webnovel

Chapter 5 - Senyum kecil (2)

Valias menebak tubuh yang dia tempati berumur 18-20 tahun. Dan Danial lebih muda darinya 2-3 tahun. Sedangkan Dina lebih muda dari Danial. Jadi mungkin berbeda 5 atau 6 tahun dari Valias. Valias menyadari tinggi Danial yang mencapai bahunya.

Aku tidak tahu tubuh ini masih akan tumbuh atau tidak.

Memikirkan kondisi tubuhnya yang terlalu ringkih dan kurus seperti kurang gizi cukup untuk pertumbuhannya. Tapi Valias yakin Danial akan tumbuh tinggi cepat atau lambat. Valias ingat pertumbuhannya yang tiba-tiba melunjak hanya dalam waktu satu tahun setengah, setelah melewati masa pubertasnya.

Dia akan menjadi pria yang hebat.

Danial membuka pintu dan Valias bisa melihat isi ruang baca itu.

Mungkin 4 kalinya kamar Valias. Dan memiliki banyak sekali buku. Mungkin sebanyak buku di satu lantai perpustakaan nasional.

"Aku akan duduk di sana."

Danial menunjuk meja dengan dagunya. Valias mengangguk. "Tentu."

Tidak membiarkan perubahan tingkah kakaknya mengganggunya, Danial pergi.

Valias menghampiri salah satu rak dan meraih satu per satu buku di depannya. Terus mengintip sedikit bagian buku di satu persatu rak tanpa membaca keseluruhannya sama sekali.

Ekonomi, geografi, teknik menanam, teknik militer, budaya Dapti, suku elf, suku manusia ikan, suku kurcaci, dan seterusnya.

Valias cukup terkejut dengan hal-hal yang dia temukan dari buku-buku yang sudah dia intip itu.

Di akhirat ada duyung dan kurcaci?

Memikirkan itu agak aneh Valias menepisnya

Valias ingin tahu sebenarnya dia sedang ada di mana. Mimpi, negara lain yang belum ditemukan manusia dimana makhluk-makhluk mitologi yang biasanya hanya ada di buku fiksi dan khayalan manusia masih hidup—tidak, bahkan makhluk seperti elf dan duyung bukanlah makhluk yang sudah punah melainkan benar-benar tidak ada—atau akhirat.

Jika ini mimpi, Valias cukup terkejut dengan kemampuan berkhayalnya. Dia tidak membaca buku fiksi selain yang direkomendasikan teman kuliahnya itu. Yang epilognya belum sempat Valias baca.

Aku juga tidak terlalu penasaran sih.

Valias bukan tipe orang yang merasa bersemangat akan apapun. Termasuk akan pembaharuan chapter sebuah novel seperti temannya. Temannya akan tersenyum bagai dirinyalah satu-satunya manusia yang memiliki kebahagiaan di dunia dan memamerkan bagaimana cerita yang dia baca memiliki chapter baru. Mengulang-ulang ucapan bahwa dia akan mengucapkan rasa terimakasih dan memberi hadiah pada para penulis cerita yang dia baca itu.

Karena merasa tidak memiliki sesuatu untuk dilakukan, Valias membaca cerita situs itu.

Jadi seharusnya Valias tidak mampu berimajinasi seluas ini dalam mimpinya. Dia kekurangan referensi dan jiwa pengkhayal. Jadi jika ini mimpi pun Valias merasa agak aneh.

Mungkin mimpi orang lain? Tapi aku masuk ke dalam mimpinya?

Pemikiran seperti itu lebih absurd lagi.

Sebagai orang yang tidak pernah berkhayal dan memikirkan sesuatu yang tidak logis, Valias merasa lucu akan pikiran yang muncul di benaknya barusan.

Valias merasa

Mungkin ini memang akhirat. Tidak ada orang yang pernah ke akhirat, kan? Mungkin inilah akhirat yang sesungguhnya?

Di mana makhluk-makhluk fiksi itu hidup.

Valias teringat perkataan orang bahwa menggambar tidaklah boleh karena gambar-gambar itu akan mendatangimu dan meminta nyawa untuk hidup di akhirat. Mungkin ini hasilnya?

Makhluk-makhluk imajinasi itu kini ada di akhirat dan hidup di daratan yang sama dengan manusia sepertinya.

Dia bahkan tidak tahu wilayah tempatnya berpijak itu disebut apa.

Sepertinya ini bukan tipe wilayah yang dipimpin presiden. Tapi dia ingat disebutnya nama Reiss di buku yang dia baca sedikit tadi malam.

Mungkin kerajaan?

Bahkan sistem hirarki seperti Count pun ada. Valias kurang familiar dengan istilah-istilah dalam sistem pemerintahan kerajaan seperti itu.

Jadi mungkin wilayah ini bernama wilayah Reiss? Dan Count Bardev ada di dalam wilayah Reiss itu?

Valias mencoba melihat apa yang sedang Danial lakukan. Anak itu begitu fokus dengan buku dan penanya.

Valias dengan konyol berniat mengintip semua buku yang ada di ruang baca itu walaupun dia tidak yakin akan memakan waktu berapa lama.

Seharusnya tidak lama.

Karena dia hanya mengintip, bukan membaca.

Bahkan jika aku harus menghabiskan sehari penuh di sini seharusnya tidak apa-apa.

Dalam waktu satu jam, dia sudah selesai mengintip dan membaca sedikit buku di sepanjang satu tingkat rak.

Valias menghela nafas lelah tapi tidak mengeluh.

***

Tiga jam berlalu tanpa Danial sadari. Dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku dan merenggangkan tubuhnya.

Kakak tidak duduk sama sekali.

Danial pikir kakaknya akan mengambil buku lalu duduk di dekatnya. Tapi tanpa Danial sadari karena terlalu fokus dengan bacaannya, kakaknya tidak pernah duduk.

Mungkin dia membaca di dekat dia menemukan buku itu.

Kadang Danial juga melakukan itu. Agar dia tidak perlu repot-repot mengingat letak di mana dia mengambil buku yang baca. Dia bisa menaruh buku itu dimana saja, dan pelayan akan membereskannya. Tapi Danial bukanlah pribadi berantakan yang berpikir pelayan akan membereskan segala kekacauan yang dia buat.

Danial sudah lama tidak merasakan khawatir tentang kakaknya. Tapi setelah kejadian tadi pagi, dan dengan perubahan kakaknya yang kini sudah mulai berbicara dan tersenyum padanya, insting untuk merasa khawatir itu kembali lagi.

Danial tidak tahu apakah itu karena Valias adalah kakak kandungnya atau tidak. Tapi sebagai manusia, merasa khawatir akan satu sama lain itu wajar, kan?

Haruskah ku cek?

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Danial memilih untuk memenuhi rasa penasaran dan meringankan rasa khawatirnya.

Dia menelusuri rak demi rak hingga dirinya tiba ke sudut rak paling ujung dan terpojok. Dan di sanalah Valias berada.

Danial hendak menghampiri kakaknya tapi berhenti ketika melihat rambut merah itu terpapar sinar matahari yang masuk dari jendela di sampingnya. Tubuh itu ringkih, kurus, dan pucat. Tapi entah kenapa Danial menemukan dirinya terpana dengan pemandangan itu.

Lalu, pemandangan itu membuatnya bertanya-tanya apakah ibu yang melahirkannya akan terlihat seperti kakaknya itu atau tidak.

Danial baru tahu bahwa dia dan Dina bukanlah anak kandung Countess sekarang-tapi memiliki darah ayah mereka, Count Hadden Bardev-, satu tahun lalu.

Semua rahasia dibongkar oleh ayahnya setelah kakaknya, Valias Bardev hadir di antara keluarga mereka.

Danial, Dina, dan Valias lahir dari wanita yang sempat dicintai ayahnya. Carla. Dia adalah rakyat biasa yang bekerja di salah satu bar di wilayah Bardev. Lalu ayahnya, sebagai anak remaja bangsawan yang sedang bermain, melihat dan langsung jatuh cinta. Wanita itu melahirkan mereka bertiga. Tapi Nenek Danial, Countess sebelumnya, menentang hubungan itu.

Hadden menikahi Ruri Osmond. Namun Ruri memiliki masalah dengan rahimnya. Hadden memohon kepada Countess, sang ibu untuk mengijinkannya membuat skenario palsu dan membawa ketiga anak yang dilahirkan oleh wanita yang dicintainya itu ke dalam keluarga Bardev.

Setelah beberapa usaha, akhirnya Hadden diberi ijin. Tapi nenek Danial tetap menolak kakaknya karena warna rambutnya yang terlalu berbeda dan khawatir akan menimbulkan gosip di kalangan bangsawan.

Danial dan Dina hidup dan tumbuh besar mengetahui bahwa mereka adalah anak kandung dari Count dan Countess Bardev. Lalu, Valias Bardev muncul.

Danial tidak memiliki rasa penasaran tinggi tentang ibu kandungnya. Lagipula, selama ini yang dia tahu, ibunya adalah Ruri Bardev. Dan dia sudah nyaman dengan itu. Selain itu, dia tidak bisa merubah sikap terhadap wanita yang sudah menjadi sosok ibu baginya dan Dina sejak mereka kecil itu. Sejak mereka belum mampu mengingat apapun.

Melihat sosok Valias di depannya, Danial berpikir-mungkin wanita yang melahirkannya akan terlihat seperti Valias. Dan Danial mulai merasa bahwa bagaimana ayahnya langsung jatuh cinta pada ibu kandungnya adalah hal yang wajar.

Danial memfokuskan dirinya lagi dan mulai menghampiri Valias.

"Kakak-"

Suaranya terhenti begitu dia melihat sesuatu menetes.

Danial melihat cairan merah menetes pada buku yang sedang dipegang oleh dua tangan kakaknya.

"Eh?"

Valias langsung mengusap darah yang menetes pada halaman buku yang dia buka dengan jarinya lalu menaruhnya asal di rak.

Mimisan?

Valias bingung apakah dia harus terkejut atau tidak dengan kejadian ini.

Yang benar saja. Selemah apa tubuh Valias?

Valias tidak pernah mimisan seumur hidupnya. Mimisan ini adalah sensasi baru baginya.

Jadi begini rasanya.

Seperti ketika pilek, tapi kali ini terlalu encer dan berwarna merah serta berbau amis darah.

Dia tidak pernah mimisan tapi pernah melihat temannya mengalami itu dan melihat mereka mendongakkan kepala sebelum mendapatkan pukulan dari temannya yang lain.

"Bego! Kalau mimisan tuh jangan dongak begitu!"

Anak itu menyuruh temannya untuk menunduk, membiarkan darah yang keluar untuk keluar, dan menyumpal hidungnya dengan tisu.

"Lu tau kalau mimisannya parah, bisa pake daun sirih 'kan?"

"Iya."

Mengingat dialog di antara dua temannya itu, Valias berpikir apakah di sini ada tisu dan yang namanya daun sirih itu atau tidak.

Sejak kemarin aku belum melihat tisu.

Orang-orang menggunakan kain, serbet, dan handuk untuk mengelap apapun. Tidak ada tisu.

Di tengah dirinya yang menangkupkan kedua tangan untuk menjaga darah-darah itu dari menetes ke lantai, Valias menyadari keberadaan Danial.

"Oh? Danial. Kamu di sini?" Seketika merutuki dirinya sendiri karena sekarang dia merasakan aroma dan rasa besi di lidahnya.

Ya ampun.

Menjijikan, tapi Valias bukan tipe orang yang mudah merasa jijik. Jadi dia tidak berkutik.

Kemudian Valias merasakan Danial mempercepat langkah dan mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.

"Gunakan ini. Aku belum mamakainya. Kakak tidak perlu menolak."

Valias langsung menerima sebuah kain kotak berwarna coklat dari tangan Danial.

Aku tidak memiliki pemikiran untuk menolak sih.

Lagipula kalaupun Danial sudah menggunakannya, Valias masih tentu akan menerimanya. Dengan situasi darurat seperti ini. Lagipula Valias yakin Danial bukan anak yang jorok.

Valias mengusap mulutnya, membersihkan tangannya, dan meletakkan kain persegi itu di lubang hidungnya.

Ah.

Tiba-tiba Valias merasakan pandangannya menjadi kabur, lalu menggelap. Tanpa dia sadari, dia kehilangan kesadaran dengan Danial yang berusaha menggapainya di visinya sebelum dia tidak bisa melihat apa-apa.

***

Ketika Valias membuka mata, yang dia lihat adalah langit-langit ruangan remang-remang dan menyadari dirinya sedang berbaring di atas sebuah kasur yang rapih.

Dia ingin bangun tapi rasa pusing mengganggunya. Membuatnya reflek memegangi kepalanya sambil mengerang.

Apa-apaan tubuh ini.

Valias memang tidak suka mengeluh. Tapi dia mulai gemas dengan kondisinya. Dia merasa tubuh itu terlalu lemah. Dia lebih suka tubuh miliknya yang sebelumnya.

"Kakak!"

Menoleh ke asal suara, Valias melihat Dina muncul dari pintu dan berlari kearahnya.

"Kakak! Maafkan aku! Tabib bilang tangan kakak punya banyak goresan. Pasti itu karena aku meminta kakak membuat pedang kayu itu! Kakak jangan sakit. Aku tidak mau."

Dengan begini Valias sudah membuat Dina menangis untuk yang ketiga kalinya hari ini.

Bahkan ini baru hari keduaku menjadi Valias.

Dia tidak menyukai perasaan sedih dan tidak suka orang lain bersedih. Tapi lalu apa yang harus dia lakukan?

Dia dalam kondisi itu bukan karena dia mau.

"Aku tidak apa-apa, Dina. Tidak perlu merasa bersalah."

Valias jarang memasang senyum bahkan sebelum dia menjadi Valias. Keseringan dia hanya berwajah datar dan hanya tersenyum di saat-saat tertentu.

Sekarang pun, Valias tidak sadar ekspresi apa yang sedang ada di wajahnya. Tapi Dina, melihat ekspresi itu sebagai kakaknya yang sudah terlalu lelah untuk memaksakan senyum kecil seperti tadi pagi.

Valias melihat Dina yang bukannya berhenti menangis, malah mengeluarkan air mata lebih banyak.

Oh tidak.

Valias menerima fakta bahwa dia kurang berinteraksi dengan orang, apalagi dengan anak kecil. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan menghadapi Dina saat ini.

Tapi memaksakan diri juga tidak akan membawa hal bagus.

Jika Valias memang tidak pandai menghadapi situasi itu, maka dia hanya perlu melakukan apa yang dia pikir benar.

Bahkan jika tindakan itu rupanya bukan tindakan yang benar.

Valias menggerakan tangannya dan menepuk kepala Dina.

"Jangan menangis lagi. Kalau kamu masih menangis aku tidak akan membaik."

Valias menimbang nimbang apakah kalimat yang dia pilih tepat atau tidak.

Bukankah ucapanku lebih terdengar seperti ancaman daripada menenangkan?

Tapi sebuah kalimat sudah dikatakan. Valias tidak bisa menariknya kembali. Sebagai gantinya dia melembutkan sentuhannya pada Dina.

Tanpa Valias ketahui, justru semakin lembut Valias memperlakukannya, semakin merasa bersalah Dina. Tapi menyadari kakaknya yang pasti juga akan merasa tidak nyaman dengan dirinya yang terus menangis, dia cepat-cepat menghapus air matanya dan mengangguk.

Aku lah yang akan melindungi kakak. Bukan kakak yang melindungiku.

Valias melihat Dina yang mulai tenang mulai tersadar dengan kedua tangannya yang dibalut perban. Valias mulai mengamati kedua tangannya itu dan menyadari Dina menujukan pandangannya pada hal yang sama. Tapi Valias sudah memutuskan. Bahkan jika Dina mulai menangis lagi, Valias tidak akan mencoba menenangkannya lagi.

Suara ketukan terdengar dan pintu terbuka. Lampu tidak dinyalakan dan hanya cahaya matahari dari jendela yang tertutup gorden yang membantu Valias melihat.

Danial masuk bersama Countess Ruri dan menghampiri di mana Valias dan Dina berada.

"Syukurlah kamu sudah bangun."

"Iya." Valias menjawab singkat ucapan Ruri padanya.

"Ayahmu akan berada di sini sebentar lagi."

Tepat setelah Ruri menyelesaikan kalimatnya, pintu terbuka dan Hadden masuk dengan tergesa-gesa diikuti Alister yang bertatapan mata langsung dengan Valias sebelum langsung memamerkan senyum ramah tamah palsunya.

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku?"

Semuanya diam dan Valias memikirkan kemungkinan keadaan yang sedang terjadi.

"Aku tidak apa-apa, ayah. Mereka pasti tidak mau membuat ayah khawatir." Valias menjawab asal. Tidak sadar dengan dampak yang telah dia perbuat.

"V-Valias?"

"Ya?" Valias membalas ucapan terbata-bata itu pelan.

"Barusan kamu memanggilku apa?"

Valias mengerutkan kening.

Aku memanggilnya apa?

Dia memutuskan untuk mengulang. "Ayah?"

Semua terdiam. Hadden menatapnya dengan mulut terbuka dan tubuh kaku.

Valias merasakan ketegangan yang mengisi ruangan.

Apa ini?

"V-Valias. Bisakah kamu mengulangi itu?"

Valias terdiam bingung.

"Ayah."

Kedua mata pria di depannya berkaca-kaca.

Valias terlonjak.

"Ayah bersyukur kau sudah membuka hatimu pada ayah, Valias. Terimakasih."

Ah.

Barulah Valias menyadari situasi yang sedang terjadi.

Valias memutuskan untuk memasang senyum kecil. Hadden memejamkan mata dan menggigit bibir sebelum berjalan perlahan menghampirinya.

"Valias, anakku, bolehkah ayah memelukmu?"

Valias bukan tipe orang yang tidak suka jika disentuh orang lain jadi dia mengiyakan.

"Tentu."

Hadden menghampirinya dan memeluk tubuhnya erat. Tubuh kurus dan ringkih Valias tertutupi oleh tubuh dan pakaian tebal Hadden.

Oh, dia begitu kurus.

Tapi Hadden tetap bersyukur. Dia berharap, mulai sekarang dia bisa lebih banyak memperhatikan Valias dan menyehatkan tubuh Valias.

"Terimakasih, terimakasih dewa. Aku, Hadden Bardev sungguh berterimakasih."

Tubuh Hadden bergetar. Valias merasakan air hangat membasahi bahu hingga ke punggungnya. Dia mangabaikan hal itu sekaligus kehangatan super yang melingkup seluruh tubuh atasnya.

Sepertinya tubuhku sekarang memang sekecil itu.

Tubuhnya benar-benar tertutupi oleh tubuh Hadden.

Tangannya yang juga terjebak oleh pelukan pria yang dia panggil ayah itu berusaha dia loloskan dan kemudian dia gunakan untuk menepuk punggung Hadden.

"Terimakasih kembali, ayah. Maafkan aku atas sikapku selama ini."

Hiks.

Suara itu bukan berasal dari pria yang memeluknya melainkan Ruri dan Dina. Sedangkan Danial yang ada di penglihatan Valias menggigit bibir dan mengepal kedua tengannya dengan erat. Sama-samar Valias bisa melihat ekspresi Danial yang seolah sedang menahan air matanya keluar.

Alister, berdiri tegap di dekat pintu menyaksikan pemandangan itu terbuka di hadapannya. Ruangan tidak memiliki cukup pencahayaan. Tapi Alister merasa dia bisa melihat ekspresi setiap orang di ruangan itu.

Mungkin keluarga ini akan menampilkan pertunjukan baru padaku?

Alister menyeringai kecil memikirkannya.

***

Hadden dan semuanya memutuskan untuk berhenti mengganggu Valias dan membiarkannya beristirahat. Valias tidak merasa dia masih membutuhkan istirahat tapi dia tidak menolak.

Kini hanya ada dia dan Alister yang menuangkan teh ke dalam cangkir.

"Silahkan, tuan muda."

Valias mengingat teh tadi pagi dan menyiapkan diri untuk rasa yang sama. Tapi kali ini teh itu manis dengan aroma wangi yang Valias duga sebagai wangi bunga meski Valias tidak tahu bunga apa. Valias sebagai pemuda berumur 25 tahun terlalu cuek terhadap berbagai hal. Dia hampir tidak pernah meminum teh. Teh yang dia ingat manis dan tawar dengan aroma bunga melati. Tapi aroma ini bukan aroma melati.

"Tuan muda, Raja Chalis mengundang keluarga Count Bardev untuk menghadiri ulang tahun putra mahkota pertama."

Hadden meminta Alister untuk menyampaikan itu pada Valias karena dirinya khawatir tidak bisa mengendalikan diri jika dirinya harus menghadapi Valias lagi dengan kondisi hatinya saat itu.

Keluarga yang menggemaskan.

Alister tertawa dalam hati.

"Apakah aku juga diundang?"

"Ya, tuan muda. Seluruh keluarrga Bardev diundang. Keluarga wilayah lain juga diundang ke istana."

Valias menunduk. Memandangi datar wajahnya yang terpantul samar di permukaan teh di dalam cangkir di tangannya.

Istana ya?

"Kapan acaranya?" Dia bertanya.

"Lusa, tuan muda."

Undangannya tiba dari minggu lalu. Tapi Hadden baru berani mengajak anak tertuanya karena Valias sudah berubah.

Valias Bardev yang biasanya akan menolak karena dia membenci bangsawan.

Sang pelayan menontoni gerak gerik tuan mudanya. Respon seperti apa yang akan dia terima.

"Baiklah."

Alister tidak menduga tapi juga tidak terkejut.

Perubahannya begitu drastis sampai ke tahap mencurigakan.

Valias sudah menyuruhnya untuk tidak bertanya. Tapi Alister bukanlah pelayan yang akan patuh begitu saja. Dia akan mengamati tuan mudanya itu lebih jauh.

Valias membiarkan pikirannya mengelana.

Chalis? Seperti pernah dengar.

Berpikir mungkin itu nama seseorang yang pernah menjadi teman kuliah atau rekan kerjanya, Valias menganggapnya angin lalu.

Valias mulai melihat sekeliling. Kamar itu rapih. Tidak ada kertas dan buku berserakan, dan furniturnya lebih beragam.

"Ini bukan kamarku."

"Saya khawatir tuan muda akan menyentuh buku dan kertas-kertas itu di saat beliau seharusnya beristirahat."

Valias tidak menduga jawaban itu dan merasa rencananya terbongkar tanpa bisa dia cegah.

Bukannya aku berniat untuk melakukan itu diam-diam sih.

Valias hanya memiliki pemikiran untuk membaca lebih jauh buku-buku yang ada di kamar Valias Bardev.

Aku mungkin tidak bisa ke ruang baca sekarang. Tapi aku bisa membaca buku-buku di kamarku itu.

Tapi sepertinya dia bahkan tidak bisa melakukan itu.

"Lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan?"

"Saya bisa menjadi teman bicara Anda, tuan muda Valias."

Dia pikir aku punya penyakit jiwa?

Valias memutuskan untuk mengikuti permainan pelayan tua itu dan memamerkan senyum nakalnya.

Valias belum pernah menggunakan jenis senyum seperti itu sebelumnya.

Tapi orang tua dan situasi ini memancingku untuk mencobanya.

Alister membalas senyum nakal tuan mudanya dengan senyum ramah tamahnya yang biasa.

"Baiklah. Apakah ada yang ingin kau bicarakan, Alister?"

"Bagaimana dengan menu makan yang tuan muda inginkan untuk malam ini?"

Valias membalas tatapan Alister padanya dengan wajah datar. Pak tua itu menganggapnya sebagai hiburan. Tidak ada alasan untuk Valias berusaha bersikap ramah padanya. Valias akan memasang ekspresi apapun yang dia mau.

"Aku tidak lapar."

"Kalau begitu saya akan menyiapkan roti dengan siraman air lemon."

"Apa?"

Dia reflek menoleh berkeinginan melihat wajah si pelayan. Alister memiliki senyum khas miliknya.

Orang tua ini, dia serius?

Membayangkannya saja membuat Valias ingin membuang liurnya saat ini.

Valias memikirkan makanan seperti apa yang dia inginkan untuk dimakan di malam hari sebelum tidur.

Aku tidak terlalu menikmati makanan yang bukan hasil masakanku sendiri sih..

Setelah mempertimbangkan beberapa jenis makanan, akhirnya Valias memilih satu.

"Daging panggang seperti kemarin bagus."

"Baiklah kalau begitu." Alister membungkukkan tubuhnya dan berlalu meninggalkan ruangan.

Valias menidurkan lagi tubuhnya. Membiarkan matanya menatap langit-langit yang dihiasi ornasi berwarna emas, sedangkan pikirannya berkelana.

Langit sudah sore dan cahaya matahari di dalam ruangan mulai meredup. Kegelapan ini membuatnya mengantuk. Tanpa dia sadari dirinya sudah terlelap.

Ketika dia membuka mata lagi, pintu terbuka.

"Apakah Anda sedang tidur, tuan muda."

Valias meneguk ludahnya setelah merasakan tenggorokannya yang agak serak setelah tidur sehabis minum sesuatu yang mengandung gula.

"Tidak."

"Tampaknya Anda baru saja bangun."

Pasti Alister bisa menduganya dari suaranya yang serak.

"Apakah saya bisa menyalakan penerangannya?"

Valias mengangguk sebelum tersadar bahwa ruangan sedang terlalu gelap untuk Alister melihat anggukannya. Tapi sebelum Valias hendak mengiyakan, ruangan sudah menjadi terang, mengharuskan Valias menutupi matanya dengan tangan.

Ketika dia merasa matanya sudah bisa beradaptasi, dia meilhat Alister yang tersenyum padanya.

Orang tua ini benar-benar.

Valias menghela nafas dan menonton Alister yang mendorong meja beroda ke arahnya.

04/06/2022

Measly033