webnovel

Chapter 9 - Kasih (3)

"Tuan muda."

Valias menoleh setelah meraih sebuah buah beri di salah satu bagian taman.

Tidak heran Valias bisa hidup.

Jika pohon-pohonnya begitu bervariasi sampai kau bisa memperdagangkan buah-buahnya, tentu kau tidak akan kelaparan.

Walaupun tetap kurang gizi lain. "Kenapa?"

"Bagaimana kalau kita berkumpul bersama keluarga tuan muda sekarang?"

Sang pelayan memasang senyumnya. Valias menyadari langit yang mulai kekurangan cahaya matahari. Memasukkan buah beri yang terapit di antara dua jarinya ke mulut, Valias memimpin jalan ke dalam mansion.

Sama seperti dua hari lalu, Valias tiba di aula besar sebelum menghampiri pintu besar yang kali ini terbuka. Di sana baru ada Danial dan Dina yang duduk seraya memandang ke arahnya.

??

Berbeda dengan kemarin, kali ini Danial dan Dina duduk berhadapan. Dengan tiga kursi kosong di sisi kemarin Hadden duduk. Sedangkan kursi tempat kemarin Valias duduk sudah tidak ada. "Kakak!"

Valias memandang balik Dina. "Kita akan membuat kejutan untuk ayah dan ibu!"

"...Kejutan?"

"Silahkan duduk, kakak." Danial membawa tangannya ke arah kursi di sebelah Dina. L Dina menepuk-nepuk pahanya cepat.

"Kakak cepat duduk!"

"O.. Oke." Valias agak terkejut dengan perubahan yang ada tapi tetap mulai membawa dirinya menduduki kursi yang ditunjuk Danial.

Valias melihat ke arah Danial, mengharapkan penjelasan. Tapi Danial tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab. Justru Dina yang mulai berbicara dengan penuh energi kepada Valias. "Ayah sangat merindukan kakak. Aku dan Danial yakin ayah akan senang jika kakak duduk di dekatnya seperti itu."

..Oh..

Ketiganya tidak mengeluarkan suara. Danial tampak begitu ahli membuat dirinya duduk tenang bagai biksu yang biasa Valias lihat di acara televisi. Sedangkan tatapan Dina padanya bisa dia rasakan dengan jelas.

"Kamu sedang bahagia?" Valias mencoba mengajak Dina bicara.

"Besok pagi kita akan ke istana. Aku belum pernah ke sana. Hanya Danial yang sudah. Kakak juga belum pernah kan?"

"Iya.."

Jangankan istana. Valias belum tahu apa apa tentang wilayah Bardev.

"Ah."

Dina memalingkan wajahnya. Mengikuti pergerakan kepala Dina, Valias dan Danial menoleh ke arah pintu dimana mereka bisa melihat ayah dan ibu mereka yang menapakkan kaki ke dalam ruangan.

Mereka tampak terkejut. Seperti Valias barusan.

"Ibu!"

"Iya, Dina." Ruri membalas dengan senyum lembut.

"Ayah, Ibu, silahkan duduk." Danial mengulang apa yang dia lakukan kepada Valias.

Ruri menarik lengan Hadden berusaha menyadarkan suaminya yang mematung di lajur pintu. Setelah menuntun Hadden duduk di kursinya, barulah Ruri duduk di seberang Valias.

Ruri menenangkan dirinya. Dirinya masih agak gugup menghadapi Valias. Kondisi hatinya tidak jauh berbeda dengan Hadden. Tapi tentu dia berhasil mengendalikan diri.

Tanpa dia sangka, anak lelaki di depannya itu membuka mulut lebih dulu.

"Selamat sore, ibu."

Ah.

Mengatur suaranya, Ruri membalasnya.

"Sore, Valias."

Ruri mengamati anak berambut merah yang baru mulai tinggal di bangunan yang sama dengannya satu tahun lalu. Lalu dua hari lalu, pertama kalinya anak itu bergabung dengan keluarganya.

Ruri tidak masalah jika Valias masih tidak mau membuka hati padanya. Tapi dia harap anak itu bisa membuka hatinya pada ayah dan dua saudaranya.

"Kamu sudah merasa lebih baik?"

Valias tersenyum dan untuk sesaat Ruri terpukau dengan senyum itu. Beban di hatinya terangkat. "Aku sudah tidak apa-apa, ibu. Maaf sudah membuat ibu khawatir."

"Syukurlah. Makanan akan datang sebentar lagi."

Ruri melirik suaminya yang belum membuka suara sama sekali.

"Suamiku?"

"A- Ah, ya."

Hadden merutuki dirinya sendiri yang masih saja gugup menghadapi anaknya sendiri. Berdeham. Dia seorang ayah, dan kepala keluarga. Dia bahkan merupakan pemimpin wilayahnya saat ini. Tapi dia masih saja tidak bisa mengendalikan diri dalam menghadapi anak tertuanya sendiri.

Pintu kembali terbuka dan pelayan masuk membawa makanan. Beberapa piring dengan ragam makanan yang lebih banyak tersaji di atas meja.

Alister muncul di sampingnya dengan senyum biasa, meletakkan piring dan alat makan di hadapan Valias sebelum kembali berdiri di dekat pintu.

"Ayahmu ingin membuat acara untukmu sebelum keberangkatan bersama kita ke istana besok."

Ruri menunjukkan senyum hangat miliknya pada Valias.

"Begitukah? Kalau begitu aku berterimakasih." Valias menoleh pada Hadden dan memberikan senyum kecil. Hadden menerima senyuman itu dan membalasnya dengan senyum hangat.

"Terimakasih kembali, Valias. Ayah senang jika kamu senang."

Valias mengangguk.

Ruri mengamati anggota keluarganya satu persatu.

"Ayo mulai makan kalian."

Setelah melewati sesi doa seperti kemarin keluarga kecil itu mulai meraih makanan yang tersaji ke piring masing-masing. Ruri bangun dari duduknya sedikit, memajukan tubuhnya. Menjulurkan tangannya dan meletakkan sepotong daging yang sudah dilumuri saus pada piring Valias.

"Makanlah yang banyak."

"..Ah.. Terimakasih, Ibu."

"Kakak! Makan ini juga!"

Dina sudah berjanji untuk membuat kakaknya makan lebih banyak agar dirinya tidak perlu menyentuh tulang-tulang kakaknya itu lagi.

Dia mengambil sepotong besar roti keju dari piringnya sendiri dan meletakkannya di atas daging dari Ruri yang kini tertutupi oleh besarnya roti itu.

Valias tidak menyangka itu dan sedikit mengerutkan kening tapi tetap memasang senyum.

"Terimakasih."

"Makanlah ini juga."

Hadden ikut menambahkan satu porsi kentang panggang pada piring anaknya.

Sekarang piring Valias terisi dengan makanan yang lebih banyak dari piring masing-masing keluarganya.

....Apakah aku harus menghabiskan semua ini?

Valias tidak pernah makan sebanyak itu. Bahkan saat dia hidup pas-pasan di kampung. Dan dengan penghasilan bekerja paruh waktu. Valias terbiasa makan sedikit dan keseringan hanya memakan hasil masakannya sendiri. Kecuali jika ada seseorang yang memberikan makanan padanya atau seperti ketika acara makan bersama di perusahaan EO nya.

Sebelum rentetan kejadian itu, tentunya.

"..Terimakasih ayah."

Hadden tampak sangat senang menerima ucapan terimakasih dari putranya.

"Iya. Makanlah lebih banyak."

Valias mengangguk. Meski tidak yakin dirinya bisa menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Apalagi makan lebih banyak sesuai ucapan Hadden. Valias mulai membawa suap demi suap ke dalam mulutnya.

Tanpa Valias sadari, seluruh anggota keluarga di ruangan itu mengamatinya lekat. Seolah kegiatan makan Valias adalah tontonan yang sangat menarik bagi mereka. Walaupun wajah Danial datar, matanya tidak juga beranjak dari kakaknya yang mengiris makanan dan membawa hasil irisan itu ke mulutnya.

Ruri, menyadari momen bahagia dan hangat itu membuka pembicaraan. "Bagaimana belajar kalian?"

Hari ini dia habis menghadiri acara perkumpulan bangsawan sesuai jadwal dan belum sempat mengecek anak-anaknya. "Guru memberi tahuku banyak hal."

"Aku sudah memperluas pengetahuan memimpinku."

Dina dan Dalian menjawab bergantian.

Valias juga membawa pandangannya ke arah dua anak itu.

Dina, menyadari kakaknya yang meliriknya, terpikirkan untuk mengutarakan perasaannya. "Tadi aku menemani kakak di ruang baca."

"Benarkah?" Hadden bergabung dalam pembicaraan.

"Iya!"

"Apakah ada sesuatu yang kamu cari?" tanya Hadden.

"Ah.. Aku hanya menghabiskan waktu."

Hadden teringat laporan salah satu pelayan bahwa kemarin anaknya juga pingsan saat berada di ruang baca.

"Alister ini mengawasi seluruh kegiatan tuan muda Valias, Count."

Alister ikut bicara.

Betapa arogannya.

Valias terkekeh di dalam hati terhadap Alister yang menjawab dengan begitu antusias dan percaya diri.

"Ah, begitukah? Syukurlah." Hadden tersenyum lega.

"Aku juga bersama kakak. Aku juga sudah memeluk kakak." ucap Dina. Tidak mau kalah. Valias memilih untuk melanjutkan makannya.

"Kamu pasti sangat senang, Dina."

"Sangat!" Dina menjawab perkataan Ruri.

"Aku juga sudah berjanji untuk membuat kakak makan yang banyak."

Ucapan Dina menghasilkan keheningan di antara keluarga itu. Bahkan Valias pun berhenti di tengah membuka mulut untuk mengambil suapan baru.

'''Aku memikirkan hal yang sama.'''

Bahkan Danial yang terlihat cuek pun menyimpan pemikiran itu di benaknya.

Jika kata-kata itu ditujukan pada orang lain, Valias tidak akan bereaksi. Tapi kali ini dia lah yang menjadi tokoh utama kalimat itu.

Hal itu membuatnya merasa bahwa dirinya begitu lemah hingga membuat seorang Dina menyimpan pemikiran seperti itu.

"..Aku?"

Valias memajukan tubuhnya sedikit untuk dapat melihat wajah Dina lebih jelas.

"Iya! Semua orang berpikir kalau kakak terlalu kurus dan pucat. Aku akan membuat kakak makan yang banyak!"

"...O- Oh.."

Valias mencoba memeriksa ekspresi yang lainnya. Danial kembali makan sedangkan Hadden dan Ruri terlihat tidak tahu harus berkata apa.

Bahkan Valias pun tidak tahu harus bersikap seperti apa.

***

Pagi tiba.

Valias sudah selesai berpakaian. Valias tidak melakukan apapun dan segalanya sudah disiapkan oleh Alister tanpa Valias mengucapkan apa-apa.

Ketika dia tiba di pintu mansion, semua orang sudah ada di sana, bersiap memasuki kereta kuda.

04/06/2022

Measly033