webnovel

Chapter 50 - "Sambut dia" (1)

Vetra membawa dirinya serta Valias dan kedua orang lainnya ke depan bangunan istana. Ketika mereka menginjakkan kaki di dalam, mereka akan disambut dengan anak-anak yang sedang bermain. Hal itulah yang selalu Vetra lihat ketika dia berkunjung untuk sekedar menghibur diri. Melihat keceriaan anak-anak membawa kelegaan pada dirinya.

"Mari, tuan muda," senyum Vetra. Valias memberi anggukan.

Alister menghampiri Valias. "Ada baiknya Anda melepaskan jubah Anda, Tuan Muda." Dia dengan senyum ramah tamah palsunya membawa kedua tangannya pada pengait jubah di depan dada atas Valias. Setengah mengalungkan tangannya di bahu pemuda itu untuk membuka pengait yang ada.

Kei melirikkan matanya pada Alister tapi pelayan tua itu hanya memberikan lirikan balik.

Valias sedikit heran dengan kemunculan tiba-tiba tangan dengan sarung tangan di depannya, tapi dia langsung menenangkan diri. Diam sebentar membiarkan Alister melepaskan jubah dari tubuhnya.

Di kala Alister melepaskan pengait, di saat yang bersamaan pelayan tua itu berkata. "Tampaknya Anda sudah terlibat dengan cukup banyak hal tanpa saya ketahui, Tuan Muda. Apakah ini salah satu alasan Anda tidak kembali ke Kediaman Bardev hari lalu?"

Tidak pulangnya Valias sudah terjadi tiga kali. Yang pertama adalah ketika Alister mendengar kabar tentang kemunculan penyusup ke istana.

Valias terlibat dalam negosiasi dengan para penyusup itu. Kei dan kelompoknya. Itu yang Alister tangkap.

Yang kedua adalah ketika Valias kembali di pagi hari namun kemudian kembali meninggalkan kediaman Bardev dengan laki-laki tinggi yang saat ini juga tengah melirik ke arah Alister dengan mata tajam. Setelah kepergiannya dengan laki-laki itu, Valias lagi-lagi tidak tidur di kamarnya sendiri.

Selama tiga hari berturut-turut Alister tidak mengantar Valias tidur. Tuannya berada di tempat lain, sedangkan Alister tetap di Kediaman Bardev.

Alister yakin kemunculan elf itu—dan penyelamatan anak-anak Hayden, terjadi di antara tiga hari ketidakpulangan tuan mudanya.

Bukankah tuan mudaku begitu sibuk?

Alister memperhatikan leher belakang Valias yang pucat. Bahkan dengan sekali perbandingan saja perbedaan besar tubuh antara Valias dan dirinya, sangatlah jauh.

Dia melakukan banyak hal dengan tubuhnya itu.

Alister berpikir Valias tidak menggunakan akal sehatnya. Pantas saja waktu itu Alister melihatnya berdarah ketika berada di ruangan Frey dan berhadapan dengan empat sosok elf.

Tuan mudanya kurang istirahat dan akhirnya tumbang.

Valias sudah banyak tumbang. Tapi sepertinya tuan mudanya itu tidak peduli pada dirinya sendiri sama sekali.

Valias sudah beristirahat tanpa melakukan apapun selama empat hari. Alister melihat dengan kepalanya sendiri. Setelah hari-hari sejak kepulangannya dari istana Hayden. Begitu sibuk dengan hal yang sebelumnya tidak Alister ketahui.

Tapi bahkan di empat hari tanpa keluar dari kamar pun, Alister bisa melihat bahwa Valias selalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Remaja itu selalu berpikir. Berpikir akan hal yang tidak bisa Alister tebak.

Namun kemudian Alister mendengar dari bagaimana Frey berujar. Bahwa Valias menyelamatkan anak-anak Hayden.

Tuan mudaku benar-benar sesuatu yang lain.

Di tempat lain, Valias bertanya-tanya akan maksud pelayan tua itu

Tidak kembali? Kapan aku tidak kembali?

Tapi kemudian dia ingat bahwa memang benar dirinya sempat bermalam di istana, dan bukannya kamar Valias.

"Hm." Valias hanya mengeluarkan gumaman sebagai respon. Alister juga tidak bersuara lagi. Jadi dia melanjutkan langkahnya begitu jubah sudah sepenuhnya terlepas darinya. Menyusul Vetra yang baru saja membuka pintu bangunan dan menunggu kedatangannya.

Valias masuk ke dalam bangunan. Melihat beberapa anak tengah bermain saling mengejar di dalam ruang lorong yang cukup lebar. Mereka menyadari kedatangan Vetra. Berlari menghampiri perempuan itu.

"Kak Vetra!!" seru mereka. Vetra tersenyum dan menepuk kepala mereka.

"Aku kembali," ucapnya.

Kemudian satu orang di antara anak-anak itu. Mengangguk. "Ya! Semuanya sudah ada di ruang utama."

"Kerja bagus." Vetra memuji. Mengacak-acak rambut anak itu. Kemudian menoleh ke belakang. Ke arah Valias. "Kita bisa langsung ke ruangan dimana anak-anak berkumpul, Tuan Muda. Mereka pasti sudah tidak sabar untuk melihat Anda," ucapnya memberi senyum.

Valias menangkap sesuatu dari ucapan mage wanita itu. Wanita itu sudah menyiapkan kedatangan Valias lebih dulu. Mungkin memberitahu anak-anak bahwa dirinya akan kembali dengan Valias bersamanya.

Hal itu membuat Valias menghela nafas kecil. Rencananya benar-benar tidak berjalan sesuai rencana awal. Benarkah Frey ingin dirinya yang menjadi sosok penyelamat anak-anak? Dia tidak ingin itu.

Vetra menuntunnya ke sebuah pintu. Bersama anak-anak tadi dia membuka pintu itu.

Melalui pintu yang terbuka, orang yang ada di luar bisa melihat kumpulan anak yang ada di dalam.

Anak-anak itu. Mereka duduk berkerumun di atas lantai kayu berkarpet. Membuat mereka tidak akan kedinginan meskipun duduk di atas lantai tanpa bangku. Anak-anak itu melihat kehadiran Vetra dan Valias. Salah satu anak menegakkan tubuhnya meski masih dalam posisi duduk. Kedua matanya melebar dan mulutnya terbuka.

"Kakak rambut merah!" serunya.

Anak itu adalah Fee. Yang paling mengenal wajah Valias dibandingkan anak-anak lainnya. Karena dirinya sudah berhadapan langsung dengan pemuda itu. Saat itu Valias berlutut di depannya. Mensejajarkan matanya dengannya yang bertubuh lebih pendek. Memberi kesempatan pada Fee untuk melihat dari dekat wajah rupawannya. Alis terbentuk. Mata lembut. Dan hidung mancung. Juga bibir tipis. Tidak lupa wajah tirusnya. Fee bisa langsung mencatat rupa wajah itu di dalam kepalanya. Tersimpan jelas di dalam memorinya selama lima hari terakhir.

Dirinya selalu bertanya-tanya apakah dia akan memiliki kesempatan untuk melihat sosok Valias lagi. Kakak berambut merahnya. Yang sudah membawanya keluar dari ruangan bawah tanah yang gelap dan lembab.

Akhirnya kesempatan itu tiba. Perempuan dewasa yang dia sebut sebagai Kak Vetra berkata bahwa dia akan kembali melihat sosok Valias. Vetra sudah memberi tahu Fee dan semua anak lainnya. Untuk memanggil Valias sebagai Tuan Muda Valias.

Tapi Fee melupakan itu dan tanpa sadar langsung menyerukan panggilan awalnya pada Valias.

Tapi meski dia memanggilnya dengan itu pun nyatanya orang dewasa yang berdiri di samping Vetra itu tidak memiliki warna rambut merah. Melainkan hitam seperti sang mage. Hal itu membuat Fee bingung. Tapi di saat yang bersamaan dia merasa yakin. Penglihatannya tidak salah. Mata datar dan kosong—namun menyembunyikan lautan kelembutan di baliknya itu—hanya dimiliki oleh si kakak rambut merahnya seorang.

Semua orang memiliki mata yang berbeda-beda. Dan mata itu, hanya Valias yang memilikinya.

"Semuanya, sambutlah Tuan Muda Valias. Beliau lah yang sudah membawa kalian kemari. Berdirilah dah berikan penghormatan kalian seperti yang sudah kuajarkan." Vetra berkata dengan senyum senang. Tapi kemudian dia menyadari keheranan di wajah anak-anak itu. Dia menoleh dan langsung menyadari sesuatu.

"Tuan muda. Ijinkan saya menarik kembali sihir pada rambut Anda." ucapnya.

Valias menoleh. Terus terang juga lupa tentang warna rambutnya yang masih berwarna hitam. "Hm."

Vetra mengayunkan tongkatnya. Dan di depan semua orang, surai hitam panjang sebahu itu perlahan kembali ke warna aslinya. Warna yang bisa dengan mudah menarik perhatian dan keterpanaan semua orang. Warna yang membekas dengan sangat kuatnya di dalam ingatan mereka.

Itulah sang kakak berambut merah. Yang di hari itu, menyelamatkan mereka dari para orang dewasa yang mengurung mereka.

Insting memberi penghormatan langsung timbul di dalam diri mereka. Anak-anak itu. Bangkit dari duduk mereka dan membuat pose membungkuk. Semuanya memberi penghormatan pada Valias. Seolah Valias adalah raja mereka.

Valias terperanjat tapi ekspresi datarnya tetap tidaklah berubah.

Miel ada di antara anak-anak itu. Di ketibaannya di depan bangunan, dia menerima sambutan dari seorang perempuan dengan tongkat pendek dan beberapa pelayan dewasa yang langsung mengajak dirinya dan keempat anak lainnya masuk.

Dalam waktu singkat, keempat adiknya sudah mendapatkan banyak perhatian. Mereka bukanlah adiknya sungguhan tapi bagi Miel mereka adalah adik-adiknya yang perlu dirinya lindungi. Itulah salah satu alasan dirinya bertahan di kediaman Ringen. Untuk bisa memastikan kondisi keempat anak-anak yang dikurung itu.

Sekarang dia dan keempat adiknya sudah bebas. Mereka dikelilingi oleh anak-anak yang juga pernah berada dalam keadaan malang yang serupa. Semua anak berkumpul, dan berbagi cerita.

Dari situ Miel tau. Orang dewasa berjubah yang mendatangi kediaman tuannya, adalah orang yang sudah menyelamatkan semua orang.

Bangsawan itu bahkan memiliki warna rambut yang belum pernah Miel lihat sebelumnya. Hal itu membangkitkan insting memberi hormatnya.

Miel merasa yakin. Jika untuk pemuda berambut merah itu, Miel akan rela melakukan apapun. Untuk memberikan pengabdiannya sebagai pelayan, Miel akan dengan sepenuh hati melakukannya.

Valias di tempatnya tidak merasa dirinya punya banyak hal untuk dikatakan. Sejak awal dia ingin Frey yang menerima bungkukkan dari anak-anak itu, tapi sekarang justru sekarang dirinya lah yang ada di tempatnya.

Dia tidak tahu bagaimana dia harus bereaksi. Sebelumnya dia tersentak ketika menerima bungkukkan hormat dari orang-orang di dalam kedai ketika dirinya untuk pertama kalinya pergi ke kota bersama Dina dan Danial. Sekarang menerima bungkukkan serupa, Valias tidak merasa begitu kaget lagi. Hanya saja, sama seperti sebelumnya, dia tidak tahu akan reaksi seperti apa yang harus dia miliki.

Valias menghela nafas di dalam hati. Berkata pada dirinya sendiri bahwa dia hanya harus bersikap sebagaimana dirinya pikir tepat.

"Angkat wajah kalian," ucapnya.

Dia melihat bagaimana semua anak mengangkat wajah mereka. Mengikuti ucapannya. Valias untuk pertama kalinya merasakan bagaimana sekelompok besar orang mengikuti segala yang dia katakan. Dia pikir inilah yang dirasakan Frey.

Bukan kepuasan. Tapi tekanan. Tekanan ketika banyak orang bergerak atas sebuah ucapan darinya.

Valias mengatur dirinya untuk keluar dari pikiran itu dan mengeluarkan suara lagi. "Mulai sekarang kalian adalah warga Hayden. Inilah tempat tinggal kalian. Yang ingin kembali ke keluarga mereka, maka istana akan membantu kalian menemukan keluarga dan mengantar kalian pada mereka. Yang tidak, maka istana akan menjadi tempat tinggal kalian."

Valias berkata lagi. Mengucapkan apa yang ada di dalam kepalanya. "Kalian masih muda. Kalian harus menjalankan hidup dengan bahagia. Jadi lakukanlah apapun yang kalian mau. Sampaikan keinginan dan harapan kalian pada orang-orang dewasa yang ada di sekeliling kalian. Mereka akan membantu kalian. Dalam peran kalian, kalian akan menjadi penerus generasi para orang dewasa yang kini tengah berada di dalam ruangan yang sama dengan kalian. Hiduplah dengan bahagia, dan jadilah pengabdi kerajaan Hayden selanjutnya."

Semua orang akan hidup dan Hayden akan terus berdiri kokoh. Maka anak-anak itu akan terus tumbuh dewasa dan menjadi tokoh-tokoh Hayden di waktu mendatang.

Semua anak mendengarkan pidato dari Valias.

Valias tidak berniat untuk memberikan pidato tapi kata-katanya sudah terlebih dahulu tertanam di benak anak-anak itu.

Miel mendengarnya. Bangsawan itu berkata pada mereka untuk hidup bahagia. Untuk menjadi warga Hayden. Dan mengabdi pada kerajaan.

Digerakkan oleh ketabahan hati, dia membawa tangannya ke depan dada. Membungkuk dan bersuara. "Baik!"

Dia mengucapkan itu dari dasar hatinya.

Dia akan mengikuti apa yang Valias katakan.

Untuk hidup bahagia. Keluar dari belenggu masa lalu. Kini dirinya bukanlah lagi seorang budak dari bangsawan tukang mabuk. Kali ini, Miel akan mengejar cita-citanya sendiri.

Anak-anak lain terkejut pada suara Miel yang berada di antara mereka, namun kemudian mereka meniru kakak yang lebih tua dari mereka itu.

"Baik!" Semua anak berseru di saat yang bersamaan. Sekali lagi memberikan penghormatan serempak pada Valias. Yang hanya mampu melihat sekelompok besar anak memberi hormat padanya tanpa bisa dia cegah.

"Hm," Valias bergumam. "Aku rasa kunjungan singkat ini sudah cukup, Nona Vetra. Aku ingin melihat keadaan dua anak terakhir. Aku rasa mereka dalam kondisi yang tidak begitu baik?"

Dia bertanya pada Vetra. Vetra menangkap itu sebagai kepedulian Valias pada anak-anak yang dijadikan budak. Rasa hormat Vetra pada pemuda itu semakin menimbun dan akhirnya perempuan itu mengangguk cepat. Senyum lembut muncul di wajahnya. "Sudah saya duga Tuan Muda memiliki hati seluas tanah Hayden. Ya, Tuan Muda. Saya akan mengantar Anda pada kedua anak itu." Dia tersenyum lembut. Valias merasa mage wanita itu salah paham akan sesuatu tapi Valias tidak terpikirkan akan pelurusan apa yang harus dia berikan. Dia hanya mengangguk. Membiarkan Vetra membawanya pergi dari hadapan anak-anak itu.

Sebuah ruangan dengan jejeran ranjang. Dua di antaranya terisi. Di atasnya berbaring dua sosok remaja laki-laki di masing-masingnya.

Mereka membuka mata. Seolah menyadari kedatangan seseorang di dalam ruangan tempat mereka berada.

Valias melihat mereka. Penuh perban dan tempelan kapas. Ada plester di bibir sobek mereka. Mereka terlihat habis menerima tinjuan keras di wajah. Pipi mereka biru. Tapi mata mereka baik-baik saja dan tidak tersentuh.

Meski terlihat buruk tapi tampaknya mereka baik-baik saja. Keduanya sama-sama bangun dari ranjang mereka. Berjalan dengan langkah cepat ke arah Valias. Di luar dugaannya, kedua remaja itu berlutut. Menundukkan kepala. Valias tidak mampu bereaksi dan berakhir dengan hanya memandangi mereka yang berada di bawah pandangannya datar.

"Kami, sudah mendengar dari Nona Rania. Tuan lah yang menyelamatkan kami. Kami ingin berterimakasih. Kami akan bekerja untuk Anda, Tuan Muda."

Salah satu dari mereka bicara mewakili yang lain. Mereka memiliki pemikiran yang sama. Mereka ingin mengungkapkan rasa syukur mereka dengan mengabadikan diri pada sosok yang sudah menyelamatkan mereka.

Valias rasa dia harus menerima kenyataan bahwa kini semua orang memandangnya sebagai penyelamat.

Benarkah ini tidak apa-apa? Ini tidak akan mempengaruhi rencana ku, kan?

Valias merasa khawatir. Tapi dia tidak memperlihatkan itu. Dengan ekspresi tidak tersentuh dia membuka mulutnya. "Aku menerima niat kalian. Tapi aku ingin kalian mengabdikan diri pada Yang Mulia Raja Frey. Kurasa kalian bisa menjadi salah satu pekerja istana."

Keduanya mengangkat wajah. Terlihat tidak mengerti. "Yang Mulia Raja?"

Valias mengangguk. Tapi dia justru melihat kekecewaan dari kedua anak itu.

"Kalian tidak mau?" tanyanya.

Kedua anak itu terdiam. Tapi kemudian menggeleng pelan.

"Kami, ingin mengabdikan diri pada orang yang menyelamatkan kami. Yang menyelamatkan kami adalah, Tuan Valias."

Rasanya Valias sudah tidak sanggup mendengar itu lagi. Dia merendahkan tubuhnya. Mensejajarkan matanya pada kedua anak remaja yang menempelkan betis mereka pada lantai.

"Kalau begitu anggap ini sebagai permintaan pribadiku. Aku ingin kalian bekerja pada istana untukku. Akankah kalian melakukan itu?"

Valias melihat kedua anak itu mengangkat wajah mereka dengan ekspresi terkejut. Tapi kemudian Valias melihat binar dari mata mereka. Kedua anak itu mengangguk.

"Kami mengerti. Kami akan menjadi ksatria Hayden!"

Valias mulai tersenyum. Dia menegakkan kembali tubuhnya. Kelegaan menghampirinya. "Kalau begitu aku mengucapkan terimakasih," tuturnya. "Aku harap kalian cepat sembuh."

Kedua anak itu merapatkan bibir mereka. Keterharuan tampak memancar dari kedua mata mereka. "Terimakasih, Tuan Muda Valias."

Valias tidak menanggapi lagi. Dia berbalik pergi. Merasa dirinya ingin cepat-cepat keluar dari bangunan berisi anak-anak itu. Lebih baik dia kembali ke ruangan Frey.

Vetra di belakangnya tidak mampu menahan senyumnya.

Dia benar. Valias adalah sosok orang yang bisa dengan mudah menarik keinginan seseorang untuk mengabdikan diri padanya. Bahkan Vetra sendiri merasa dirinya rela mati demi pemuda itu.

Valias adalah sosok yang mudah untuk dihormati. Vetra yakin akan semakin bertambah orang yang mengaku ingin mengabdikan diri mereka pada pemuda itu. Karena untuk memiliki rasa hormat terhadap sang Bangsawan Bardev memanglah semudah itu.

Alister yang berjalan mengikuti Valias memiliki senyum di wajahnya.

Apakah aku akan memiliki saingan?

Dia terhibur memikirkannya.

Ketika malam tiba, Oza dan Radja muncul di ruangan Frey. Dengan Radja yang membawa sebuah karung di bahunya.

Oza berkata. "Kami membawanya."

04/06/2022

Measly033