webnovel

Chapter 30 - Lagi (3)

Shuttt.

Baik Dylan maupun Valias memiliki kedua mata yang terbuka lebar namun mulut yang tertutup rapat.

Keduanya secara bersamaan menengok ke belakang dan melihat sebuah panah menancap di sebuah batang pohon di belakang sana. Panah itu benar-benar melewati ruang di antara tubuh mereka.

"Kau lagi??"

Si anak laki-laki waktu itu. Dia berjongkok di atas sebuah dahan pohon tinggi dengan busur di tangan dan wadah tabung berisi panah tersampir di belakang punggungnya. Dia mengerutkan kening pada Valias yang tubuhnya disinari cahaya api di tangan Dylan.

"Sebenarnya siapa kau? Kenapa kau bisa ada di sini?"

Valias mengembalikan pengendalian dirinya dengan cepat. "Aku datang ke sini untuk bicara dengan kalian."

"Ha? Bicara apa? Kenapa kau begitu percaya diri untuk bicara dengan kami? Kau bukan siapa-siapa."

Valias mendongak menatap anak yang tidak terlihat jelas karena gelap malam itu. Wajah dan ekspresinya tidak terlihat, tapi Valias bisa mendengar suaranya dengan jelas. "Aku tau. Tapi aku ingin meminta bantuan kalian."

"Apa? Bukankah kau terlalu sok akrab dengan kami? Hanya karena bos menuruti maumu dan tidak membunuh orang itu bukan berarti dia akan mendengarkanmu."

"Aku tau. Tapi, aku tetap harus bicara dengannya."

Demi Frey, demi Dina dan keluarga Valias Bardev yang lain. Demi Hayden, demi semua orang, dan demi dirinya sendiri.

Tidak ada jawaban dari atas sana. Tapi kemudian ada suara grusuk, dan detik selanjutnya anak itu sudah melompat turun dan mendarat di depan Valias dan Dylan. Api di tangan Dylan membuat mereka bisa melihat rupa anak itu. Dia setinggi Valias. Dan lebih pendek dari Dylan.

"Siapa orang ini?" Dia mengernyit pada Dylan.

"Dia temanku. Aku ingin menemui kalian sendirian, tapi dia mengikutiku." jawab Valias.

"Kau? Menemui kami sendirian? Di tengah hutan? Dengan tubuhmu? Kau mau mati?"

"..."

...Kenapa semua orang bilang kalau aku mau mati?

Anak itu mendengkus. "Pastikan dia diam dan tidak mengganggu kami."

Valias mengangguk. "Dylan?"

Dylan menatapnya sebentar sebelum memalingkan wajah.

Semakin ke atas tanah semakin kering. Valias dan Dylan menyempatkan diri mereka untuk membersihkan sepatu mereka dengan dedaunan kering. Sedangkan si anak laki-laki teman Kei itu secara mengejutkan cukup sabar dan baik untuk menunggui mereka.

Mereka bertiga berjalan mendekati cahaya api hingga Valias dan Dylan bisa melihat kumpulan orang di sekitar api unggun dan samar-samar suara perbincangan mereka. Kumpulan orang itu menyadari kedatangan seseorang, langsung mengerutkan dahi ketika melihat siapa yang datang.

"Kau?!"

Beberapa dari mereka yang awalnya duduk langsung melonjak berdiri. Mereka semua memandang ketiga tamu mereka. Hanya satu yang tidak menunjukkan kepedulian sama sekali. Kei duduk bersandar pada pohon mengasah pedangnya.

Apakah pedang itu masih harus harus diasah?

Cerita itu menjelaskan bagaimana pedang milik Kei begitu tajam hingga seseorang bisa berdarah hanya dengan menyentuhnya dengan begitu ringan. Tapi Kei di depannya masih saja menajamkan pedangnya. Valias melihat itu tersenyum kecil.

"Oza! Kau yang membawa orang itu ke sini?"

Anak yang masih bersama Valias dan Dylan itu mengangkat bahu.

"Dia bilang dia ingin bicara. Aku penasaran apa yang ingin dia bicarakan."

"Oh? Dia? Bagaimana dia bisa menemukan kita?" Radja muncul dari balik pohon besar yang bisa menutupi tubuh besarnya. Dylan mengernyit melihat betapa tinggi besarnya orang yang baru menampakkan diri itu.

"Oza? Itu namamu?" Valias bersikap tidak tahu.

Oza menyeringai. "Benar. Tampaknya kita akan sering bertemu. Aku tidak peduli perbedaan umur. Aku akan memanggilmu Valias dan kau akan memanggilku Oza."

"Tentu, Oza. Dimana aku bisa bicara dengan teman-temanmu?" Valias memberi senyum kecil.

"Duduklah di sana. Kau terlihat seperti bisa pingsan kapan saja." Oza menunjuk bangkai pohon besar di dekat api unggun.

Valias mengerutkan dahi sedikit.

..Benarkah?

Valias memang cukup kelelahan setelah mendaki dataran tinggi selama tiga jam tanpa istirahat dan minum. Bajunya juga sudah cukup lembab oleh keringatnya sendiri bahkan dengan cuaca malam yang dingin. Tapi untuk pingsan, Valias tidak merasa dirinya selelah itu.

Dylan mengikuti langkah Valias ke bangkai pohon, melirik orang-orang yang ada di sekitarnya dengan wajah datar. Untuk pertama kalinya dia melihat sekawanan orang dengan senjata di dekat tubuh mereka. Dia sudah biasa meliat ksatria dengan senjata, tapi kali ini auranya sungguh berbeda. Dia berada di tengah orang-orang yang membunuh raja dan menyerang calon raja. Mereka juga sudah melukai orang berambut merah yang berjalan di depannya.

Dylan teringat kejadian di acara malam itu dan mulai bertanya-tanya apakah luka Valias sudah sembuh apa belum. Sudah dua minggu sejak luka itu ada. Dylan berpikir mungkin Valias sudah sembuh dan hanya tersisa bekasnya saja.

Valias mendudukkan diri di atas bangkai pohon. Sedangkan Dylan sudah dengan cuek membuang kayu bakar yang sedari tadi dia pegang ke api unggun di dekatnya, dan berdiri di sebelah Valias. Dia tidak ingin duduk di tengah orang-orang itu walaupun kakinya cukup lelah setelah berjalan lama. Dia bisa melihat bagaimana orang-orang itu mulai menghampiri dirinya dan Valias, berdiri di sekitar api unggun.

Orang yang bernama Oza dan pria bertubuh besar itu juga bergabung di antara mereka. Tapi Dylan melihat satu orang bersandar pada pohon tanpa melirik dirinya dan Valias sama sekali. Dylan penasaran sebelum memutuskan untuk melupakan rasa penasarannya dan memfokuskan dirinya pada orang-orang di depannya.

"Maaf mengganggu kalian. Ada yang ingin kubicarakan."

"Pertama, bagaimana kau menemukan kami?" Oza memimpin percakapan.

"Aku tidak bisa memberitahu kalian."

"Tidak bisa? Lalu kau berpikir kami akan percaya padamu?"

"Aku tidak punya kemampuan untuk melukai kalian sama sekali." Valias memberikan jawabannya. Dia memandangi kumpulan orang di depannya. Tidak protes. Menandakan bahwa mereka setuju dengan ucapan Valias. Valias tidak punya kemampuan untuk melukai mereka.

Sebagai gantinya mereka menunggu pengakuan Valias akan tujuannya mendatangi mereka.

Dan Valias memberikan pengakuannya. "Aku butuh bantuan kalian."

"Ho. Bantuan apa?" Si pria besar bicara.

Valias memandang orang-orang di depannya.

"Aku butuh kemampuan kalian untuk menjadi mata-mata wilayah Hayden."

Orang-orang itu mengerutkan dahi mereka terhadap ucapan Valias.

"Mata-mata? Untuk apa?"

"Apa untungnya bagi kami?"

Valias memutuskan untuk bicara terus terang.

"Hayden akan mengalami perang. Aku sudah memberitahu kalian kemarin. Hayden kekurangan individu yang bisa diandalkan. Para bangsawan wilayah banyak melakukan penyelewangan, dan kalian tahu itu. Yang Mulia Frey akan mengurus mereka, tapi dia akan membutuhkan bukti.

"Dia membutuhkan orang untuk mengumpulkan bukti-bukti itu, tapi kami tidak memiliki orang yang bisa kami andalkan. Maka dari itu aku menemui kalian malam ini. Untuk meminta bantuan kalian."

"Frey Nardeen menyuruhmu?"

Valias menggeleng. "Aku datang atas kebutuhanku sendiri. Aku meminta uluran tangan kalian di sini."

Keheningan mengisi kumpulan orang-orang itu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga, orang yang sejak tadi diam tanpa melirik, akhirnya berdiri dan menghampiri Valias. Kawanannya menyadari kedatangannya dan menyingkir memberi jalan.

Kei menatap Valias tepat di mata dan Valias melakukan hal yang sama.

"Perang itu. Apakah Hayden akan kalah?"

"Benar."

"Maka bagus. Tidak ada gunanya bagiku membantumu."

Valias membiarkan mulutnya tertutup rapat sebelum memutuskan untuk mengatakan sesuatu.

"Adikmu mencintai Hayden, dan orang-orangnya. Kau akan membiarkan Hayden hancur?"

Bilah pedang yang sangat tajam itu terayun ke leher Valias. Dylan, dan teman-teman Kei langsung membuka lebar mata mereka.

Kei menatap mata Valias dengan wajah marah. "Kau.."

Kei menggeram. Darah sudah mengalir dari leher Valias yang tergores. Valias bisa merasakan cairan hangat mengalir dari tempat yang tersentuh bilah pedang itu. "Kei. Kau benar-benar ingin Hayden hancur?"

Kei tidak menjawab. Matanya masih memandang Valias marah.

"Perang itu.. Bahkan kau tidak bisa mencegahnya sendirian. Teman-temanmu, Hayden, kau akan benar-benar sendirian nanti."

Teman-teman Kei menyadari ucapan Valias. Mereka tidak bisa percaya dengan dugaan mereka sendiri. Tapi dugaan itu tetap ada di benak mereka.

Kei pun, masih mendengarkan semua ucapan Valias dan sadar arti di balik kata-kata itu.

"Kenapa kau bisa begitu yakin?"

Valias diam tidak menjawab.

Karena aku sudah membacanya.

Cerita dengan Kei sebagai tokoh utama itu, menceritakan bagaimana Kei melalui berbagai konflik, hingga semua teman-temannya saat ini mati, dan Hayden kalah dalam perang. Di epilog itu, seharusnya akan terbongkar bagaimana Kei mengakhiri hidupnya sendiri.

Sekarang semua orang masih hidup. Belum ada siapapun yang mati selain Chalis.

Dan Valias akan melakukan segala yang dia bisa agar semua orang tetap hidup.

"Itulah yang aku baca."

Orang-orang mengerutkan kening. Kei masih belum merubah ekspresinya.

"Baca?" Dia mengulang rendah. Valias tidak bisa menggerakan lehernya sedikitpun jadi dia hanya diam menatap balik Kei di depannya. Selama dia berbicara dia merasakan bilah pedang itu bergeser menjauhinya sedikit. Tapi bergerak, dan leher Valias akan teriris.

"Kei. Kau. Dan temanmu. Apakah kalian bisa membantuku?"

Dylan masih menonton pemandangan tepat di depannya dengan mata terbuka. Dia melihat bagaimana Valias bicara dengan orang bernama Kei itu dengan leher yang berdarah dan masih menempel dengan bilah pedang.

Dylan, mulai melirik orang-orang yang merupakan kelompok Kei yang juga menyimak interaksi antara bos mereka dengan remaja berambut merah. Mereka menunggu respon bos mereka. Sedangkan Kei masih diam tidak mengeluarkan suara.

"....Aku akan mendengar permintaanmu. Kau tanya pada teman-temanku apa mereka mau berurusan denganmu atau tidak." Kei akhirnya bicara. "Dan. Aku akan bicara denganmu. Hanya kau dan aku."

Dengan itu Kei menyingkirkan pedangnya dan berbalik pergi memasuki hutan.

Valias menghela nafasnya.

Dylan memandangi Valias yang masih memiliki darah di lehernya.

"Ck. Sebenarnya kau ini siapa?" Oza menghampiri Valias. Mengeluarkan perban dari kantong di pinggangnya dan membersihkan darah dari leher Valias sebelum membalutnya dengan perban tadi.

"Apakah kau berdarah setiap hari?" Oza berujar sarkas. Valias heran kenapa Oza berpikir seperti itu.

"Kami akan mendengarkan permohonanmu. Kei sudah menyerahkan keputusan pada kami. Kau ingin kami melakukan apa?"

Radja menyeringai.

Dari awal dia sudah penasaran hal apa yang akan Valias pinta. Mata-mata? Dia ingin Radja dan teman-temannya menjadi mata-mata untuk calon raja?

Valias memberi senyum. "Kemarin malam, bagaimana cara kalian ke istana?"

"Kau meminta bantuan kami, lalu sekarang menginterogasi kami?" Oza menyeringai. Valias tersenyum lagi.

"Kami punya mage terkuat di Hayden. Mage-mage di istana tidak ada apa-apanya dibanding Zia kami."

Radja meletakkan tangan lebarnya pada kepala seorang anak dan menurunkan tudung kepala anak itu. Sebuah wajah anak laki-laki menampakkan diri.

"Iya kan?" Radja mengacak-acak rambut cokelat gelap Zia. Zia tidak berkutik sama sekali dan diam memandang Valias dari seberang api unggun dengan wajah datarnya.

"Kau mau kami menjadi mata-mata? Bangsawan mana yang harus kita mata-matai?" Oza memasukkan perbannya kembali ke dalam kantung.

"Kita mulai dari Baran."

Bangsawan di Tenggara.

Antek dari Viscount Marma Vasant.

Valias akan meminta teman-teman Kei untuk menyingkirkan antek-antek Marma. Membuatnya kehilangan pondasi. Sebelum memberinya pukulan terakhir.

04/06/2022

Measly033