webnovel

Chapter 35 - Berjalan Di Udara (1)

Anak-anak yang belum pernah melihat cahaya seterang itu sebelumnya menutup mata mereka rapat-rapat.

Ketika mereka membuka mata, mereka langsung dikejutkan dengan pemandangan di depan mata mereka.

Bangunan besar berwarna putih, hamparan rumput luas dan tanaman berbunga. Mereka tidak bisa melepaskan pandangan mereka dari besarnya bangunan yang terlihat.

"Beritahu yang mulia Frey bahwa kami sudah kembali."

Mereka mendengar seseorang berbicara. Orang itu adalah seorang kakak dengan rambut merah bagai langit sore yang sudah lama tidak lagi mereka lihat sejak mereka dibawa masuk ke dalam ruang bawah tanah. Orang-orang yang membawa mereka keluar tadi mengatakan bahwa raja Hayden yang menyelamatkan mereka. Tapi di mata anak-anak itu, kakak berambut merah itulah yang sudah bicara dengan pria yang mereka tahu sebagai penyebab mereka disekap di dalam ruang bawah tanah yang gelap dan lembab.

Pria itu terlihat begitu takut dengan orang yang terlihat mematuhi perintah dari kakak berambut merah. Mereka senang melihat wajah takut pria itu. Bagi mereka, yang sudah menolong mereka adalah si kakak berambut merah yang memberi perintah pada orang-orang di sana untuk membawa mereka ke tempat mereka tengah berada sekarang.

Fee, salah satu anak yang akhirnya keluar dari ruangan gelap dan lembab setelah sekian lama, menetapkan pandangannya pada laki-laki berambut merah dengan kulit yang lebih pucat dari kulitnya. "K- Kakak rambut merah!"

Valias awalnya tidak menyadari panggilan itu tertuju padanya sebelum akhirnya teringat bahwa saat ini dia bukan berada di tubuh miliknya sendiri.

Dia berbalik dan melihat bagaimana kumpulan anak-anak itu memandang dirinya dengan berbagai macam ekspresi. Namun ada satu anak perempuan berambut pendek berwarna cokelat yang terlihat bahwa dirinya baru saja mengucapkan sesuatu.

"Kau memanggilku?" Valias bisa melihat anak itu bergidik, tapi berusaha memberanikan dirinya.

Merasa Frey tidak akan muncul dalam waktu singkat, Valias membawa satu lututnya ke tanah. Berlutut di depan anak-anak itu.

"Tuan muda, kenapa Anda berlutut?!" seru Vetra. Javas memiliki ekspresi serupa. Begitupun dengan beberapa ksatria yang terlihat di visi Valias.

Kenapa? Aku tidak boleh berlutut?

Valias mengerutkan kening. Memilih untuk tidak peduli.

"Siapa namamu?" tanya Valias pada anak berambut cokelat tadi.

"F- Fee."

"Fee?"

Anak itu mengangguk. "Kakak, kakak yang datang membawaku dan teman-temanku dari tempat gelap itu. Apa kakak seorang dewa?"

"...Dewa?"

"Orang itu. Orang yang selalu mengajak kami bicara memberitahuku kalau ada seseorang yang datang menyelamatkan kami, maka orang itu adalah dewa."

Valias merasa orang yang dimaksud anak itu konyol. Maksudnya dia ingin bilang kalau mereka tidak akan pernah keluar dari sana?

Vetra yang mendengar itu merasa ingin menemui orang itu dan memukul belakang kepalanya dengan tongkat sihir miliknya.

"Aku bukan dewa. Dan aku tidak percaya pada dewa di sini."

Dia tidak mengucapkan kalimat yang terakhir. "Namaku Valias. Fee, kau anak yang berani. Aku harap kau bisa menjadi pemberi semangat untuk teman-temanmu, mengerti?"

"Yang mulia!"

Ketika Valias mengangkat wajahnya, dia bisa melihat Frey datang dengan Wistar dan Putri Azna. Dia langsung berdiri menghampiri ketiga orang itu tanpa menyadari pandangan anak-anak ke arahnya.

"Valias! Kau berhasil!" Wistar dengan penuh semangat mengambil langkah lebar menerjang dan memeluk Valias yang lebih pendek darinya.

"Tuan muda Valias. Anda melakukan hal yang baik menyelamatkan anak-anak malang ini." Azna memasang senyum pilu. Dia begitu sedih setelah mendengar dari Wistar dengan keberadaan anak-anak yang dijadikan budak dan diperjualbelikan. Apakah orang-orang itu sudah gila?

Azna yang tidak pernah bicara kasar karena latihannya sebagai seorang putri tidak bisa menahan amarahnya setelah mendengar informasi itu.

"Kau benar, Azna. Adik baru kita ini memang merupakan bangsawan yang hebat." Frey memberikan senyum hangat. Yang justru membuat Valias merasa tidak nyaman karena dia tahu laki-laki bermata emas itu hanya berpura-pura di depan orang banyak dan adik perempuannya.

"Valias! Mereka benar-benar anak-anak dari Hayden? Di mana orang jahatnya? Kau membawanya? Aku akan menghajarnya!" Wistar melepaskan pelukan dan membuat pose meninju dengan kedua tangannya.

"Tidak, yang mulia. Aku membiarkan orang itu diam di sana."

Frey mengerutkan kening. Tapi kemudian dia berpikir kalau Valias pasti punya alasan dan menghentikan niatnya untuk bertanya. Wistar juga tidak menanyakan apapun dan hanya merengek karena tahu dirinya tidak bisa menghajar orang itu dalam waktu dekat.

Kei, di sisi lain, merasakan tatapan kagum dari beberapa anak laki-laki dari tempat itu tapi pura-pura tidak menyadarinya. Dia bukan orang yang suka berurusan dengan anak kecil. Dirinya sudah memutuskan untuk mengabaikan apapun yang anak-anak itu ucapkan padanya.

"Yang mulia, anak-anak ini,"

"Iya. Aku sudah menyiapkan tempatnya." Frey mengangguk bagai seorang raja bijaksana.

Anak-anak itu dibawa ke salah satu bangunan di sisi area luas istana Hayden. Beberapa ksatria dan para mage tampak tidak rela meninggalkan anak-anak malang itu jadi mereka mengikuti bagaimana anak-anak itu dibimbing menuju tempat tersebut oleh para pelayan istana. Valias dan Kei diam di sana menonton bagaimana anak-anak itu dibawa pergi. Bahkan Vetra dan Javas pun tampaknya masih ingin mengajak berbicara anak-anak itu di sana.

"Jadi? Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, adikku?" Frey kembali ke sikap biasanya begitu semua orang pergi.

"Tidak ada." Valias benar-benar terpikirkan untuk kembali ke rumah Valias dan kembali membaca jurnal-jurnal di ruangannya.

"Begitukah? Lalu.. Kei.." Frey memaksakan dirinya untuk bicara pada orang itu. "Apa kau akan pulang atau tinggal disini? Teman-temanmu juga bisa tinggal, kau tau?"

Kei diam memandang Frey dengan wajah tanpa ekspresinya."Mereka yang akan memutuskan."

Frey merasa hatinya lega begitu dia sudah mendapat jawaban dari saudaranya itu. Valias pun tidak menyembunyikan senyumnya. Dengan begini seharusnya Kei dan Frey bisa menjadi lebih dekat.

Sedangkan Wistar, tanpa disadari siapapun, menyadari bagaimana Frey memanggil orang itu Kei.

Jadi dia kakakku?

Wistar menetapkan matanya pada laki-laki berpakaian hitam itu.

"Kei. Kau bisa mengambil kembali pakaianmu jika mau. Terimakasih sudah mengikuti permintaanku." Valias berujar. Melihat bagaimana orang yang dia ajak bicara terlihat begitu tidak nyaman dengan pakaian mewah yang dia kenakan.

"Benar. Kei, kalau kau ingin kembali aku akan memanggil mage untuk membawamu. Kau tidak perlu memberikan koordinat tepatnya. Dia akan membawamu ke lokasi terdekat."

Kei tampak bermuka masam tapi tidak terlihat akan menolak. Dengan itu mereka berempat bersama Azna masuk ke istana. Kei ke ruangannya, melepas semua pakaian yang diberikan Kalim tadi pagi dan memakai kembali pakaian miliknya. Kemudian Kalim, pelayan tadi pagi yang memberikan pakaian barusan kembali mengunjunginya dan membawanya ke ruangan Frey dimana di sana ada Valias yang sudah siap kembali ke rumahnya dan anak berambut perak seperti Frey—namun lebih pendek dan—lebih muda yang sejak tadi sudah Kei rasakan tatapannya.

Kei mengetahui bocah itu sebagai adik Frey, dan tidak menatapnya balik.

Vetra muncul dari pintu yang terbuka.

"Nona Vetra, maaf mengganggu waktumu bersama anak-anak itu." ucap Valias.

"Tidak masalah, tuan muda. Mereka menanyakan tentang Anda." Vetra memberi senyum hangat.

"Tentangku?"

"Benar! Bagi mereka tuan muda Valias adalah orang yang menyelamatkan mereka."

"Ha.. tampaknya kau disukai oleh semua orang, adikku." Frey menghela nafas. Tidak peduli dengan keberadaan Vetra di ruangannya.

Valias ingin kabar tentang pergerakan Frey menyebar ke seluruh wilayah Hayden. Memberi peringatan pada para bangsawan bahwa mulai sekarang putra mahkota Hayden tidak akan menutup mata terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang mereka lakukan. Valias juga ingin anak-anak itu mengetahui bahwa Frey lah yang mengirim ksatria dan mage untuk menyelamatkan mereka. Tapi mereka justru menganggap Valias sebagai yang menyelamatkan mereka?

Valias berpikir untuk meluruskan kesalahpahaman itu suatu saat nanti.

Vetra menggunakan sihirnya. Valias dipindahkan ke kediaman Bardev, sedangkan Kei bersama Vetra akan pergi ke gerbang, sebelum kemudian Vetra membawa Kei dan kuda dari Bardev ke dekat wilayah Adelard.

Valias sekali lagi berpijak di depan gerbang mansion dan disapa oleh dua penjaga kemarin.

"Tuan muda! Anda kembali!"

"Kami sangat cemas karena Anda tidak kembali setelah pergi bersama orang kemarin." Sang penjaga memelas.

"Tuan muda, apa itu pakaian dari istana?"

"Benar! Ada lambang keluarga kerajaan Nardeen! Pakaian tuan muda juga berbeda dari yang kemarin!"

Valias mendengarkan ocehan kedua orang itu.

"Aku menginap di istana tadi malam. Keluargaku ada di dalam?"

"Benar, tuan muda. Silahkan masuk. Apa kami perlu memanggil pelayan anda? Atau mengabari tuan Count?"

"Tidak perlu. Ah. Apa Danial sedang latihan?"

Hari masih pagi. Urusannya di Arlern lebih cepat dari yang dia kira.

"Iya, tuan muda."

"Bisa bawa aku ke sana?"

"Tentu, tuan muda!" Kedua penjaga gerbang itu terlihat seperti orang dengan kepribadian ekstrovert. Valias menikmati semangat mereka.

Penjaga yang berdiri di sisi kiri membawa Valias ke sisi samping area mansion Bardev. Valias menerima bungkukkan hormat dari para ksatria dan pelayan di sepanjang jalan.

"Silahkan, tuan muda. Saya akan kembali."

"Terimakasih." Penjaga itu membungkuk lalu pergi. Valias bisa melihat lapangan luas dengan beberapa boneka karung beras, juga kumpulan laki-laki dengan pakaian yang lebih santai. Dan akhirnya, Valias bisa melihat Danial yang memegang sebuah pedang sungguhan dengan kedua tangannya.

"Ah, tuan muda. Apa yang membawa Anda kemari?" Rudiv menaruh botol alkoholnya dan menghampiri Valias begitu melihat remaja berambut merah itu.

"Aku ingin melihat Danial."

"Tuan muda Danial?" Valias belum pernah menginjakkan kakinya di sini. Dan setahu Rudiv Valias tidak pernah berinteraksi dengan keluarganya. Bagaimana Valias yang bicara dengan Hadden di istana dan Danial di hari lalu cukup menjadi hal yang tidak disangkanya.

Rudiv segera menyadarkan diri dari lamunannya. "A- Ah, saya akan mengantar Anda ke sana. Tuan muda hati-hatilah. Banyak orang memegang senjata disini."

Valias si tuan muda berumur 18 tahun yang baru mulai tinggal di mansion satu tahun lalu terlihat begitu ringkih dan sakit di mata Rudiv. Dia tidak mau remaja berambut merah itu terluka.

"Kalian. Minggir dulu. Tuan muda Valias ingin lewat."

"Tuan muda?" Orang-orang yang sedang bertarung bersenang-senang dengan teman mereka menyadari keberadaan Valias dan langsung berhenti mengayunkan pedang mereka.

"Komandan. Tidak perlu repot-repot. Aku tidak mau mengganggu latihan orang-orang ini." ujar Valias.

"Tidak masalah, tuan muda. Saya akan menyuruh mereka untuk kembali berlatih nanti." seringai Rudiv.

Danial, yang sedang berduel dengan instrukturnya ikut menyadari keberadaan kakaknya.

"Kaka-"

"Kakak!"

Sebelum Danial selesai bergumam suara lain berseru lebih dulu.

"Saya akan kembali, tuan muda. Tolong nikmati waktu Anda bersama saudara anda."

Valias mengangguk. "Terimakasih."

Dia membawa pandangannya ke depan. Danial masih memiliki pose bertarungnya. Dina memiliki senyum lebar berdiri di luar koridor dengan pelayannya Lika.

"Anda instruktor Danial?"

"Benar, tuan muda. Nama saya Kafin." Pria yang memegang pedang di tangannya membawa satu tangannya ke depan dada dan membungkuk sedikit pada Valias.

"Kakak?"

Valias menolehkan kepalanya pada Danial yang sekarang sudah berdiri tegak ke arahnya.

"Apa aku mengganggumu?"

"Ya? Ah, tidak."

"Tidak, tuan muda. Danial pasti senang kakaknya datang mengunjunginya." Kafin memberi senyum ramah.

Valias memberikan anggukan. "Apa ayah di ruangan kerjanya?"

"Iya. Ayah agak sibuk sejak kemarin. Ibu sedang mengunjungi museumnya."

Valias menaikkan alisnya. "Ibu punya museum?"

"Iya. Ibu suka seni. Jadi.."

"Oh.."

Sebuah kebetulan bagi Valias.

"Aku baru kembali dari istana. Sepertinya aku akan menonton latihanmu sebentar." ucap Valias.

Danial terkesiap. "Kakak mau menonton?"

Valias mengangguk. "Iya. Jangan pedulikan aku. Aku akan diam di sana bersama Dina."

"O- Oh." Danial memandangi punggung Valias yang berjalan ke arah Dina.

"Danial? Bisa kita mulai lagi? Kau sudah hebat. Walaupun aku tentu berharap kau tidak akan pernah perlu menggunakan pedangmu, tapi jika suatu hari kau diharuskan bertarung, aku yakin kau bisa." Kafin memberikan pendapatnya.

"Ah.."

Danial merasa cukup puas dengan ucapan instruktor yang sudah mengajarnya sejak lima tahun lalu itu. Gurunya benar. Danial sudah hidup selama 15 tahun dan tidak sekalipun dirinya memegang pedang kecuali ketika sedang berdeuel dengan instruktornya. Hayden juga dalam keadaan damai selama berabad-abad. Setiap ada masalah yang membutuhkan senjata pun, para ksatria lah yang akan mengayunkan pedang dan tombak mereka. Danial berharap kehidupannya akan terus berjalan seperti itu.

Tapi jika suatu saat nanti dirinya harus melindungi kerajaan dan keluarganya, maka Danial sudah meyakinkan diri untuk mengeluarkan ilmu bertarungnya.

Valias menonton pertarungan antara Danial dan pria yang bernama Kafin dengan Dina di sampingnya.

Ini pertama kalinya Valias melihat orang menabrakkan dua pedang mereka. Berbagi serangan, membuat gerakan menghindar, Valias masih tidak percaya kalau pemandangan di depannya nyata. Dia membayangkan pemandangan seperti apa yang akan dia lihat di masa depan. Melihat langsung dengan sekedar membaca tulisan benar-benar merupakan dua hal yang berbeda.

"Kakak? Apa ada masalah?"

Dina menyadari Valias yang memandang pertarungan kakak dan instruktor kakaknya dengan pandangan kosong.

Valias juga menyadari pertanyaan Dina padanya.

"Tidak."

Valias akan melakukan apa yang dia bisa untuk mencegah pemandangan yang kini hanya ada di dalam benaknya. Valias tiba-tiba memiliki ide. "Dina. Kau sudah sarapan?"

"Sudah. Kakak?"

Valias mengingat dirinya yang belum makan karena dia langsung pergi ke wilayah Arlern segera setelah dia bangun dan membersihkan diri sebentar. Tiba-tiba dia memiliki keinginan untuk memasak. Valias sudah biasa masak dan memakan hasil masakannya sendiri. Dia ingin membuat sesuatu untuk dirinya sendiri hari ini.

"Hm.. Lika, bisa bawa aku ke dapur?"

"Dapur?" Lika berwajah bingung.

Valias ingat bagaimana Dina bilang kalau Lika lah yang menyiapkan sup waktu itu untuknya dan Dina. Lika pasti tahu letak dapur. "Iya. Ada sesuatu yang mau aku buat."

"Tapi.. jika ada yang tuan muda Valias mau, tuan muda bisa meminta juru masak untuk membuatnya." Lika mengusulkan.

"Tidak. Kali ini aku ingin membuatnya sendiri." Mungkin Valias yang asli tidak pernah menginjakkan kakinya di dapur. Dan orang-orang akan menganggapnya aneh jika tuan muda mereka tiba-tiba membuat makanan sendiri. Tapi Valias bukanlah Valias yang asli. Dia cukup senang memasak.

"Kakak akan membuat makanan?"

Dina yang sudah biasa memiliki segalanya disiapkan oleh Lika dan pelayan lain, tidak pernah melihat pelayan-pelayan itu membuatkan makanan untuknya. Dia ingin lihat.

"Aku ikut!"

Valias memberi anggukan. Dia mengembalikan pandangannya pada Danial. Anak itu masih begitu sibuk berduel dengan gurunya. Valias tidak ingin mengganggu tapi juga tidak ingin pergi tanpa bilang-bilang.

Setelah meyakinkan dirinya akhirnya dia memutuskan untuk memanggil anak itu. Danial berada tidak jauh di dekatnya jadi pasti dia bisa mendengar suara Valias meskipun area itu penuh dengan bising senjata bertabrakan dan seruan semangat ksatria yang saling bertarung disana. "Danial."

Dugaan Valias benar. Danial langsung menoleh padanya. Kafin juga berhenti menyerang muridnya.

"Ya?"

Valias agak menyesal. Tapi dia sudah terlebih dahulu mengganggu anak itu jadi lebih baik dia sekalian menyatakan maksudnya.

"Aku dan Dina akan kedalam. Kau lanjutkan latihanmu, oke?"

Danial mendengarkan perkataan kakaknya.

.....Kakak sudah akan pergi?

Danial tidak mengerti kenapa tapi jauh di dalam hatinya dia merasa kecewa.

Sedangkan Kafin, sebagai orang yang sudah hidup selama 35 tahun, dan sudah menjadi guru remaja di depannya selama 5 tahun, menyadari perasaan anak itu. Kafin tersenyum merasa Danial konyol.

"Danial. Aku lelah. Kau pergilah bersama kakak dan adikmu."

"Eh? Kenapa?" Danial belum lelah, maka seharusnya gurunya itu juga tidak. Kenapa tiba-tiba ingin berhenti? Mereka memutuskan untuk berduel lebih lama karena Mallory sibuk membantu Hadden. Tapi Kafin malah bilang kalau dirinya lelah tiba-tiba.

Anak ini.

Kafin ingin memukul belakang kepala tuan muda muridnya itu tapi memutuskan untuk meninggalkan Danial begitu saja. Danial mengamati bagaimana gurunya pergi meninggalkannya yang masih memegang pedang menuju ksatria Bardev yang lain.

"Kakak. Kakak akan membuat sesuatu. Mau ikut?"

Danial disadarkan oleh panggilan Dina dan membalikkan tubuhnya ke arah dimana kakak dan adiknya berada.

Membuat sesuatu?

Danial tidak mengerti tapi memutuskan untuk meletakkan pedangnya ke rak senjata dan menghampiri kedua saudaranya.

"Membuat apa?" Danial mengarahkan matanya pada Valias sebelum menunduk pada Dina.

"Kakak akan memasak?" Dina bertanya pada Valias.

"Memasak? Kakak akan membuat makanan?"

"Ya.." Valias merasa canggung dengan betapa aneh Danial memandangnya.

Danial penasaran dengan apa yang akan kakaknya yang tidak pernah menginjakkan kakinya di dapur sepertinya buat. Merasa tidak ada hal lain yang akan dia lakukan, dia memutuskan untuk ikut.

"Aku ikut."

"Oke. Kita pergi sekarang. Lika. Ayo."

"Mengerti, nona."

Lika berjalan lebih dulu sedangkan ketiga saudara Bardev mengikutinya dari belakang.

Valias merasakan tangan Dina menggenggam tangannya. "Apa aku mengganggumu? Gurumu pergi?" tanya Valias.

Danial menyadari ketidaknyamanan kakaknya. "Tidak. Guru tiba-tiba merasa lelah. Lagipula kami memang sudah berlatih lebih lama dari biasanya."

"Begitukah?" Valias mengangguk-angguk.

Ketiga saudara itu tiba di dapur. Di sana seorang laki-laki yang terlihat seumuran dengan Valias sebagai Abimala berdiri seorang diri mengasah pisau dapur di tangannya.

04/06/2022

Measly033