggung. Enak aja nganggap saya wanita murahan. Padahal tidak terjadi apa-apa antara kita dan dia pun tak tahu. Dasar orang kaya sembrono."

Nona Reni seketika berhenti berucap saat sadar yang ia katakan. Eh, kenapa malah ngoceh?

Sedang menyampaikan unek-unek?

Tadi sang atasan yang pancing untuk jujur, sekarang Reni kelepasan.

Oh God.

"Maaf, Pak."

Radit angkat bahu acuh. Tatapan lurus ke sang sekretaris. Memang itu kok yang ia mau.

"Aku yang menyuruhmu, bersikaplah biasa. Ingat, ini perintah," dengus Radit dalam satu tarikan napas.

Sekretarisnya ini memang suka hal-hal berbau penting dan formal. Padahal sekarang kan situasinya tidak tepat.

Redis ingin terbuka ke orang tersebut. Ambil kesempatan dengan ia yang kesal ke Redis.

"Eh?"

"So..., apa kamu ingin membalas?" tanya Radit. Tangan mengetuk meja sambil bersmirik.

Sebenarnya nona Reni sudah terbiasa dengan kata ganti 'aku dan kamu' yang dipakai sang atasan. Namun, bicara santai dan terbuka tak biasa orang tersebut lakukan.

Mereka jarang, bahkan bisa disebut tak pernah.

But, sekarang, pertanyaan Redis buat nona Reni menatap lurus. Hilang sudah tatapan bingung dan tak nyaman yang sempat menguasai. Sekarang situasi berubah 180°.

"Of course, membalas terdengar bagus. Terlebih kalau itu kesalahan fatal. Agar tak mudah diinjak-injak dan ditindas. Otak harus banyak berpikir. But, kalaupun tidak bisa, aku tak akan memaksakan kehendak. Aku punya planning tersendiri, kalau Bapak berniat menawarkan sebuah rencana pembalasan."

Dengar perkataan sang sekretaris, Radit pun spontan menyeringai. Sedari awal Radit bisa lihat sifat optimis dari cara perempuan itu bertindak.

Sekali bertemu pandang pun juga begitu, tatapan yang sama sampai sekarang. Ambisius dan kejam.

Itulah alasan Redis mengangkat nona Reni menjadi sekretaris walau orang itu hanya tamatan SMA. Lalu selama bekerjalah Reni harus mengambil studi lanjutan agar bisa menjadi sekretaris.

Syarat, spesifikasi dan kualifikasi adalah hal yang harus diperhatikan, dipenuhi dan mutlak.

Tak ada satu hal pun yang instan.

Jadilah, nona Reni bekerja sambil kuliah. Tentu sebuah perjuangan yang sulit.

Terlebih berposisi sebagai sekretaris CEO perusahaan besar. Itu seperti bermain di ujung tombak yang ada apinya.

"Bagus, aku suka cara berpikirmu. Lakukan yang ingin kau lakukan. Tak ada batas antara orang atas dan bawah. Ah..., sepertinya tawaran bantuanku tak ada artinya, sebab kau orang yang berdiri sendiri. Tapi..., saat kau kesulitan, jangan lupa datang padaku."

Kedua orang tersebut menyeringai, yang setelahnya bertukar senyum sinis.

Nona Reni menatap lurus atasannya tersebut, lantas kemudian berucap. Ia bukan orang yang mudah terjebak. Reni tahu orang tersebut licik.

"Maaf Pak, apa yang terjadi sampai Bapak tersinggung? Pasti ada sesuatu kan."

Sial, Radit tercium gerak-geriknya. Cepat sekali sih!

Reni sifat gesitnya gak ketulungan. Orang tersebut tahu, tak mungkin Radit bersikap sejauh ini oleh sebab penghinaan ke sang sekretaris.

"Ck, kamu selalu saja memperhitungkan hal kecil."

Radit berdecak pelan oleh perkataan sekretarisnya. Selalu begitu, katanya sih biar gak menyesal dan salah ambil langkah.

Harus tahu dari akar-akarnya.

"Tentu Pak, jadi bagaimana. Maaf kalau saya lancang."

"Hey jangan formal. Coba sebut kata 'kamu dan aku' lagi, bukan saya, Pak atau Anda."

Nona Reni menarik napas panjang. Barusan ia mudah kok bilang 'aku kamu,' nah kenapa saat dapat perintah rasanya sulit?

Ada yang tak beres dari daya adaptasi orang itu. Damn.

"Maaf pak, sepertinya Anda harus kembali bekerja. Kita sudah menghabiskan banyak waktu."

Sebuah pengalihan. Redis menyadari hal tersebut.

Radit mendesah pelan, "hah..., sekarang kamu memerintahku?"

Menakuti tak apa-apa?

Kebiasaan Redis adalah buat orang kesal, gelisah dan tak nyaman. Seolah-olah itu hiburan berkualitas yang ia dapat secara cuma-cuma. Berlaku ke semua orang.

"Maaf Pak," ujar nona Reni cepat. Takut kalau-kalau masalah itu semakin besar.

Radit menatap intens sang sekretaris. Interaksi wajar dan tak berlebih.

"Sudahlah lupakan. Ingat, bergerak cepat semakin baik. Itu adalah kunci keberhasilan," ujar Radit lagi.

Butuh perlakuan khusus untuk sekertaris andalannya.

Nona Reni memang harus diperlakukan khusus. Kalau tidak tujuan awal sulit tercapai.

"Sepertinya ini berhubungan masalah keluarga. Maaf jika saya lancang, Pak, tapi itu bukanlah ranah saya." Nona Reni menyeringai setelahnya tersenyum hangat.

"Oke, masing-masing dari kita tidak suka buang-buang waktu. Menurut Bapak, apa yang harus saya lakukan?"

Seketika itu juga sebuah senyuman misterius muncul di wajah Radit.

Lihat dengan mata terbuka lebar, peluang itulah yang ingin semua orang capai.

Reni ingin ikut.

"Pak Radit, apa yang akan Anda perbuat?" gumam nona Rena dalam hati.

Reni sudah gila ikut ke permainan Radit. Namun justru sebaliknya, berbagai macam rencana hilir mudik di otak pintar Reni. Ia tak sabar buat Redis tumbang.

***

Halo Kakak-kakak semua. Gak bosan-bosan nyapa terus. Ayo dong follow Ig rinia_raein23. Nanti ada spoiler bab. Lihat lebih jauh sisi saya dari banyak sudut. Baru belajar sih. Makanya bakal banyak salah. Terima kasih sudah berkunjung. Tolong sebar cerita receh ini ke orang-orang khusus 18+. Biar saya lebih semangat update. Lihat sisi berbeda dari Raein23. Terima kasih. Izin cuap-cuap terus.

Sertai orang yang ingin berjuang dan usaha. Usaha tak khianati hasil atau hasil yang tak khianati usaha?

Hayo mana yang benar...?

Terima kasih.

*****