webnovel

Chapter 28 - Lagi (1)

"Kakak! Kakak tidak tahu apa yang baru saja kami saksikan bersama Valias!"

Wistar meminta Vetra untuk membawa mereka langsung keruangan Frey dan Wistar langsung berseru.

Frey mengendalikan dirinya sebagai putra mahkota karena Vetra masih ada di sana. Merutuki sikap Wistar di dalam hatinya.

"Iya, adikku. Nona Vetra. Terimakasih sudah membantu tuan muda Valias. Kau bisa kembali."

"Y, Yang mulia.."

Vetra teringat pada hal apa saja yang sudah terjadi tadi. Ada berbagai hal yang ingin dia tanyakan pada Frey sang putra mahkota dan calon raja di depannya.

Perang? Apakah Hayden benar-benar akan mengalami perang?

Terutama pada tuan muda berambut merah itu. Berdasarkan simakan Vetra, sepertinya tuan muda bernama Valias itulah yang menjadi inti info mengejutkan ini.

Pesan dewa? Apakah itu mungkin?

Hal seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Hari ini, begitu mengejutkan bagi Vetra.

Vetra berpikir, apakah dia dan teman-temannya harus bersiap untuk perang? Mereka adalah mage kerajaan Hayden. Mereka hidup di bawah atap mewah istana dan melayani keluarga kerajaan. Apakah itu artinya mereka akan menjadi senjata Hayden dalam perang? Tuan muda Valias bahkan meminta bantuan elf. Makhluk yang Vetra tidak pernah sangka akan keberadaannya secara nyata.

Benak Vetra begitu penuh sampai dia tidak tahu darimana dia harus bertanya. Tapi di satu sisi, dia sadar dengan posisinya. Dia hanyalah imigran kabur dan tinggal di istana atas ijin Raja sebelumnya. Dia tidak punya tempat untuk mendapatkan jawaban.

"Ya, nona Vetra?"

"...Tidak, yang mulia. Saya akan kembali. Saya permisi."

Vetra memutuskan untuk mengubur rasa ingin tahunya dan membiarkan otaknya membuat asumsi sendiri. Jika suatu saat dia memutuskan untuk bertanya pada putra mahkota Frey maka dia akan melakukannya nanti. Yang terpenting sekarang adalah menyemangati dirinya sendiri dan teman-temannya untuk berlatih lebih banyak hingga mereka bisa menjadi senjata perang.

Keempat orang di dalam ruangan menyaksikan Vetra keluar ruangan dan Frey akhirnya menghela nafas lelah.

"Jangan katakan apapun dulu. Biarkan aku duduk. Aku tahu semua hal yang berkaitan dengan Valias akan membuatku merasa seperti punya serangan jantung. Dylan. Kau juga duduklah. Kau pasti lelah setelah bersama Wistar untuk waktu yang lama."

"Kakak!" Wistar merasa dikhianati. Dylan hanya mengangguk dan duduk di sebelah Valias. Sedangkan Frey dan Wistar duduk di seberang mereka.

"Baiklah. Wistar, tutup mulutmu. Valias. Kau juga. Biarkan aku mendengarkan Dylan saja. Dylan. Ceritakan padaku apa yang kalian lakukan tadi."

"Hm, Yang mulia. Valias membawa kami ke perbatasan tempat nona Vetra ditemukan." Dylan bergumam sebelum menjelaskan.

Frey menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa kau bisa tau ada elf di sana? Dan, ha.. bagaimana bisa kau begitu yakin kalau mereka ada." Frey berujar lelah.

"Kakak. Valias pasti mendapat pesan dari dewa lagi."

Valias merasa terganggu setiap kali topik itu disebut.

"Dewa juga memberitahumu kalau elf tinggal di perbatasan?"

Apakah ini kebetulan? Frey baru saja memberi tahu Valias kalau ksatria istana menemukan Vetra di sana, lalu Valias langsung memutuskan untuk ke sana dan benar-benar langsung menemukan tempat tinggal elf.

Valias hendak membuka mulut tapi suara Wistar memotongnya.

"Kakak. Kakak tidak tahu apa yang aku dan Dylan lihat. Valias menulis banyak hal di kertas dengan bahasa yang dia buat sendiri. Di kamarnya juga ada banyak buku. Mungkin jurnal. Mungkinkah Bardev diam-diam mencari elf tanpa sepengetahuan kita?"

"Jurnal? Benarkah begitu Valias?"

"Tidak, yang mulia. Ibuku. Ibuku memberiku buku-buku itu sebelum dia meninggal. Lalu aku mulai mempelajarinya sejak saat itu."

"Kau benar-benar menulis kertas-kertas itu dalam satu tahun sampai kau mimisan seperti itu?"

Ucapan Wistar membuat Frey mengernyit.

Anak ini. Dia sebegitu ingin mati?

"Baiklah, baiklah. Aku sudah tidak peduli lagi. Bagaimana kau menemukan keberadaan elf, apapun, aku tidak mau tau. Tau pun hanya akan membuatku sakit kepala. Dylan. Ceritakan padaku apakah kalian bicara dengan elf itu atau tidak."

Dengan bagaimana Wistar begitu berisik, Frey yakin adiknya dan Dylan serta Valias juga mungkin Verta benar-benar bertemu dengan elf yang selama ini dia kira hanyalah bualan penulis itu.

"Iya, yang mulia. Ada pilar batu dan Valias menempelkan batu dari jurnalnya. Pilar itu terbelah dua dan ada lubang masuk di bawahnya. Elf itu menemui kami. Tapi mereka hanya membiarkan Valias masuk. Aku dan Wistar juga nona Vetra menunggu di luar."

"...Baiklah. Aku rasa pada akhirnya aku harus bertanya pada Valias."

Valias hendak membuka mulut tapi Wistar memotongnya lagi. "Kakak. Apa kakak tau kalau Hayden akan perang? Sepertinya Valias menemui elf untuk meminta bantuan mereka. Mereka awalnya menolak tapi sebelum kami pergi nona elf itu tiba-tiba berubah pikiran dan bilang dia akan menemui kita setelah berunding dengan keluarganya."

Frey menutupi mulutnya dengan tangan, berusaha mengendalikan diri untuk tidak berteriak.

Frey berpikir, Valias benar-benar. Frey tidak menyangka dia akan bertemu orang seperti Valias yang mampu membuatnya tidak bisa berkata-kata dengan segala aksinya.

Dia berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dari kematian karena racun. Dia menjadi penerima pesan dewa. Dia memberi tahu Frey tentang keberadaan saudara tiri yang tidak pernah dia ketahui dan memiliki niat untuk membunuhnya, lalu Valias memberi tahunya kalau Hayden akan berperang, dan Valias, dengan kegilaannya mencari keberadaan elf untuk meminta bantuan mereka.

Dan dia menemukan mereka.

"Baik. Cukup. Aku mengerti garis besarnya. Jadi kalian benar-benar bertemu dengan mereka? Bagaimana rupa mereka? Apakah sama seperti di buku yang kita baca dulu, Wistar?"

Wistar bahkan melupakan kebiasaannya menyuruh Frey untuk memanggilnya Wissy. "Benar! Persis seperti di buku. Walaupun aku tidak tahu bagaimana tempat tinggal mereka. Valias. Kau masuk ke sana. Bagaimana tempat tinggal mereka?"

Valias memasang senyum tipis. "Maafkan aku, yang mulia. Aku berjanji untuk menyembunyikan informasi tentang mereka."

"Benarkah? Ah.." Wistar kecewa.

"Sudahlah. Kau bukan anak kecil lagi. Dylan. Kau mengerti kalau semua ini rahasia, bukan? Kau juga tidak bisa memberitahu Duke Adelard."

Dylan mengangguk. "Tentu, yang mulia."

"Kau juga, Wistar. Jangan beritahu siapapun bahkan Azna dan ibu. Biar kita berdua saja yang tau."

"Aku mengerti, kakak." Wistar menyeringai.

Frey tampak terdiam sebentar.

"Sekarang, soal wilayah tenggara.."

Valias mendengar Frey mengungkit topik pembicaraan yang waktu itu terpotong.

"Ya, yang mulia."

Frey menempelkan kepalanya pada tangan yang dia letakkan di atas punggung sofa. "Apa yang menurutmu harus kita lakukan?"

"Apa kau sudah menyelidiki mereka?"

Frey sudah tidak peduli bagaimana Valias memanggilnya. "Benar. Ksatria pribadiku, Uvan melakukan pekerjaan bagus melakukan pengamatan di sana."

Frey menyeringai. Sedangkan Valias tersenyum miris mengatahui betapa kekurangannya individu-individu bertalenta yang dimiliki Hayden. Valias juga merasa sedih untuk Frey yang tidak memiliki orang yang bisa diandalkan dalam menjalankan hal-hal yang dia perlukan.

Tampaknya ksatria bernama Uvan itu satu-satunya orang yang bisa dimintai tolong oleh calon raja di hadapannya.

Berbeda dengan Kei, yang memiliki cukup banyak kawanan yang siap melakukan apapun demi mengikutinya,

Hayden dan Frey kekurangan orang seperti itu.

"Yang mulia. Aku akan menemui mereka."

"...Mereka siapa? Elf?" Frey menaikkan alisnya. Bertanya-tanya kenapa anak berambut merah itu tiba-tiba mengganti topik dan ingin menemui elf lagi setelah baru saja kembali.

"Bukan. Kei."

"?!"

Frey membulatkan matanya. Sedangkan Wistar dan Dylan tidak mengerti siapa itu Kei.

"Jadi kau benar-benar tau?"

Valias tidak berencana menemui Kei dan teman-temannya secepat ini. Tapi dia merasa sedih pada Frey. Anak itu lebih muda darinya tapi harus menanggung beban yang begitu besar karena tidak ada orang yang bisa dia andalkan. Setidaknya Valias ingin membantu anak berambut perak itu.

"Siapa Kei?" Tanya Wistar bingung.

"...Ha.. Dia saudara tiri kita." Frey menghela nafas seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan frustasi.

".....Apa?" Wistar begitu bingung sampai dia tidak berseru seperti biasanya.

"Kakak becanda ya?" Wistar tertawa jenaka. Tapi Frey yang sudah membuka kembali wajahnya tidak merubah ekspresinya sama sekali. Valias juga diam. Begitu juga Dylan.

".....Kakak serius?"

Frey menaikkan bahu. "Aku tidak punya tenaga untuk bercanda."

"....Oke. Aku mengerti. Tidak masalah."

Wistar terdiam dengan tatapan kosong. "Ibu atau ayah?"

"Ayah. Sebelum kau lahir. Dia seumuran denganku."

"....Jadi sebelum ayah menikahi ibu?"

Frey mengangguk lemah. Terlalu lelah dengan semuanya.

"Ho.. Baik.. ....Lalu kenapa Valias ingin menemuinya? Sejak kapan kalian tau? Kenapa kakak baru memberitahuku sekarang?" Wistar terdiam sebentar. "Apakah kak Azna tau? Apakah ibu tau?"

"Mereka tidak tahu. Dan tidak perlu tau."

"Sejak kapan kakak tau?"

Frey menggerakkan dagunya pada Valias. "Dia. Teman penerima pesan dewa mu itu. Dia yang memberitahuku kemarin."

"Kemarin?! Saat penyerang kakak datang?"

Frey mendongakkan kepalanya ke belakang sofa. Mengerang. "Dia adalah penyusup itu."

"Apa?! Kakak tiriku ingin membunuh kakak kandungku??"

Wistar memandang kakaknya dengan mata bulat dan mulut terbuka.

"Oke.. Aku mengerti. Berarti kakak tiriku bernama Kei, dan kak Kei yang bernegosiasi dengan kakak dan Valias. Dan sekarang Valias akan menemui kakak tiriku??"

"Begitulah, Wissy." Jawab Valias acuh.

"Oh.." Wistar kehilangan tenaganya dan langsung menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa sebelum menegakkan tubuhnya lagi. "Kapan kau akan menemui kakak tiriku?"

"Malam ini. Ah, sekarang sudah sore. Jadi sekarang saja."

"Sekarang?" Tanya Dylan.

Valias mengangguk. "Ya. Sekarang."

"Orang yang bernama Kei itu adalah orang yang berniat membunuh calon raja Hayden. Dia memiliki kawanan, dan bersenjata. Kau tidak mungkin menemui mereka dengan tangan kosong kan?"

Dylan berpikir Valias melupakan hal tersebut.

"Tidak. Aku akan datang dengan tangan kosong."

"Valias?! Mana mungkin kau melakukan itu? Kakak tiriku terlalu berbahaya. Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendirian. Aku ikut! Dylan! Kau juga. Bawa pedangmu! Kita akan menemui kakak tiriku!"

Dylan diam menunggu suara dari Valias. Orang yang duduk di sebelahnya itu adalah kunci dari segala hal yang terjadi. Dylan akan mengikuti segala keputusan Valias.

"Tidak, pangeran. Aku akan pergi sendiri."

"T, Tapi, kau sakit. Bagaimana kalau kau pingsan lagi? Siapa yang akan menolongmu? Setidaknya bawalah satu ksatria bersamamu."

Valias menggeleng. Kei adalah orang yang punya isu mempercayai orang. Valias harap, dengan dirinya membuktikan kalau dia datang dengan tangan kosong dan tidak memiliki niat jahat, Kei dan kawanannya akan bersedia bicara dengannya.

Valias berdiri. "Aku akan pergi sekarang."

Frey memandang Valias sebelum menghela nafas. "Tunggu sebentar."

Frey bangun dari sofa dan berjalan menghampiri meja. Ketiga orang di dalam ruangan bisa mendengar suara laci yang terbuka dan Frey mengeluarkan sebuah perkamen dari sana.

"Bawa ini bersamamu."

"...Apa ini?" Valias menerima perkamen yang Frey berikan padanya.

"Itu gulungan mantra. Kau robek itu, dan kau akan langsung berpindah ke ruangan ini. Kembalilah kalau kau merasa dalam bahaya."

"Kakak! Kakak benar-benar membiarkan Valias pergi sendirian?!"

Frey menghela nafas lagi. "Orang itu, Kei bukanlah orang yang bisa kita hadapi dengan mudah. Waktu itu, kalau Valias tidak jatuh dan pingsan tiba-tiba, aku menduga dia akan membunuhku saat itu juga. Aku tidak yakin, tapi.. Aku merasa Kei dan kelompoknya punya cukup kepercayaan pada Valias. Biarkan Valias menemui mereka. Valias. Kau tidak bisa memberitahu kami kemana kau akan pergi?"

Valias tersenyum tipis. "Tidak, yang mulia."

"Sudah kuduga." Frey mendengus. "Apakah jauh? Kau perlu membawa bekal?"

Valias menimbang-nimbang. "Sepertinya aku butuh kendaraan."

"Kereta? Atau kuda?"

Valias meringis di dalam hatinya. Dia lupa kalau tidak ada mobil dan motor di sini.

"...Kuda, mungkin." Valias menyentuh tengkuknya. "Tapi aku tidak tau cara menunggang kuda."

Bagaimana mungkin dia tahu? Dia bahkan tidak pernah naik kuda seumur hidupnya. Dia hanya pernah melihat anak-anak kecil menaiki kuda sewa di sebuah mall yang pernah Valias kunjungi untuk pertama kalinya dan terakhir. Bahkan menaiki kereta kuda waktu ke istana itu pun merupakan hal baru baginya. Dia tidak pernah merasakan rasanya naik delman seperti orang-orang.

Dylan mengangkat tangannya. "Aku akan mengantarmu."

"Kau? Kau akan ikut? Kalau begitu aku juga akan ikut!"

"Ben hanya bisa membawa dua orang."

"Dylan.." Wistar merintih. "Kalau begitu aku akan membawa kudaku juga!"

"Valias dan yang mulia Frey sudah bilang kalau dia harus pergi sendirian. Tidak ada gunanya membawamu. Kau tutup mulutmu dan diam di sini." Geretak Dylan.

Frey mengangkat bahu. "Kau benar. Kau bisa pergi dengan Valias. Bawa dia ke tempat mereka. Wistar, kau diam saja di sini. Valias. Hanya Dylan seharusnya tidak apa-apa kan? Dia tidak banyak bicara seperti adikku. Dia pasti bisa kau andalkan."

Valias menimbang-nimbang. Memang benar dirinya butuh cara untuk ke sana. Dia tidak bisa menggunakan mage seperti Vetra tadi karena dia benar-benar harus merahasiakan ini. Tapi kalau Dylan..

"...Hm.. Kurasa tidak apa-apa. Dylan. Kau tidak masalah? Ayahmu tidak akan khawatir?"

Dylan berdiri. "Orang tua itu tidak akan peduli dengan apa yang kulakukan. Kita perlu ke rumahku dulu untuk mengambil kudaku."

Valias mengangguk. "Oke."

"Aku ikut! Hanya sampai rumahmu." Wistar masih belum menyerah. Dia tidak mau kehilangan waktu bersama teman-temannya.

"Dylan. Bawa saja dia. Biar dia puas dan berhenti menggangguku. Kalau perlu tinggalkan saja dia di kediaman Adelard. Biarkan dia pulang jalan kaki."  Sinis Frey.

"Kakak!" Wistar merasa dikhianati lagi tapi pada akhirnya mengikuti Valias dan Dylan. Wistar memimpin jalan ke tempat dimana para mage berada dan meminta salah satu dari mereka untuk membawa mereka bertiga ke titik koordinat kediaman Adelard.

04/06/2022

Measly033