webnovel

Harus Bicara

Begitu sampai di kamar, Arin segera mengunci pintu agar tidak ada seorangpun yang masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. Jelas itu akan sangat berbahaya karena bisa saja rahasia yang disembunyikannya selama dua tahun ini, akan terbongkar.

Begitu merasa semuanya sudah aman, Arin segera mengambil ponselnya lalu mengutak-atik benda pipih itu untuk menghubungi Arkan.

Namun, beberapa panggilan yang dia lakukan malah diabaikan laki-laki itu. Sepertinya, Arkan memang sedang marah besar padanya.

"Astaga Arkan, angkat dulu dong! Jangan salah paham seperti ini. Aku enggak mau kalau harus pisah sama kamu," gumam Arin begitu resah.

Tak ingin menyerah, Arina kembali menghubungi kekasihannya. Berharap laki-laki itu mau mendengarkan penjelasan Arina sekali saja.

Beruntunglah setelah percobaan yang entah ke berapa puluh kali, Arkan mau menjawab panggilannya. Setidaknya itu akan membuat Arin memiliki kesempatan untuk menjelaskan segalanya.

"Hallo, Arkan. Sukurlah kamu akhirnya menjawab panggilanku. Aku mohon kamu jangan salah paham dulu, Arkan. Dengarkan penjelasan aku sekali saja," cerocos Arina tanpa jeda.

"Aku tunggu kamu di apartemen dalam waktu 10 menit. Kalau dalam sepuluh menit kamu tidak ada, aku akan langsung ke Surabaya."

Tut.

Arkan langsung menutup panggilannya membuat Arian mencak-mencak frustasi.

"Astaga! Apa Arkan sudah gila hingga memberikan waktu sepuluh menit? Laki-laki itu benar-benar menyebalkan!" gerutu Arina penuh kekesalan.

Namun, hanya ngedumel saja tidak akan menyelesaikan apa pun. Waktu sepuluh menit yang Arkan berikan untuknya akan terbuang percuma hanya karena Arina terus marah-marah tidak jelas.

Jadilah gadis itu memilih untuk segera pergi menemui kekasihannya sebelum waktu yang diberikan habis. Tak perduli dengan penampilannya yang hanya memakai baju tidur yang penting secepatnya dia bisa bertemu dengan Arkan.

Jangan sampai Arina menyesal karena tak bisa kembali menyakinkan Arkan. Dia tidak ingin kehilangan laki-laki itu untuk selamanya. Cintanya pada Arkan terlalu besar hingga tak mungkin bisa dilepaskan begitu saja. Bagaimanapun caranya, Arina harus kembali meyakinkan kekasihannya.

"Kamu mau ke mana, Arin? Kenapa lari-lari?" tanya Livia kaget melihat anaknya yang menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

"Aku mau ke luar dulu sebentar, Bun. Temen aku katanya kena masalah di jalan," jawab Arin tanpa menghentikan langkahnya.

"Kena masalah apa, Rin? Kecelakaan atau dibegal?" tanya Livia khawatir.

"Mobilnya mogok!" teriak Arin yang sudah sampai di pintu.

Tanpa menghiraukan lagi pertanyaan ibunya, Arin segera menaiki motor metik miliknya.

Gadis itu segera melajukan roda dua miliknya dengan kecepatan tinggi agar bisa sampai tepat waktu.

Hanya ini kesempatan Arina untuk menjelaskan semuanya pada Arkan jadi dia tidak ingin menyia-nyiakan nya.

Sepanjang perjalanan, Arina tampak lihai mengendalikan kuda besinya. Nyelip sana sini untuk bisa segera sampai di tempat tujuannya.

Itulah alasan Arina menggunakan motor dari pada mobil. Karena dengan motor dia bisa leluasa menaklukkan jalanan yang lumayan ramai.

Hingga setelah beberapa saat bertempur dengan jalanan, Arina akhirnya tiba di apartemen Arkan. Wanita itu segera turun dari motornya lalu berlari masuk ke dalam.

Begitu sampai di lift, dengan tidak sabaran gadis itu masuk bahkan melarang orang lain yang ingin ikut karena itu pasti sebgat merepotkan.

"Maaf ya, Mas. Masuk di lift lain saja. Saya tidak tahan sakit perut. Pasti di dalam lift akan bau karena kentut saya. Jadi, sebaiknya Anda tidak ikut ke di sini demi menjaga kesehatan Anda," ucap Arin nyeleneh.

Tanpa menunggu jawaban orang itu, Arin segera menutup lift lalu menekan tombol yang akan membawanya ke lantai di mana unit apartemen Arkan berada.

Kentara sekali Arina sudah tidak sabaran mengingat waktu yang diberikan Arkan sudah hampir habis.

Ting.

Suara pintu lift yang terbuka kembali membawa langkah Arina untuk berlari menuju unit apartemen Arkan.

Hingga jaraknya tinggal beberapa meter lagi, terlihat laki-laki itu keluar dari apartemen.

"Arkan!" teriak Arina membuat laki-laki yang tengah menutup pintu itu langsung menoleh.

Tatapannya begitu dingin tidak seperti biasanya saat mereka bertemu akan selalu ada kehangatan.

"Kamu mau ke kemana? Kenapa keluar dari apartemen?" tanya Arin bertubi-tubi.

"Kamu telat tiga menit jadi aku harus segera kembali ke Surabaya," ucap Arkan sembari berjalan melewati Arina begitu saja.

Arina yang masih terkejut dengan perkataan Arkan, membeku untuk beberapa saat. Namun, tak berapa lama wanita itu kembali mengejar Arkam lalu memeluk kekasihnya dari belakang.

"Aku mohon jangan tinggalin aku, Arkan. Kita harus bicara. Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku mohon kamu dengar dulu penjelasan aku," racau Arina dengan isakan yang mulai terdengar dari bibirnya.

Antara rasa bersalah, kesal, bahkan capek karena terus berlarian, kini membaur menjadi satu dalam tangis. Sungguh Arina tak bisa memendam perasaannya yang terasa begitu menyesakkan dada.

"Lapaskan, Arina! Sekarang kamu bukan lagi milikku. Semua sudah berakhir dan lanjutkan saja hidupmu," ucap Arkan berusaha melepaskan tangan Arina yang membelit tubuhnya.

"Enggak! Aku enggak mau! Kamu harus mendengar penjelasan aku dulu, Arkan! Aku tidak menginginkan pernikahan ini. Aku hanya mencintai kamu, Arkan, jadi tidak mungkin aku menikahi laki-laki lain. Percayalah, aku tidak mungkin melakukan itu," cerocos Arina meyakinkan Arkan.

"Tapi itu kenyataannya, Arina. Kamu bukan lagi milikku," lirih Arkan penuh kesedihan.

Arina menarik lengan Arkan hingga posisi mereka saling berhadapan. Sekarang Arina bisa melihat dengan jelas kesedihan yang tergambar di wajah lelaki itu.

"Aku milikmu, Arkan dan akan selalu seperti itu. Aku mohon jangan seperti ini. Kalau aku memang tidak mencintai kamu, aku tidak akan ada di sini sekarang. Kita harus bicara Arkan. Kita harus mencari jalan keluar dari masalah ini," ucap Arina meyakinkan kekasihnya kalau semua yang terjadi bukanlah keinginannya.

Terdengar helaan napas berat dari bibir Arkan. Sepertinya, memang mereka harus bicara agar mendapatkan solusi untuk masalah yang sedang mereka hadapi.

"Baiklah, ayo kita bicara," ujar Arkan akhirnya mengalah.

Arin tampak bernafas lega mendengar perkataan kekasihnya. Mereka segera berjalan beriringan untuk kembali ke apartemen Arkan.

Apartemen itu hanya diketahui oleh Arin saja selama ini karena memang Arkan membelinya untuk mereka bertemu.

Meskipun tidak sampai melakukan kegiatan yang macam-macam, tapi pertemuan mereka tentu harus ada privasi agar tidak ketahuan anggota keluarga yang lainnya.

Itulah resikonya menjalani hubungan backstreet. Semuanya harus sembunyi-sembunyi agar tidak ada orang lain yang tahu. Bukan mereka tak ingin mengabarkan kabar bahagia ini kepada siapa pun tapi memang ada resiko besar yang akan mereka tanggung jika hubungan ini sampai terungkap ke permukaan.

Melelahkan memang. Tapi kalau sudah cinta, apa boleh buat. Semuanya harus dijalani dengan penuh kelapangan agar kebahagiaan itu bisa mereka raih.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi hingga Paman Rian ingin menjodohkan kamu dengan si Valdo itu?" tanya Arkan begitu mereka sampai dalam apartemen.

"Apa kamu tidak ingin melepas rindu denganku dulu sebelum kita membahas masalah yang saat ini kita hadapi?" tanya Arina dengan mata memicing.

"Maksud kamu?" tanya Arkan bingung.

Arina tampak tersenyum penuh arti sembari merapatkan tubuhnya ke arah Arkan. Arkan yang tahu apa yang di inginkan kekasihnya pun tampak tersenyum merekah.

"Dasar nakal!" ucap Arkan sembari mencubit hidup Arina.

Arina langsung terkekeh namun tak sedikitpun berniat menjauh dari keksihnya.

"Aku hanya nakal padamu saja, Arkan. Percayalah," sahut Arina dengan tatapan yang begitu intens pada Arkan.

"Benarkah?" tanya Arkan tidak yakin.

"Hem, because i'm yours."