"Hei, sudah seminggu kau tidak kemari. Vodka, atau bir?" tanya seorang pria hitam yang berada di balik konter bar.
"Vodka, please." Jawabku sembari tersenyum.
"Ini."
"Terima kasih." Ucapku saat Drake mengisi gelasku dengan vodka.
"Kau terlihat lesu. Sesuatu buruk terjadi, manis?" tanyanya.
Aku tersenyum dengan tipis, "Ya. Well, agak buruk sebenarnya."
"Kau tahu kalau kau bisa curhat denganku, apa pun dan kapan pun."
Aku tersenyum menatap Drake. Dia adalah bartender sekaligus pemilik Cafe & Bar – tempat ini. Tempat yang selalu kukunjungi setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu. Tetapi selama seminggu ini aku tidak datang karena aku mengurung diriku di dalam kamar.
"Well, aku putus dengan Bernald." Aku berhenti, menatap perubahan ekspresi Drake yang menunjukkan prihatin, "Dia yang aku percayai ternyata mengkhianatiku."
"Siapa wanita itu?" tanyanya dengan geraman kesal.
"Rekan kerjanya. She's hot as hell. Wajar saja Bernald memilihnya." Jawabku pelan.
"Tidak. Tidak. Tidak." Drake menggelengkan kepala cepat dan tegas. Pria itu langsung berputar keluar dari konter bar, dan kemudian duduk di stool bar di sampingku. "Jangan pernah berpikir buruk tentang dirimu sendiri. Jangan. Itu masalah dia, bukan masalahmu. Egonyalah yang membutuhkan dorongan, dan dia menggunakan wanita lain untuk itu karena dia tidak cukup berkembang secara emosional atau intelektual untuk meningkatkan kualitas dirinya sendiri dan dia tidak sepadan untukmu." Drake menggenggam tanganku, dan menatapku dengan penuh perhatiannya. Hatiku terenyuh. "Saat seseorang memperlakukanmu dengan buruk atau mengkhianatimu, itu tidak pernah ada hubungannya dengan dirimu. Kau sudah cukup bahkan saat tindakan mereka mungkin membuatmu percaya sebaliknya."
Mataku terasa panas karena air mata mengancam keluar dari sana. Begitu juga dengan hatiku yang merasa seperti diremas karena Drake yang begitu perhatian dan membelaku. Mengeluarkanku dari lubang yang terbuka lebar karena perlakuan Bernald yang membuatku sangat terpuruk selama seminggu ini.
"Ini bukan salahmu. Dia hanya tidak pantas untukmu, Abbyku yang manis." Ucap Drake lagi.
Aku memeluknya saat air mataku keluar.
Dia balas memelukku dan menepuk punggungku dengan pelan sembari berkata, "Ini akan baik baik saja. Ini akan baik baik saja."
"Jika saja kau heteroseksual, aku akan menarikmu ke gereja dan kita akan menikah." Balasku setelah hening yang lama. Aku melepaskan diri dari pelukannya dengan pelan.
Drake tertawa, "Aku tidak suka pemaksaan, babygirl." Drake tersenyum saat dia menghapus air mata di pipiku. "Kau boleh menangis, tapi jangan berlarut larut. Ck, dia bahkan tidak pantas untuk kau tangisi."
Tawaku keluar, aku menarik gelasku dan meminum isinya. "Terima kasih untuk Vodka ini dan ucapanmu yang menyadarkanku. Apa kau ingin tahu apa yang aku lakukan selama seminggu ini?" aku tertawa kasar. "Aku mengurung diri di kamar. Bergulat dengan pikiran dan emosi negatifku. Aku bertanya tanya dalam tangis apa yang kurang dariku sehingga dia memilih perempuan itu sehingga dia dengan mudahnya berpaling dariku."
"Itu buruk."
Aku mengangguk. Setuju. Itu memang benar benar buruk. "Dia bilang kalau dia tidak mencintaiku lagi. Aku bertanya lagi kenapa dia tidak mengatakan itu dari awal sehingga dia tidak perlu bermain di belakangku, dia menjawab kalau dia tidak bisa melakukan itu. Dia tidak bisa menyakiti hatiku. Tapi, sebaliknya perselingkuhan yang dia lakukan malah membuatku semakin sakit."
"Bernald berengsek!" umpat Drake.
"Kau benar. Padahal dulu aku sangat mempercayainya. Dia adalah pria yang aku percayai setelah sekian lama aku tidak bisa mempercayai orang lain. Dia berkata kalau dia akan menjagaku dan dia.." Aku terdiam, dan menunduk. "Aku muak diperlakukan seperti ini, Drake."
"Hei, kemari." Drake membawa kepalaku untuk bersandar di pundak nya. Dia tidak mengatakan apa pun selanjutnya karena dia sangat tahu apa yang aku butuhkan bukanlah sebuah kata kata melainkan seseorang yang memelukku dan mendengarkanku.
"Bagaimana dengan Ursula?"
"Waktu aku mengusir Bernald dari apartemenku bertepatan dengan Ursula yang datang. Dia marah besar dan menonjok wajah Bernald, dan kemudian menenangkanku." Jawabku sembari mengingat kebrutalan yang dilakukan sahabatku itu. Aku tersenyum. "Dia selalu datang dengan memberikanku makanan karena aku bahkan tidak bernafsu untuk makan."
Drake tertawa, "Dia sangat menyayangimu. Kau harus memperhatikannya dan memberikannya kue karena mengurusmu dengan baik selama seminggu ini."
Aku terkekeh sembari mengangguk, "Terima kasih, Drake. Aku juga berhutang padamu."
"Jangan seperti itu. Kita adalah sahabat."
Aku mengangguk sembari terkekeh, dan mengusap air mata yang keluar lagi dengan punggung tanganku.
"Bersenang senanglah, Abby. Kau membutuhkannya. Datanglah ke pesta atau klub klub. Menarilah dan turunkan kewaspadaanmu. Kau harus merasakan kekebasan sesekali."
"Ide yang buruk kelihatannya." Aku mengernyitkan kening.
"Kau harus mengambil risiko, sekali saja. Bersenang senanglah di sana dan kau bangun bersama pria di keesokan harinya."
Aku melotot, "Apa kau gila?"
"Siapa tahu kau akan mendapatkan pria yang jauh berada di atas Bernald." Aku memutar bola mata. Dia melanjutkan, "Kebetulan aku mempunyai dua voucher gratis memasuki klub malam termahal dan eksklusif di Manhattan. Kau dan Ursula bisa menggunakannya."
Aku mengernyit, "Apa itu akan baik baik saja? Itu milikmu, Drake."
"Tidak apa apa. Kau tahu kalau aku sedang sibuk akhir akhir ini, jadi lebih baik aku memberikannya pada kalian daripada mengendap di dompetku."
Aku membuka mulut.
Tapi dia sudah menghentikanku, "Kau tidak perlu mencari pria dan menghabiskan malam bersama mereka. Kau hanya perlu mabuk dan menari sebentar lalu pulang dengan wasted."
Aku terkekeh, "Terima kasih, Drake. Aku menyayangimu."
"Aku juga, sayangku."
__________________________________________________________
Malam keesokan harinya...di sinilah aku berada.
Di depan sebuah gedung tiga lantai bertuliskan Gate of Heaven. Klub eksklusif dan mahal di jantung kota Manhattan. Tapi aku masih berdiri di halaman klub, menyender di motor sport hitamku. Menunggu Ursula yang masih dalam perjalanan, atau masih bersiap siap atau dia masih memilih gaun mana yang akan dia pakai. Aku datang setelah jam kerjaku habis, itu sebabnya aku sampai dahulu dengan hanya menggunakan kaos hitam, jaket denimku dan celana jeans. Rambutku tergulung karena gerah.
Ya, setelah seminggu aku mengajukan cuti yang diberikan begitu saja oleh bosku, Yelena yang baik hati karena sakit hati dan sibuk dengan kegalauanku. Aku kembali ke hidup realitas milikku yang menyedihkan namun harus aku hadapi.
Tapi tawaran bersenang senang dari Drake tidak bisa aku tolak dan aku abaikan begitu saja. Itu sebabnya aku langsung mengajak sahabatku, Ursula. Karena selain ingin bersenang senang, aku juga ingin melihat dan merasakan klub paling termahal di New York yang sudah sejak lama ingin kukunjungi.
"Apa kau tidak ingin masuk?"
Sebuah suara berat dari bagian belakangku membuatku berjengit kaget dan hampir menjatuhkan ponselku. "Oh Tuhan."
"Maafkan aku." Ucapnya sembari melangkah untuk berhenti di depanku.
Aku menatap pria, yang Demi Jesus, sangat tampan. Pria bermata tajam dengan rambut hitam berponinya, alis mata tebal, hidungnya mancung, dan bibirnya tebal. Aku mengerjapkan mata dan menggeleng, "Tidak apa apa."
"Kau sudah di sini selama lima belas menit. Apa kau tidak ingin masuk atau kau masih menunggu seseorang?" tanyanya dengan suaranya yang begitu maskulin.
Aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkan ketampanan atau ciri fisik pria. Tapi dia benar benar di luar dari bayangan pria tampan yang sering aku pikirkan atau pria yang sering kulihat. Tubuhnya atletis seperti model tapi tidak berlebihan, ada otot otot dan bisep yang bersembunyi dibalik jas hitamnya, dan ketampanannya tidak masuk akal untuk dideskripsikan. Yang aku tahu adalah kalau dia seperti ilustrasi Maven Calore di dalam novel Red Queen.
Tampan namun berbahaya.
Dan aku benci pria tampan. Mereka berengsek. Kebanyakan.
"Aku sedang menunggu temanku." Jawabku singkat.
Dia tersenyum sampai aku bisa melihat dua lesung pipitnya yang dalam, "Apa kau ingin ditemani, nona...?" dia menaikkan alis.
Aku tahu kalau dia menungguku untuk menyebutkan namaku, tapi aku menggelengkan kepalaku, menolak tawarannya dan menolak untuk menyebutkan namaku "Tidak. Terima kasih atas tawaranmu tapi aku akan baik baik saja di sini."
"Apa kau yakin?"
"Ya. Sangat yakin." Aku tidak perlu menerima tawaran baik hatinya karena jika pun ada pencopet atau pelaku kriminal aku masih bisa mengatasinya sendiri. Aku hanya sedang tidak ingin berbincang dengan siapa pun kecuali dengan Ursula. Yang sialannya tidak kunjung datang.
Dia sangat tampan, pesonanya sangat kuat dan juga seksi. Sayangnya, dia sepenuhnya menyadari ketiga aset ini dan tidak ragu menggunakannya untuk keuntungannya untuk menarik wanita ke ranjangnya dan kemudian dia akan membuang wanita itu keesokan harinya.
"Apa kau berpikir kalau aku orang jahat? Kau bahkan tidak ingin memberitahu namamu."
"Rafael!" panggilan dari arah pintu masuk membuat kami sama sama menoleh karena suaranya yang besar.
Wanita itu menggunakan gaun putih ketat yang menampakkan lekuk tubuhnya dari luar, aku bahkan bisa melihat ukuran dadanya yang besar dari sini dan dalaman apa yang dia pakai. Rupanya dia memanggil pria yang ada di depanku ini. Dia melangkah mendekati kami dengan belenggak lenggok.
Rafael.
Namanya Rafael.
"Sebentar, Nina." Geram pria bernama Rafael itu.
"Kau bisa pergi." Usirku secara halus dengan senyum tipis.
Pria bernama Rafael itu menatapku dengan mata birunya yang melebar sedikit.
"Cepatlah, Raf!" perempuan yang bernama Nina itu mendekat dan merangkul lengan pria itu dengan erat. Dia menatapku dengan lirikan tajam di matanya yang dihiasi oleh eyeliner tebal dan kemudian tidak memedulikan aku. "Apa kau mengenal dia?" tanyanya.
"Tidak. Aku..."
"Kalau begitu cepatlah, ayo!" perempuan tidak saba bernama Nina itu menarik lengan Rafael sehingga mereka melangkah menjauh dariku.
Aku hanya mengernyit pada dua orang itu, dan kemudian memalingkan muka "Fuckers." umpatku