webnovel

Chapter 52 - "Sambut dia" (3)

"Valias! Aku merindukanmu!!!" Wistar memeluk Valias. Yang baru saja selesai berpakaian dan membenahi diri. Pelukan Wistar membuat pakaiannya berantakan lagi.

"Pangeran?" Valias tenggelam dalam kebingungan.

Wistar mencibir. "Lagi? Kita belum berpisah lama dan kau sudah melupakan permintaanku?"

Valias menaikkan alisnya. Sebelum mengingat dan mengerti maksud Wistar.

"Wissy," sebutnya. Wistar langsung tersenyum lebar.

"Ayo ke istana," senyumnya.

Valias menaikkan alis. Merasa bingung. "Untuk apa?"

Wistar menyeringai. "Ada yang ingin aku tunjukkan."

Valias masih memiliki rasa heran. Tapi Wistar sudah lebih dulu menarik tangannya. Membuat dua jari Valias mengapit sebuah kertas. Kertas itu dirobek oleh Wistar dan tanpa bisa dicegah siapapun dia sudah tidak lagi ada di kamarnya. Meninggalkan Alister yang terdiam dengan wajah tanpa ekspresinya.

Valias membuka mata dan melihat dirinya berada di sebuah tempat yang familiar.

Sebuah gerbang. Yang membuatnya bisa melihat penampakan sebuah bukit yang menjadi tempat tinggal sebuah kelompok.

"Ayo." Wistar meraih tangan Valias dan menariknya pergi bersamanya.

Ada beberapa ksatria Kediaman Adelard. Mereka melihat sosok Wistar dan membungkukkan tubuh mereka. Wistar melambaikan tangan dengan senyum berkarisma. Para ksatria itu juga menyadari keberadaan Valias. Warna rambutnya mudah untuk menarik perhatian siapapun.

"Di mana Dylan?"

"Tuan Muda Dylan sedang ada di ruang baca." Seorang pelayan pria menjawab sembari membungkukkan tubuhnya. Gaya berpakaiannya mengingatkan Valias pada sosok Reuben.

Wistar mengangguk. Mengucapkan terimakasih dengan senyum lebar. Kembali menarik tangan Valias menuju sebuah tempat. Menunjukkan bahwa Wistar sudah sering ke kediaman Adelard hingga mengenal segala lika-liku bangunan itu.

Valias melihat sebuah pintu. Pintu itu dibuka oleh Wistar. Mempertunjukkan pemandangan di dalamnya. Sebuah ruangan berbentuk lingkaran. Rak-rak tinggi berdiri menempel pada dinding dan menyimpan buku-buku yang terjejer rapih di atas selving kayu bertingkat.

"Dylan!" Panggilan Wistar membuat seorang remaja laki-laki yang sedang setengah mendudukkan diri pada pinggiran meja itu menoleh. Kerutan muncul di keningnya. Menunjukkan wajah terganggu. Remaja itu langsung membawa dirinya pergi dari meja. Pergi menuju sebuah jendela.

"Kau mau kemana???" Wistar melihat Dylan yang memijakkan kakinya pada bingkai jendela. Seolah dirinya akan pergi melalui sana.

"Dylan!!" Wistar berseru melepaskan tangan Valias. Berlari menghampiri remaja berambut hitam itu.

"Kau mau lari????"

"Tutup mulutmu."

"Kau harus ikut kami!!"

"Kami?" Dylan mengernyit tidak mengerti. Kemudian dia mengangkat wajahnya. Melihat sosok Valias yang masih berdiri di depan pintu.

Valias juga masih terlalu terperangah dengan hal yang terjadi. Hanya bisa berdiri di tempatnya menonton keributan Wistar. Dia menyadari Dylan yang melihat ke arahnya. Perlahan Valias memberikan senyum sapaan kecil.

Dari kejauhan Valias melihat Dylan menoleh ke arah Wistar. Memberikan tatapan tidak suka tapi Wistar menyengir dan akhirnya Dylan menghela nafas.

"Valias juga akan ikut?" tanyanya.

Wistar mengangguk. "Benar, benar. Dia akan ikut. Makanya kau harus ikut juga," katanya menggoda.

Dylan terlihat malas. Tapi kemudian melihat ke arah Valias. Dengan wajah masam mengangguk pada Wistar.

Wistar memberikan dua lembar kertas kepada Dylan dan Valias. Lalu menyeringai. Valias menghela nafas di dalam hati. Tidak punya pilihan selain mengikuti perkataan pangeran muda Hayden itu.

Bersamaan, mereka merobek perkamen di tangan mereka. Membuat mereka terpindah ke sebuah area luas. Dengan pijakan berupa tanah datar berpasir tipis. Area itu tidak beratap. Tapi dikelilingi oleh dinding tinggi, juga rak senjata. Di sebelah rak-rak itu terletak sebuah boneka tarung. Boneka dari karung dan diisi oleh jerami.

Perhatian Valias tertarik pada sosok pemuda dengan pakaian santai. Tangan memegang pedang. Diayunkan pada boneka jerami di depannya. Membuat goresan, dan potongan. Dalam waktu singkat boneka jerami itu sudah dibuat dalam keadaan terpotong-potong. Tidak lagi memiliki penampilan bentuk aslinya. Potongan ikat jerami berjatuhan di dekatnya.

Pemuda itu memutar-mutarkan pedang di tangannya. Memainkan bilah tajam itu dengan kedua tangannya. Dia baru akan mengayunkannya sekali lagi, memotong bagian boneka terakhir. Tapi kemudian menyadari kehadiran sekelompok orang di sisi area latihan yang hanya diisi olehnya.

Dia mengerutkan kening. Sudah tahu siapa yang pasti membuat kedua orang lainnya ada di sana. "Wissy." Dia menggerutu.

"Mereka harus melihat kakak menggunakan pedang! Ini adalah kesempatan yang langka!" ngotot Wistar. Melebarkan kedua tangan membuat pose dramatis.

Dylan diam di tempatnya. Sudah lama tidak melihat Frey mengayunkan pedangnya. Pedang yang sudah menjadi harta turun menurun keluarga Kerajaan Nardeen. Tapi di tangan Frey, pedang itu tampak lebih bersinar.

Di tangan Frey, pedang itu mampu memotong sebuah boneka jerami terpadat sekalipun. Frey adalah seorang petarung yang handal. Dia lebih banyak diam di ruangan mengurus dokumen kerajaan tapi itu tidak membuat bakat berpedangnya menumpul sama sekali.

Yang Mulia Frey Nardeen sang jenius. Dylan menjadikan putra mahkota Hayden itu sebagai panutannya.

Frey menghampiri ketiga orang yang berdiri di sisi area latihan. Dua di antaranya memiliki tinggi yang sama. Sedangkan yang satu lagi lebih pendek. Menjadi yang paling pendek dari yang lainnya.

Frey menyangkutkan mata pada Valias. Melihat penampilan bersih dan rapih pemuda itu membuat Frey tanpa sadar menghela nafas lega.

Dia belum lama mengenal sosok Valias dan dalam selang waktu pendek itu dia sudah melihat Valias berdarah tiga kali. Jika Frey sampai melihat laki-laki itu berdarah lagi, Frey rasa dirinya akan gila.

Dia membuka mulutnya. "Bagaimana cara Wistar menculikmu hingga kau tidak punya kesempatan untuk menolak?"

Valias menaikkan alisnya menerima pertanyaan itu. Tidak mengerti bagaimana dia harus merespon. Dia mengedikkan bahu.

Ketika Wistar memintanya untuk memegang sebuah kertas, Valias hanya menurut tanpa memikirkan apa-apa. Sebelum dia sempat berpikir, kertas itu sudah dirobek dan dia sudah ada di Kediaman Adelard tempat tinggal Dylan bersama si perobek kertas. Tidak punya pilihan ketika sekali lagi disodorkan kertas perkamen oleh Wistar. Yang membawanya ke tempat Frey.

Valias bicara. "Saya tidak mengira Anda pandai dalam menggunakan pedang."

Frey terdiam. Matanya sedikit melebar sebelum mendengus. "Aku lebih berbakat dari yang kau kira."

Valias memberi anggukan setuju.

"Dylan! Karena sudah di sini ayo kita berduel." Wistar menyeringai pada Dylan. (a/n: the urge buat naro emot jempol di bagian ini)

Dylan mengernyit. "Dengan pakaian ini?"

"Aku akan meminjamkanmu pakaian! Ayo cepat!"

Dylan cemberut. Tapi kemudian mengikuti ajakan Wistar. Menghampiri rak senjata terdekat. Mengambil pedang dari sana.

Kedua remaja itu berdiri di tengah arena. Sedangkan Valias dan Frey menonton dari pinggir.

Wistar menyerukan aba-aba dan kedua remaja itu langsung saling berbagi serangan. Duelnya lebih gesit daripada duel antara Danial dan Kafin yang sebelumnya pernah Valias saksikan. Duel antar dua remaja yang ada di depannya penuh dengan gerakan. Tidak hanya sekedar mengayunkan pedang dan berkelit tapi juga melompat dan menekan.

Wistar berlari dan membuat tolakan. Melompat dengan tinggi hingga kakinya berada di lima puluh sentimeter di atas tanah. Kedua tangannya membenturkan bilah pedang miliknya dengan bilah pedang milik Dylan yang diposisikan secara horizontal di atas wajah oleh si pemegang.

"Bermain dengan sangat energik seperti biasanya." Frey menghela nafas sembari melipat kedua tangan di depan dada. Pedang masih tergenggam di tangan satunya.

Tidak lama kemudian, Wistar menyeringai. Membuat tolakan melompat menjauh dari Dylan. "Cukup, Dylan."

Ketika dia bilang cukup, pun, penampilan keduanya sudah berantakan. Insignia yang ada di pakaian Wistar bermencongan ke sana kemari. Rambutnya basah dan keningnya memiliki butiran keringat. Hembusan nafasnya besar dan menciptakan uap udara dari mulutnya. Bahu naik turun dan dada kembang kempis. Hidung dan mulut sama-sama digunakan untuk menarik oksigen.

Dylan juga berada di keadaan yang sama. Dua tangan bertumpu pada ujung gagang pedang yang ujung bilahnya ditusukkan ke tanah. Rompi pakaiannya bergeser dan pakaian putih lembabnya membuat semua orang bisa melihat bentuk tubuh di balik kain yang sudah berubah transparan itu.

Valias melihat penampilan berantakan Dylan dari kejauhan dan berpikir bahwa itu adalah penampilan yang tidak bisa dilihat oleh para wanita. Putra Duke itu terlihat sangat tampan dengan rambut lembab dan pakaian kusut. Valias yakin remaja laki-laki itu akan memiliki antrian wanita yang ingin menikahinya. Membayangkan itu membuat Valias tersenyum kecil.

Hal itu akan terjadi jika Hayden berhasil bertahan.

Wistar berjalan ke arah Valias dan Frey. Senyum lebar berada di wajahnya. Dylan juga ikut menyusul.

Dengan wajah girang Wistar bertanya. "Bagaimana? Kau lihat duelku dengan Dylan? Siapa yang lebih baik?" Dia bertanya dengan seringai pada Valias.

Valias menaikkan alis. Merasa keduanya memiliki keterampilan yang sama di matanya.

"Kalian sama-sama berbakat," jawabnya.

Hal itu membuat Wistar mengerjap. Kemudian tertawa. "Kau benar-benar Valias yang tidak banyak bicara."

Pangeran Hayden itu tiba-tiba membulatkan matanya. Menyodorkan gagang pedang miliknya ke arah Valias.

"Aku belum pernah melihatmu memegang pedang sebelumnya."

Perkataan Wistar membuat perhatian Frey dan Dylan sama-sama tertuju pada orang yang sama. Wistar benar. Mereka rasa Valias belum pernah menggunakan pedang sebelumnya. Setiap anak laki-laki di Hayden pasti pernah menggunakan pedang setidaknya sekali. Tapi bagaimana dengan Valias?

Dari melihat tangannya saja siapapun bisa menebak bahwa Valias belum pernah menggenggam gagang pedang sekalipun seumur hidupnya.

Valias memandangi gagang pedang di tangan Wistar.

Sebenarnya dia jadi penasaran dengan benda tajam itu. Dia sudah sering melihat wujudnya di sebuah gambar atau film, tapi belum pernah melihatnya secara langsung. Tapi dengan dirinya terpindah ke dunia novel, dia sudah melihat beberapa senjata. Tapi meski melihat pun, dia belum pernah benar-benar menyentuhnya.

Digerakkan oleh rasa penasaran, Valias mengulurkan tangannya. Mengambil alih gagang pedang dari tangan Wistar.

Wistar melihat itu melepaskan genggamannya. Hanya untuk melihat Valias terperanjat dan hampir menjatuhkan ujung tajam pedang ke tanah jika saja pemuda itu tidak cepat-cepat menggerakkan tangan satunya untuk menggenggam gagang pedang itu dengan dua tangan.

Kedua tangan Valias bergetar. Pedang itu terasa begitu berat di tangannya. Dia tidak mampu menahan bebannya dan akhirnya menusukkan pedang itu ke tanah.

Dia terdiam dengan mata dan mulut terbuka. Memandangi pedang di depannya nanar. Sedangkan Frey Dylan dan Wistar memiliki wajah melongo.

"Kau, tidak bisa memegangnya?" Wistar bersuara tidak percaya.

Valias tidak merespon. Hanya memandangi benda tajam di depannya. Kehilangan akal.

Dia melihat bagaimana Frey dan kedua pemuda lainnya menggenggam pedang dengan satu tangan seolah benda itu adalah benda yang ringan. Tapi ketika Valias menggenggamnya sendiri, benda itu terasa sangat berat dan dia tidak mampu memegangnya bahkan dengan kedua tangan sekalipun.

"Tidak mungkin." Wistar terpana dengan hal yang terjadi di depannya.

Rasa penasaran menyelubunginya jadi dia melangkah cepat ke arah rak senjata. Mengambil variasi pedang dengan ukuran berbeda. Membawa mereka semua di kedua tangannya. "Coba yang ini." Dia mengulurkan salah satu pedang dengan ukuran yang lebih kecil pada Valias. Valias memandangi pedang itu.

Rasa penasaran kembali menyelubunginya. Dia mengulurkan tangannya pada pedang di tangan Wistar. Dengan pedang yang sebelumnya diambil alih oleh Frey.

Valias menggenggam gagang pedang itu di tangannya dan tangannya bergetar. Seperti dia tengah mengangkat sebuah barbel namun dengan berat di luar kapasitasnya.

Dia tidak bisa menggenggam pedang itu terlalu lama. Dylan langsung mengambil alih benda itu dari tangan Valias.

Tapi rasa penasaran Wistar masih belum hilang. Dia mengulurkan pedang yang lebih kecil lagi.

Valias juga sama penasarannya jadi dia menerima itu. Hanya untuk langsung merendahkan tubuhnya agar bisa menumpukan beban pedang pada tanah karena kedua tangannya sudah terlalu bergetar dan tidak bisa memegang benda apapun lagi.

Ketiga orang di area pinggir arena latihan itu berdiri dengan wajah syok. Satu kalimat sama-sama menyuarakan diri di benak mereka.

'Anak ini lemah sekali.'

Dia bahkan tidak bisa memegang pedang kecil. Kelemahan itu membuat mereka syok.

Sedangkan di tempat lain, Valias juga sama syoknya. Dia syok pada kedua tangannya. Tangan berotot miliknya sudah tidak lagi ada dan digantikan dengan sepasang tangan Valias Bardev yang kurus dan tidak mempunyai kekuatan sama sekali.

"Pfft." Sebuah suara keluar bibir Wistar. Tidak lama kemudian anak itu sudah tertawa terbahak-bahak hingga dirinya harus membungkukkan tubuh dan memegangi perutnya bahkan dengan dua pedang masih ada di kedua tangannya. "Valias! Kau benar-benar tidak punya kekuatan sedikitpun!"

Dia tertawa tapi kemudian tiba-tiba wajahnya membeku. Berubah pucat, dan kedua matanya nanar. Dia menjatuhkan kedua pedang di tangannya begitu saja ke belakang. Terjatuh ke tanah dengan suara dentingan kedua bilah yang saling berpukulan. Wistar meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Valias. "Valias! Demi Dewa! Aku lupa fakta tentangmu! Aku lupa bahwa kau sekarat! Aku tidak seharusnya membawamu kemari!!" Wistar berseru memelas penuh sesal. Kedua matanya terlihat seperti dia hendak menangis.

Valias tidak menyangka itu. Kedua tangannya masih bergetar. Dia ingin memegang tangan Wistar yang ada di bahunya tapi bahkan untuk melakukan itu pun dia tidak sanggup.

Wistar menyadarinya dan langsung memasang wajah syok.

"Kakak! Ini gawat! Valias bahkan tidak bisa menggerakkan tangannya! Kita harus melakukan sesuatu!!"

Frey mengerutkan kening. "Itu karena kau yang memaksanya memegang pedang-pedang itu."

Tapi kemudian dia menyadari kenyataan bahwa dirinya pun sempat penasaran soal itu—makanya dia tidak menghentikan Wistar dan justru ikut menonton adegan Valias tidak mampu menahan beban pedang.

Dylan melihat kedua tangan Valias yang masih bergetar. Bahkan wajah pemuda itu berubah menjadi sedikit pucat setelah memaksakan diri menggenggam pedang yang tidak bisa dia angkat. "Bawa dia ke tempat dia bisa beristirahat," ucapnya.

Wistar menyadari perkataan Dylan dan langsung setuju. "Ayo kita pergi. Aku akan menggendongmu!"

Valias baru saja akan mengeluarkan suara tidak mengerti. Tapi Wistar sudah lebih dulu membalikkan tubuhnya. Lalu membuat tubuh Valias tertabrak oleh punggungnya. Kedua tangan Wistar meraih paha Valias dan akhirnya Valias pun tergendong di punggung remaja itu.

"Ayo pergi!" Wistar berseru mengajak kedua orang yang lain.

Frey menyadari wajah Valias yang sudah terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Peluh berada di kening laki-laki berambut merah itu. Frey merasa cemas. "Bawa dia ke kamarnya."

Ketiga pemuda yang sebelumnya sibuk menggunakan pedang itu secara tiba-tiba dan serentak membawa diri mereka pergi. Bersama Valias yang ada di gendongan Wistar. Mereka keluar dari area latihan. Valias bisa melihat mereka kini berada di lorong besar istana. Area latihan tadi tersambung dengan salah satu bagian bangunan istana, dan kini mereka sudah ada di dalam bagian bangunan itu.

Wistar melangkah dengan begitu cepat. Ingin buru-buru membawa Valias ke sebuah kamar. Yang menurut Valias tidak perlu karena dia hanya sekedar kehilangan tenaga di tangannya setelah mengangkat beban yang tidak seharusnya dia lakukan.

Valias merutuki kelemahan tubuh Valias Bardev dan juga reaksi kekhawatiran berlebihan orang-orang di sekelilingnya. "Yang Mulia. Anda tidak perlu repot-repot. Saya baik-baik saja."

"Diamlah. Kau tidak bisa melihat wajahmu sendiri makanya kau bisa mengatakan itu. Kalau kau berada di posisi kami kau juga pasti akan panik." Frey menggerutu sembari berjalan. Bicara tanpa mengalihkan pandangannya pada Valias sama sekali. Valias mengerutkan kening. Mulai putus asa pada kenyataan dirinya tidak bisa membantah siapapun sebagaimana keras pun dia berusaha.

Begitu Wistar dan kedua orang lainnya tiba di ruangan yang biasa Valias tempati ketika bermalam di istana, Wistar langsung mendudukkan Valias di atas ranjang. Membuat laki-laki itu mengerutkan kening tidak nyaman. Dia tidak suka berbaring atau duduk di kasur ketika dirinya masih dengan pakaian yang dia gunakan sehabis dari luar. Jika Valias harus berbaring maka dia ingin itu terjadi setelah dia sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih bersih.

"Baringkan dirimu," titah Frey. Yang langsung mengundang kerutan kening dari Valias. Valias menghela nafas. Tau dirinya tidak akan bisa protes. Tapi setidaknya dia ingin mengganti pakaiannya terlebih dahulu.

"Akan kuturuti kemauan kalian tapi sebelum itu aku mau ganti baju."

Valias sudah frustasi. Jika dia tidak bisa melawan maka setidaknya biarkan dia mengganti bajunya dulu. Dia tidak ingin berbaring dengan pakaian yang kotor.

"Ganti baju? Ada apa dengan bajumu?" Wistar bertanya tidak mengerti.

"Jangan banyak tanya. Panggil pelayan untuk menyiapkan baju untuknya." Dylan menyikut Wistar. Pangeran Hayden itu langsung tersadar dan mengangguk. "Aku akan mengambil baju milikku!"

Wistar berbalik dan berlari pergi dari ruangan.

Valias menghela nafas frustasi lagi. Frey menoleh ke arahnya. Begitu juga Dylan yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya. "Apa yang sedang kau rasakan sekarang?"

Valias menaikkan alisnya pada pertanyaan Frey. "Rasakan apa?"

"Pusing? Apakah kau akan pingsan? Aku akan memanggil pelayan dan meminta mereka menyiapkan teh."

Valias mulai menggerutu. Tidak bisa menahan kesabarannya lagi. "Tidak perlu."

Wistar kembali tidak lama kemudian. Dengan kain di tangannya. "Ini bajunya," ucapnya.

Valias langsung mengambil sepasang pakaian itu dari Wistar. Membuka kancing pakaiannya. Membuat ketiga orang di ruangan bisa melihat tubuh polosnya.

Kurus dan pucat. Sesuai dugaan mereka. Bahunya kecil dan tangannya juga tidak bervolume sama sekali. Wajar saja dia tidak bisa mengangkat beban pedang.

Valias mengganti pakaiannya. Dia lalu berdiri. Hendak mengganti bagian bawahnya. Tapi kemudian menyadari keberadaan ketiga orang di dalam ruangan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan menyadari ketidakadaan kamar mandi.

"Oh. Kau ingin mengganti celanamu? Kami tidak akan melihat!" Wistar menutup wajahnya dengan dua tangan. Frey berdeham dan mengalihkan pandangannya. Sedangkan Dylan membalikkan tubuhnya. Valias memasang wajah datar. Melepas celana dan menggantinya dengan yang baru.

Dia melipat kedua pakaiannya sebelumnya dan meletakkannya di atas meja lemari.

Valias mendudukkan dirinya di ranjang. Melepaskan alas kaki. Menyelimuti dirinya, dan membaringkan tubuh. Meletakkan kepalanya pada bantal ranjang. Memandangi langit-langit dengan berpikir

Kau puas sekarang?

Valias menolak percaya bahwa dirinya dipaksa berbaring bagai orang sakit hanya karena dirinya tidak mampu menggenggam sebuah pedang seperti ketiga orang lainnya.

Frey, Wistar dan Dylan melihat Valias yang sudah berbaring dan langsung menghampiri laki-laki itu.

"Istirahatlah." Frey berucap. Terlihat benar-benar cemas. Seolah dirinya benar-benar terlihat mengkhawatirkan seperti yang Sang Calon Raja Hayden itu bilang.

Padahal Valias merasa baik-baik saja. Lengannya masih sedikit bergetar tapi dia baik-baik saja. "Kalau begitu aku akan istirahat. Jangan ganggu aku."

Valias yang frustasi akhirnya berujar masam dengan suara menekan.

"Ya ya. Kami akan pergi. Kau diamlah di sini, mengerti?" Frey berwajah pasrah dan menarik bahu Wistar juga Dylan ke arah pintu keluar.

Frey hendak keluar bersama kedua anak itu tapi suara Valias menarik perhatiannya.

"Beri saya beberapa buku tentang benua Reiss dan sihir."

04/06/2022

Measly033