webnovel

Chapter 39 - Berjalan Di Udara (4)

"K- Kakak?!" Dina berseru kaget melihat hidung Valias yang berdarah. Valias di lain tempat juga mengerutkan keningnya heran mendapati dirinya mimisan.

Sudah yang keberapa kali ini?

Valias rasa dia tidak perlu menghitungnya.

"T, Tabib. Apakah aku perlu memanggil tabib? A- Aku akan memanggil Lika!" Dina hendak berlari tapi sebuah tangan memegang bahunya.

"Tidak perlu. Ini akan segera selesai," ucap Valias. Merogoh saku celana dan mengeluarkan sapu tangan dari sana.

Dia tidak merasa pusing. Dia benar-benar merasa baik-baik saja dan terheran kenapa Valias berdarah.

"Apakah ada yang kau butuhkan?" Valias bertanya seraya mengusap tangan dan bagian atas mulutnya.

Dina terperanjat. "U, Uh, tidak. Aku hanya ingin melihat kakak."

Kakaknya sempat kembali. Bersama Alister mereka tiba di mansion tapi setelah itu Dina mendengar bahwa Valias mendatangi mage yang ada di kediaman Bardev dan kemudian kembali pergi. Tanpa Dina ketahui kemana.

Dina sedang berjalan murung di lorong ketika dia melihat Alister berpapasan dengannya dan memberi senyum padanya. Melihat keberadaan Alister Dina menebak Valias sudah kembali dan langsung berlari ke ruangan laki-laki itu.

Valias memandangi Dina masih dengan sapu tangan di hidungnya. "Maaf aku memisahkan diri darimu dan Danial sebelumnya."

Dina yang mendengar itu mendongakkan kepalanya kaget dan langsung cepat-cepat menggeleng seraya menggoyangkan kedua tangannya. "Tidak! Itu tidak apa-apa! Kakak pasti sibuk.."

Dina mengingat perjalanan pulangnya bersama Danial sebelumnya.

Baik Dina dan Danial sama-sama duduk diam di tempat duduk mereka tanpa siapapun bersuara.

"Kira-kira, kemana kakak pergi?" suara Dina memecah keheningan.

Danial yang tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulut Dina terkejut sedikit sebelum menghela nafas tanpa suara.

"Entahlah."

Kakak mereka memanglah orang yang misterius sejak awal. Perubahannya menciptakan keterkejutan tapi juga kebahagiaan.

Mungkin Danial tidak menunjukkannya. Tapi sama dengan Dina, dia juga memiliki keinginan untuk dekat dengan Valias.

Meskipun Valias pendiam dan memiliki aura yang membuatnya orang-orang menjauhinya, hanya dalam sekali lihat Danial bisa tahu bahwa kakaknya Valias Bardev adalah seorang pemuda yang pintar.

Ketika dia melihat kakaknya hampir tidak pernah keluar dari kamarnya untuk menulis dan hanya keluar dari kamarnya untuk ke ruang baca, Danial tahu bahwa Valias adalah orang yang pintar dan gemar membaca.

Hanya dalam sekali lihat Danial bisa menebak bahwa Valias adalah seseorang yang memiliki pengetahuan yang sangat luas di kepalanya.

Ketika Danial pertama kali berpapasan dengan Valias di ruang baca, Danial bisa melihat kefokusan yang dimiliki Valias dalam buku yang dibacanya.

Pemandangan itu adalah sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikir oleh Danial akan terlihat olehnya.

Kakaknya, berdiri di depan sebuah rak buku dengan buku di tangannya.

Matanya sedikit sayu tapi juga tajam di saat yang bersamaan. Membaca buku di tangannya dengan penuh ketelitian.

Di hari Valias bicara untuk yang pertama kalinya padanya, Danial merasa bahwa dia akhirnya melihat pemandangan itu sekali lagi. Tapi setelah Danial pikir-pikir lagi, meski yang dia lihat adalah orang yang sama dan dengan pose yang sama,

Keduanya tampak berbeda.

Perbedaannya terletak pada mata mereka berdua.

Kakaknya, tampak seperti orang yang berbeda di pemandangan yang lain.

Danial mendapatkan kegemaran membacanya dari Valias.

Ketika dia melihat kakaknya di hari itu, dia tahu Valias adalah seseorang dengan pengetahuan yang sangat luas dan Danial ingin menjadi seperti kakaknya.

Dia mulai sering mengunjungi ruang baca bangunan tempat tinggalnya. Membaca setiap buku yang dia temukan di rak.

Beberapa kali berpapasan dengan kakaknya di ruang baca, Danial mulai penasaran dengan buku apa saja yang dibaca oleh kakaknya.

Diam-diam memperhatikan setiap buku yang disentuh kakaknya setiap kali kakaknya berada di ruang baca bersamanya. Meninggalkan buku yang dia baca dan cepat-cepat meraih buku yang sebelumnya kakaknya baca begitu Valias keluar untuk kembali ke kamarnya.

Buku yang dibaca Valias tidak pernah sama.

Di hari pertama Valias akan membaca buku tentang ekonomi. Di hari selanjutnya Valias akan membaca buku tentang astronomi. Dan di hari lain, dia akan membaca buku tentang politik.

Tidak seperti Danial dan Dina yang memiliki guru seperti Mallory yang memaksa mereka untuk membaca buku-buku pelajaran, Valias, kakaknya, membaca buku-buku itu atas keinginannya sendiri.

Danial melihat Valias sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Dan itu membuat Danial sangat mengagumi kakaknya.

Dia ingin menjadi seperti Valias.

Jika Valias suka membaca, maka Danial akan memaksa dirinya untuk menumbuhkan kesenangan dalam membaca juga di dalam dirinya.

Di hari yang tidak terlupakan itu, Danial untuk pertama kalinya melihat ruang kamar Valias.

Yang dipenuhi oleh buku dan kertas penuh tulisan.

Danial tau.

Semua kertas-kertas itu, ditulis sejak hari pertama kedatangan Valias di kediaman mereka.

Baru empat bulan berlalu. Dan semua kertas-kertas penuh tulisan itu sudah ada di sana.

Valias, menulis kertas-kertas itu setiap hari tanpa istirahat berarti. Selamat empat bulan.

Bahkan dalam 15 tahun kehidupannya Danial belum pernah menulis sebanyak itu.

Kakaknya, Valias, berada di level yang berbeda.

Jika dia mengeluarkan darah dari hidungnya karena menulis kertas-kertas itu, maka itu adalah hal yang pantas untuk seseorang membelalakkan mata mereka.

Valias sudah menjadi sosok yang misterius sejak awal. Tapi dia kemudian menjadi semakin misterius ketika dia berubah.

Meskipun Danial bingung dengan perubahan tiba-tiba kakaknya, dia tidak mempermasalahkannya.

Tapi sejak kepergian mereka ke istana,

Tidak. Sejak kepulangan kakaknya dari istana, setelah diinterogasi oleh yang mulia Putra Mahkota, tingkah Valias menjadi semakin mencurigakan bagi Danial.

Kakaknya sering bepergian. Dan selalu pulang di awal hari atau di tengah malam.

Seperti hari ini.

Kakaknya menunjukkan sikap yang biasa. Dia mengajaknya dan Dina untuk keluar bersama.

Berjalan-jalan di kota, sangat menyenangkan baginya.

Meskipun Valias tidak banyak bicara dan hanya menanggapi antusiasme Dina dengan senyum dan ucapan-ucapan pendek, tapi Danial bisa melihat kakaknya.

Dia selalu menetapkan matanya pada Valias di sepanjang kegiatan berjalan-jalan mereka.

Itu karena Valias memiliki karisma yang membuat Danial tidak mampu mengalihkan pandangannya.

Valias selalu memiliki kepercayaan diri yang terpancar darinya.

Menarik atensi orang-orang yang melihatnya. Apalagi yang berada di dekatnya. Seperti Danial.

Dina mungkin tidak merasakannya. Karena dia masih kecil dan hanya melihat Valias sebagai kakak kandungnya yang hilang.

Tapi di mata Danial, kakaknya Valias adalah seseorang yang mengintimidasi.

Valias adalah seseorang yang sangat jenius dan bisa melakukan apapun sesuai kehendaknya.

Hal itu membuat Danial selalu melihat ke arah Valias. Mencari tahu segala hal yang dilakukan oleh kakaknya.

Untuk kemudian dia tiru. Untuk kemudian dia jadikan sebagai arahan.

Kakaknya belakangan ini selalu keluar rumah. Membuat Danial tidak lagi bisa melihat kakaknya dari kejauhan.

Apa yang sebenarnya sedang kakak lakukan? Danial sangat penasaran.

Dia ingin tau. Tapi di saat yang bersamaan, dia tidak mau mengganggu kakaknya.

Kakaknya adalah seseorang yang selalu memiliki hal untuk dilakukan. Bahkan semua kertas itu, meskipun Danial tidak bisa tau itu apa,

Dia tau. Bahwa itu adalah sesuatu yang sangat penting.

Sangat penting hingga kakaknya rela mengeluarkan banyak darah dari hidungnya tapi tetap mendorong dirinya untuk menulis. Tidak mau menjauh dari kertas dan pena bahkan meski hanya untuk beberapa detik.

Kakaknya bahkan menarik perhatian Putra Mahkota Hayden dan keluarganya.

Pangeran Wistar bahkan mendekati Valias untuk berteman dengannya.

Danial tau. Bahwa kakaknya adalah sosok yang akan memberi pengaruh besar pada Hayden.

Dan pada saat itu terjadi, Danial ingin berdiri di sisi kakaknya.

Dina memandangi Danial yang terlihat begitu sibuk dengan pikirannya.

Dina memainkan kedua tangannya. Dia tau Valias pasti sibuk. Melihat Danial yang terdiam Dina bisa tau bahwa Valias pasti sedang melakukan hal yang penting. Dia tidak punya waktu untuk bermain dengan dirinya.

Ketika mereka sampai di rumah, Danial pergi lebih dulu ke ruang baca. Meninggalkan dirinya bersama Lika.

Dina merasa sedih. Dia pikir hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Menghabiskan waktu bersama kakaknya.

Danial juga bergabung.

Tapi rupanya hal itu harus berakhir. Valias tidak ikut pulang bersama mereka dan justru pergi ke tempat lain bersama Alister dengan kereta yang berbeda.

Dina sempat bersemangat ketika mendengar kakaknya sudah kembali. Sebelum dikecewakan ketika mengetahui kakaknya kembali pergi.

Tapi sekarang, setidaknya Valias sudah kembali ada di depannya.

Meskipun dengan kondisi yang membuat Dina khawatir. "Apakah, apakah kakak sakit?" tanya Dina cemas. Wajahnya memelas.

Valias yang mendapat pertanyaan itu menaikkan alisnya.

"Tidak? Kenapa kau berpikir begitu?"

Yang sebenarnya konyol karena semua orang tentu bisa melihat darah yang keluar dari hidungnya. Bagaimana orang akan menganggapnya baik-baik saja?

Dina memainkan kedua jemarinya. "Apakah kakak lelah? A, Aku dengar kakak baru saja kembali dari suatu tempat tadi pagi. Tapi, tapi kemudian aku meminta kakak untuk menemaniku ke kota. Apa, apakah kakak kelelahan? Apakah ini salahku? Apakah, apakah kakak sakit karena aku?" Dina memiliki wajah memelas mendongak ke arah Valias. Hal itu membuat Valias terperangah.

"Apa? Tidak. Tentu saja itu bukan salahmu. Kenapa kau berpikir begitu?" Valias memberi tahu. "Tidak perlu khawatir. Aku tidak apa-apa. Aku tidak lelah. Lagipula yang pertama mengajak untuk pergi ke kota adalah aku. Kau tidak salah apa-apa. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak-tidak, mengerti?" Valias menepuk bahu Dina. Tersadar dengan sesuatu tapi kemudian langsung bersyukur ketika menyadari tangan yang dia gunakan untuk menepuk Dina sudah bersih dari cairan merah merepotkan dari hidungnya.

Lihatlah aku membuat anak kecil khawatir.

Valias menghela nafas tanpa suara.

Dina menundukkan kepalanya murung. Tapi perlahan mengangkat wajahnya lagi. "Danial bilang kakak dari suatu tempat tadi pagi. Apakah aku boleh tau apa yang habis kakak lakukan? Di mana kakak tidur?" tanya Dina penasaran.

"Uh, aku," Valias merasa bingung bagaimana dia harus menjawab pertanyaan Dina. Haruskah dia menjawab bahwa dia habis membebaskan anak-anak seumuran Dina yang dikurung di bawah tanah dan diperjualbelikan sebagai budak?

Valias rasa itu bukanlah hal yang tepat.

"Aku menemui seseorang."

"Siapa?"

Pertanyaan Dina membuat Valias kebingungan. "Putra Mahkota."

"Putra Mahkota?? Lalu, kakak menginap di istana??"

"Ya," Valias mengangguk. Dina memandang Valias kagum. Kemurungannya hilang seketika dan digantikan oleh rasa ingin tau yang besar. "Apakah kakak dekat dengan keluarga kerajaan?"

Valias terdiam.

Apakah kami dekat? Aku rasa tidak.

Valias hanya membantu Frey untuk membangun ulang Hayden dan mengumpulkan kekuatan untuk pertarungan nanti.

Valias hanyalah pembantu maka mereka tidak dekat.

"Tidak. Aku hanya bekerja untuk Yang Mulia Frey."

"Kakak bekerja untuk Putra Mahkota??"

Dina memandangi Valias kagum. Meski dia belum tau banyak hal tapi dia tau bekerja untuk keluarga kerajaan—putra mahkota, apalagi—berarti kakaknya adalah orang yang hebat dan sangat dikagumi.

Dina merasa Valias sangatlah hebat dan mengagumkan.

Hal itu membuat kepenasaranan Dina menjadi semakin menjadi-jadi. "Apa yang kakak lakukan bersama putra mahkota?"

"I, Itu,"

Valias kebingungan bagaimana dia harus menjawabnya.

Tapi sebelum Valias kebingungan lebih jauh Dina menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Ah, aku tidak seharusnya banyak bertanya! Ayah selalu bilang bahwa pekerjaan bukanlah hal yang bisa dibicarakan sembarangan. A, Aku tidak akan bertanya lagi." Dina menggeleng. "Aku, kagum pada kakak. Kakak adalah orang yang hebat!" dia tersenyum cerah.

"Ah.." Valias merasa canggung.

Nyatanya dia tidaklah sehebat yang Dina pikir.

Tapi lalu apakah dia harus menjelaskan yang sebenarnya? Valias rasa itu tidak perlu.

Dina tidak perlu tau.

"Hm."

Valias menurunkan dagunya ketika merasakan cairan dari hidungnya tidak kunjung berhenti.

Tidak banyak. Tapi juga tidak berhenti.

"Dina, aku rasa aku harus duduk."

Valias harap dengan dirinya duduk tubuhnya akan menjadi lebih rileks dan membuat darah di hidungnya berhenti mengalir.

"Ah! Kakak harus duduk!" Dina menarik tangan Valias dan membawanya ke arah tempat tidur.

"Kakak duduklah!" serunya. Valias yang memang berencana untuk duduk pun mendudukkan dirinya di pinggiran kasur. Menyadari Dina yang diam berdiri memperhatikannya di depannya.

Valias memasang senyum kecil. Meskipun terhalangi oleh sapu tangan di bawah hidungnya. "Kau duduklah."

Mata Dina melebar. "Sungguh?"

"Ya," Valias mengangguk. "Alister akan segera kemari membawakan makanan. Kita bisa memakannya bersama." Dia menepuk pinggir kasur di sampingnya. Memberi tahu Dina untuk duduk bersamanya.

Dina melihat itu langsung melepaskan sepatunya dan memanjat kasur dengan antusias.

Dia mendudukkan dirinya dan memposisikan dirinya di samping Valias.

Dina mendongakkan kepalanya ke samping. Melihat Valias yang tersenyum ke arahnya. Dina menundukkan kepalanya malu-malu.

"Um, dari mana kakak tadi?"

"Aku pergi ke wilayah tenggara tempat tinggal kita."

Dina mengangkat kepalanya ingin tau. "Tempat tinggal kita?"

Valias mengangguk. "Ya."

"Aku bertemu seorang anak seumuranmu." Dia kemudian berbicara.

"Sungguh??"

"Ya. Namanya Fee."

Valias menoleh ke arah Dina. Tersenyum memikirkan keduanya pasti akan menjadi teman yang baik.

"Mungkin aku akan mengenalkanmu padanya suatu saat nanti."

"Se, seperti apa dia?"

"Hm. Bagaimana kalau kau melihatnya sendiri?"

Dina mulai antusias.

"Baiklah! Aku akan menemuinya!"

Tapi tiba-tiba murung kemudian. "Apa, apakah kakak akan menemaniku?"

Valias menaikkan alisnya bingung. Tapi kemudian menyadari sesuatu. Memasang senyum.

"Tentu saja."

Dina tersenyum lebar.

Tok tok

Kedua orang yang duduk di pinggir kasur sama-sama menolehkan kepala mereka. Melihat Alister yang masih memiliki pose mengetuk pintu dengan senyum di wajahnya.

"Makanan Anda, tuan muda." Alister mendorong meja roda ke arah mereka berdua.

"Kau sudah makan?" tanya Valias.

"Sudah." Dina mengangguk ceria.

"Tidak masalah, Tuan Muda. Saya membawakan cemilan untuk Nona Muda Dina." Alister membuka tutup makanan. Menunjukkan piring berisi kue krim dengan buah beri di atasnya.

"Ah!" Dina langsung mengambil piring dengan kue. Juga garpu dari meja yang dibawa Alister. Memasukkan sepotong kue ke dalam mulutnya.

"Enak!"

Valias terkekeh pada antusiasme Dina. Menyadari aliran darahnya yang sudah berhenti, dia menghela nafas lega tanpa suara.

"Saya lihat Anda berdarah lagi, tuan muda." Suara Alister terdengar. Tanpa Valias mengangkat wajahnya pun dia sudah bisa membayangkan wajah tersenyum Alister.

"Hm." Valias harap mimisannya kali ini akan menjadi yang terakhir. Dia merasa lelah.

Mengetahui darahnya sudah berhenti, entah kenapa itu justru membuat Valias merasakan kelelahan yang teramat sangat.

Dia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya dan dia mulai merasa kantuk menyelimuti dirinya. Membuatnya tertidur saat itu juga.

04/06/2022

Measly033