webnovel

Seperti Mimpi

Persiapan pernikahan hampir mencapai sempurna. Indira benar-benar tidak merasa antusias, dan merasa semuanya hambar. Perjodohan yang di buat orang tuanya tidak membuatnya bahagia. Meski mereka mengatakan kalau calonnya adalah orang baik, tapi baginya tetap orang asing.

Selama ini Indira memang tidak terlalu memikirkan tentang pasangan hidup, karena dalam hatinya sudah menyimpan sebuah nama yang tidak akan lekang oleh waktu sejak lima tahun lalu. Tapi sampai sekarang pemilik nama itu hanya menganggapnya sebagai teman, Akira tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu.

Tapi menuggu bukanlah bagian dari minat keluarganya, seluruh keluarga menginginkannya cepat menikah. Indira sering menolak dengan alasan pekerjaannya, tapi sekarang alasan itu sudah tidak memiliki makna lagi.

Besok adalah hari pertunangan. Dan hati Indira semakin gelisah dan sakit. Rasanya ingin menangis dan memeluk orang itu lalu berkeluh kesah tapi di mana dia?

Apakah dia tahu kalau besok adalah hari pertunangannya dengan orang lain? Indira melihat wajah temannya satu persatu, semua adalah teman-temannya alumni sekolahnya. Tentu saja mereka datang di antara mereka semua hanya Indira yang belum menikah. Jadi mereka lebih bersemangat dari pada orang yang akan bertunangan.

Indira menghela napas panjang melihat wajah Narendra tersenyum lembut, cowok itu sepertinya datang terburu-buru setelah menyelesaikan pekerjaannya di universitas, terlihat jelas dari pakaiannya yang masih memakai jas kantor. Narendra cowok itu sangat baik, selalu ada untuknya, bahkan sebelum menikah Narendra pernah bertanya padanya, 'Apakah tidak ada kesempatan untuk mereka berdua' dan Indira menolaknya dengan halus. Narendra sudah menebak jawaban itu dan akhirnya menyerah dan keesokan harinya Narendra menikah.

Dan di sisi lain juga ada mantan terindah yang menyebalkan datang bersama ibunya. Dia duduk sendiri terus menerus menatap ke arahnya. Indira membencinya. Sangat.

Indira tidak bisa lagi menahan diri, ia berdiri dan keluar dari rumah. Berharap udara malam bisa melepas rasa sesak di dadanya.

"Aku ingin bicara denganmu."

Indira hampir terjungkal melihat Riko si mantan terindah namun menyebalkan itu berdiri di belakangnya.

"Tidak ada lagi pembicaraan antara kita sejak kau berani mengkhianati ku!"

Tentu saja lima tahun lalu adalah hari terkelam untuk Indira, jika saja orang itu tidak datang tepat waktu mungkin sekarang ia sudah berada di atas bersama tuhan.

"Indira. Aku tahu kau tidak ingin menikah, aku bisa membatalkannya asalkan kau kembali bersamaku."

Indira mendecih, "Meski aku tidak menginginkan pernikahan ini tapi aku tidak akan pernah kembali padamu."

"Indira!" Riko berteriak marah ingin menggapai Indira tapi gadis itu sudah berbalik dan pergi. Indira berlari menghindar dari kejaran Riko yang terus berteriak memanggil namanya. Napas Indira berat ia lelah tapi tidak ingin menyerah, saat ia hampir di jangkau oleh tangan Riko seseorang menariknya berlari lebih cepat lalu berbelok ke arah lain untuk bersembunyi. Sosok itu adalah Narendra , tanpa mengatakan apa-apa hanya berusaha melindunginya batas kemampuannya. Narenda membawa Indira ke rumah seseorang yang mungkin bisa menghiburnya. Meski Narendra berat untuk membawanya ke sana itu artinya dia benar-benar harus kehilangan Indira untuk selamanya.

Di depan sebuah rumah mereka berhenti. Riko juga tidak terlihat bayangannya.

"Aku… hanya bisa mengantarmu ke tempat ini. Masuklah.."

Indira melihat rumah yang di kenalinya. Rumah itu milik Olivia adik dari orang yang di cintainya. Indira tersenyum lembut, "Terimakasih.. kau selalu ada untukku. Tapi kali ini jangan lagi lakukan apa pun untukku. Itu hanya akan membuat persahabatan kita semakin sulit. Pulanglah.. kau juga pasti lelah setelah bekerja dan langsung datang ke sini."

Narendra juga tidak mengatakan apa pun, ia berbalik dan pergi. Sekarang mereka benar-benar akan menjadi orang asing. Indira hanya memandang punggung Narendra yang perlahan menghilang di kegelapan malam.

"Apa kau yakin?"

Suara itu yang selalu ingin ia dengar menggetarkan hati Indira, matanya memerah ia tidak berani melihat kebelakang, Indira tahu kalau cowok itu sedang kerja di luar kota tidak mungkin dia kembali. Apa lagi jarak mereka sangat jauh butuh waktu satu hari satu malam perjalanan.

"...Apa kau yakin ingin menikah dengannya?"

Kali ini Indira benar-benar yakin, dengan gerakan kaku berbalik. Matanya sudah merah, air mata mengalir di pipinya. "K-kau.. bagaimana bisa di sini.. seharusnya kau tidak kembali." Indira bergumam, suaranya bergetar.

Cowok itu mengetuk kening Indira lembut, lalu menghapus air mata di pipi gadis itu, "Bodoh! Jika aku tidak kembali apa kau akan terus diam tanpa mengatakan apa pun padaku?"

Indira menunduk, "Apa yang harus aku katakan padamu. Apakah kamu akan peduli?" suaranya tersendat. Indira benar-benar ingin memeluk cowok di hadapannya ini sekarang dan mengatakan kalau ia tidak ingin menikah dengan orang lain. Ia hanya ingin menikah dengannya. Tapi apakah semuanya bisa?

"Tentu saja aku peduli! Selama ini sebenarnya apa posisiku di hatimu." tanya cowok itu lagi.

Akira terkejut. Namun sesaat kemudian ia sadar, benar.. selain dari teman apa lagi yang ada di pikiran itu. Akira menguatkan hatinya untuk bertanya lebih jelas tentang perasaannya.

"Sean Sebastian.." Indira menatap matanya dan langsung menyebut namanya langsung, "Selama ini, apa posisiku di hatimu." Indira bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama membuat Sean terdiam. Lidahnya keluh seketika.

"B-bukankah aku temanmu.?"

Indira tersenyum kecut, "Yah, seperti yang kau bilang, kita hanya teman jadi aku berpikir apa pun yang terjadi padaku sudah jelas tidak ada hubungannya denganmu." Indira menatap ke arah lain pikirannya masih berkecamuk tapi jelas terlihat sakit melewati matanya, "Tadi kau bertanya.. Apakah aku yakin ingin menikah dengannya? Akan ku jawab pertanyaan itu. Orang itu setidaknya jelas dengan kata-kata dan tindakannya. Orang itu setidaknya peduli padaku meski kami belum pernah bertemu. Orang itu… setidaknya ingin bersamaku. Sedangkan kau…" Indira menggeleng penuh kesedihan, "…Kau tahu seperti yang orang-orang bilang, Jika sama-sama mengharapkan maka perjuangkan tapi jika hanya sendiri yang mengharapkan maka menyerahlah. Karena hanya diri sendiri yang tahu kapan waktunya berhenti. Dan sekarang aku berhenti berharap."

Sean terkejut, "…"

"Aku… harus kembali mereka mungkin mencariku. Besok pesta pertunanganku, aku juga tidak akan memaksamu untuk datang. Selamat tinggal."

Sean berdiri kaku hatinya sakit, tapi apa yang harus ia lakukan. Ia sudah berjanji untuk tidak menyukai siapa pun, ia berjanji untuk menunggu cinta pertamanya, tapi sampai sekarang ia masih belum menemukan cinta pertamanya yang tiba-tiba menghilang.

"Kakak tidak mengejarnya?" Olivia berdiri ri pintu sambil melipat tangan.

"Lalu, apakah akan mengubah semuanya?"

Olivia menghela napas panjang, "Setidaknya kakak harus mencintai seseorang yang nyata, bukan yang tidak nyata seperti cinta pertama kakak yang menghilang! Lagi pula itu sudah sangat lama, kalian juga masih kecil, sekarang kita semua sudah dewasa sudah jelas wajah dan karakter sudah berubah! Terserah kakak! Lakukan apa pun yang kakak inginkan tapi jangan sampai merengek padaku ketika kakak menyesal!"