webnovel

Chapter 25 - Ke perbatasan (2)

Valias berpapasan dengan kepala pelayan ketika dirinya sudah berada di lantai dasar mansion.

"Tuan Reuben."

"Tuan muda. Yang mulia. Tuan muda Adelard." Reuben membungkukkan tubuhnya rendah. Terutama pada Wistar yang membalasnya dengan senyum berkarisma.

"Tuan Reuben."

"Tolong panggil saya Reuben, tuan muda. Anda tidak perlu memanggil saya dengan sopan seperti itu."

Reuben kembali membungkuk kecil pada Valias. Valias mengangguk kecil. "Baiklah. Reuben. Tolong bawa aku ke tempat mage dari istana itu. Aku akan ke sana."

"Saya mengerti. Tolong ikuti saya." Reuben mengayunkan tangannya dan memimpin jalan mereka berempat.

"Nona Mareen."

Reuben memanggil nama mage wanita yang sedang menonton para ksatria Bardev berlatih.

"Tuan Reuben. Ah." Mareen memiliki ekspresi yang mirip dengan Mallory tadi.

"Nona Mareen, benar?"

"Ya, tuan muda. Ada yang bisa saya bantu?"

Valias memberi senyum hangat.

"Aku tau yang mulia Frey tidak memintamu untuk mengirimku. Tapi bisakah kau membawaku ke istana?"

"Ah." Dia berekspresi gugup. Sebagai mage yang melayani keluarga kerajaan, dirinya hanya akan mengikuti perintah putra mahkota. Kemarin adalah situasi darurat. Untuk melakukannya lagi..

"Nona. Aku yakin kakakku akan mengijinkan Valias Bardev untuk mendatangi istana kapanpun dia mau. Lagipula aku akan ikut bersamanya. Dan temanku ini juga." Wistar menyeringai seraya menepuk bahu Dylan. Menerima mata tidak suka dari anak itu.

"Kau bisa menuruti permintaannya."

"Yang mulia.." Mareen masih merasa ragu. Tapi mengingat bagaimana Frey terlihat begitu beterimakasih pada orang berambut merah di depannya, dan juga bagaimana pangeran Wistar berada di kediaman Bardev bersama orang itu, Mareen merasa kalau dirinya bisa melakukannya.

"Saya mengerti."

Valias tersenyum tulus. "Terimakasih. Apakah kita perlu ke gerbang seperti kemarin?"

Mareen menggeleng pelan. "Tidak perlu, tuan muda. Saya bisa membawa Anda dari sini."

"Dia benar, Valias. Sihir berpindah bisa dilakukan kapanpun dan di manapun selama si perapal mengetahui koordinat pasti tempat yang dituju." Wistar menertertawakan Valias berpikir dia lucu.

"Yang mulia Wistar benar. Saya akan mengirim Anda sekarang."

Cahaya mengelilingi ketiga remaja itu dan ketika Valias membuka mata dia sudah berada di depan bangunan istana. Bukan ruangan luas bawah tanah kemarin.

"Kau bingung kenapa kita diantar ke depan istana? Mage itu mengirimku bersamamu. Tentu saja dia akan mengirimu ke koordinat yang biasa digunakan untukku." Wistar tergelak. Mengayunkan ayunkan tangannya ke depan Valias.

Valias tidak penasaran soal itu sama sekali tapi tidak mengatakan apa-apa.

"Ayo masuk. Kau mau menemui kakakku?"

Valias mengangguk.

Ada yang harus aku lakukan.

Pintu terketuk dan terbuka. Frey duduk di meja kerjanya dengan tumpukan kertas yang biasa Valias lihat sebagai Abimala di meja kantornya.

Frey tampak terlalu fokus atau memang tidak peduli siapa yang masuk ke ruangannya.

"Kakak. Valias datang."

Setelah Wistar mengatakan itu barulah Frey mengangkat kepalanya.

"Valias?"

Frey melihat sosok Valias yang mengenakan pakaian bersih dan berdiri dengan tegak walau masih dengan kulit pucat.

Frey berdiri dari bangku mewahnya dan menghampiri Valias untuk melihat orang itu dari dekat.

"Yang mulia. Apakah mereka menyakiti Anda setelah saya pergi?"

Frey mengedipkan matanya sebelum menghela nafas. "Khawatirkan saja dirimu sendiri. Apakah kau memang sering berdarah seperti itu? Aku belum pernah melihat orang mengeluarkan darah dari hidungnya sebanyak kau. Aku bahkan hampir tidak pernah melihat orang berdarah dari hidungnya kecuali mereka habis berkelahi. Kau hanya berdiri diam tanpa seorangpun menyentuhmu, apakah itu normal?"

Frey menggerutu tanpa menyadari perubahan ekspresi Wistar apalagi Dylan.

"Kau terluka?! Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Kenapa? Melihatmu dengan genangan darah di acara waktu itu saja sudah menjadi pemandangan yang tidak ingin aku lihat lagi. Beritahu aku!" Wistar langsung meraih kedua bahu Valias.

Valias tidak menyangka hal itu.

"Ya?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Dewa, aku bahkan tidak tahu apa kau akan mati atau tidak." Frey berdecak.

"APA?! Valias! Jangan mati! Kau terluka? Kau sakit? Lalu kenapa kau tidak istirahat dan malah kesini? Apakah keluargamu tau? Apakah Count Bardev tau?!" Wistar terlihat dan terdengar begitu panik dan Valias mulai benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa.

...Mati? Aku? Kenapa Frey mengatakan itu?

Valias mengernyitkan dahi menaikkan lehernya untuk melihat Frey yang tertutup tubuh Wistar di depannya. "Mati? Siapa yang akan mati?"

"Tidak peduli dengan nyawamu sendiri, aku mengerti. Tapi aku tidak akan membiarkannmu mati dengan mudah. Aku akan memaksamu minum ramuan dan obat-obatan terbaik. Jangan berani menolaknya atau aku akan bunuh diri."

Valias benar-bennar tidak mengerti.

Kenapa Frey harus bunuh diri?

Dan kenapa Frey berpikir dirinya akan mati?

Dia tidak mau mati dan tidak akan mati.

Kecuali jika tiba-tiba dia kembali ke tubuhnya sebagai Abimala. Sebelum itu dia tidak akan membiarkan dirinya mati. "....Aku tidak mengerti, tapi aku akan menerima apapun yang mulia berikan padaku. Sekarang, ada yang harus kita bicarakan."

"Apa? Kau harus istirahat! Aku akan menyuruh orang untuk menyiapkan perawatan untukmu!"

Wistar langsung melepaskan bahu Valias dan berlari keluar.

"....."

Valias benar-benar tidak bisa berkata-kata.

"Yang mulia. Tentang Kei-" Dia mulai bicara. Tapi dipotong oleh Frey.

"Berhenti. Setidaknya bicaralah sambil duduk. Aku tidak mau kau tumbang tiba-tiba."

"...."

Valias benar-benar tidak mengerti situasi apa yang sedang berlangsung tapi dia tetap mengikuti kemauan Frey. Dan duduk di sofa di ruangan tempatnya mimisan juga pingsan kemarin.

"Yang mulia. Anda bilang Anda akan membuat mereka tinggal di istana?"

Valias melihat Frey diam memandanginya dengan ekspresi datar untuk beberapa detik sebelum menghela nafas seperti tadi.

"Tidak. Aku bertanya pada mereka setelah kau pergi apakah mereka mau tinggal di istana atau kembali ke tempat tinggal mereka. Dan mereka semua pergi keluar tanpa mengatakan apa-apa. Salah satu dari mereka mengarahkan pedang mereka padaku dan bilang kalau Kei akan kembali menemuiku kalau memang dia mau."

Frey menghela nafas lagi. "Kenapa? Kau mau menemui mereka?"

Valias menggeleng. Dia sudah menduga Kei akan pergi begitu saja. Sikapnya cocok dengan yang digambarkan di buku.

"Kita tidak tahu di mana mereka tinggal-"

"Oh? Aku pikir kau mengetahui segalanya. Dewa belum memberimu pesan lagi? Demi Hayden, sebenarnya bagaimana bisa Dewa memberkatimu dan memberi pesan padamu seperti itu? Kau bahkan bukan seorang pater– atau mungkin kau sebenarnya pater? Tapi kenapa kau tidak tinggal di kuil? Seorang pater akan diberi kemewahan sesuai aturan Hayden– Oh mungkin itu karena kau merupakan anak keluarga Bardev dan merasa tidak membutuhkan kemewahan? Tentu saja. Kau pasti juga akan kerepotan jika harus melayani masyarakat sebagai pater. Tentu saja kau memilih untuk hidup biasa di kediaman ayahmu. Apalagi dengan tubuh sekaratmu itu. Tapi bahkan tidak ada pater yang mengaku menerima pesan dari dewa sepertimu. Kaulah pater sesungguhnya. Orang-orang di kuil itu hanya bersikap arogan dan berpikir mereka orang yang layak disembah. Sayang sekali Hayden harus mengurusi orang-orang seperti mereka. Kau mau aku mengumumkan pada orang-orang kalau kau adalah penerima pesan dewa? Kau mau orang-orang meyembahmu?"

"...." "....."

....A- Apa?

Frey bicara begitu panjang lebar dan Valias mendengar seluruh kalimatnya.

Dylan yang berdiri di belakang Valias pun mendengar semuanya. Dirinya yang baru saja mendengar cerita dan pernyataan Wistar satu jam yang lalu, lalu tentang Valias yang mengeluarkan darah dari hidungnya, lalu sekarang ocehan dari calon raja Hayden. Dylan mengingat semuanya dan mulai menyusun puzzlenya sendiri.

Sedangkan Valias, yang berada di tengah dari topik pembicaraan tersebut, menemukan dirinya tidak bisa berkata-kata.

Bahkan dia masih memiliki ekspresi terdiamnya mendengarkan perkataan Frey. Dia mulai menyesal sudah membuat omong kosong itu.

Tapi yang paling membuat Valias sibuk dengan pikirannya adalah,

Apa? Sekarat? Frey sudah mengatakan hal-hal aneh sejak tadi. Dia benar-benar berpikir aku orang dengan penyakit yang akan mati sebentar lagi?

Valias sendiri sebagai yang bukan pemilik tubuhnya sesungguhnya dan terbilang hanya merasuki si tubuh berpikiran kalau tubuhnya itu sangat lemah dan abnormal hingga dia menduga kalau tubuhnya menyimpan penyakit yang diidap oleh Valias Bardev yang asli.

Tapi untuk mendengar itu langsung dari orang lain..

Valias tidak tahu harus berpikir seperti apa lagi.

"Yang mulia–"

"Aku tau. Kau sakit dan kau tidak akan punya cukup tenaga dan waktu untuk menjadi pusat pemujaan seperti itu. Aku akan menjaga rahasiamu. Aku yakin Wistar dan Dylan akan melakukan hal yang sama. Lagipula kira-kira kenapa keberadaanmu sebagai putra Count Bardev disembunyikan dan baru dibongkar sekarang? Keluargamu takut rahasiamu terbongkar? Apalagi dengan kondisimu itu.." Frey menghela nafas.

"Kau bilang padaku kalau waktu itu pertama kalinya kau mendapat pesan dari Dewa. Kau pikir kau bisa membohongiku? Kau akan menjadi sumber kejayaan Hayden, dan aku akan memastikan kau hidup sampai keinginanku tercapai."

".....Terimakasih.. kurasa.."

Valias mulai merasa dirinya kembali mendapat pengendalian dirinya. Frey bisa membuat asumsi semaunya dan Valias tidak akan mencoba meluruskan apapun lagi. "Yang mulia. Kita bisa mulai mengambil tindakan."

"..Tindakan? Tindakan apa?" Frey mengerutkan dahi.

"Elf. Kita akan menemui mereka."

""?!!!!""

Dylan dan Frey kembali dibuat terkejut oleh ucapan Valias.

"Elf? Elf itu.."

Bahkan Dylan yang sejak tadi diam tidak bisa tidak bergumam.

"...Elf? Kau percaya mereka benar-benar ada? Kau bukan hanya pater, tapi juga orang yang suka berkhayal?" kernyit Frey.

Valias menggeleng. Mengabaikan bagaimana Frey yang menyebutnya pater.

"Kau.. jangan bilang.."

Frey melekatkan matanya pada Valias. Menolak percaya asumsinya sendiri.

Valias tidak peduli kalau Frey tidak percaya. "Aku akan menemui mereka. Tolong kenalkan aku pada mage yang Anda percaya."

"...Kau? Kau akan menemui mereka sendiri? Tidak. Yang lebih penting, memangnya makhluk yang hanya disebutkan di buku itu benar-benar ada?"

Kerutan dahi tidak kunjung hilang dari wajah Frey. Bukannya hilang justru malah semakin parah. "Apa yang membuatmu berpikir mereka ada? Penulis-penulis buku itu bahkan selalu bilang kalau yang mereka tulis hanyalah dugaan mereka. Buku-buku yang masih ada di perpustakaan istana dan berbagai tempat di luar sana tidaklah lebih dari bacaan hiburan orang-orang—dan aku di waktu senggang—untuk menertawakan isi buku-buku itu—tapi sekarang, kau memberitahuku kalau kau percaya pada hal-hal yang ditulis di sana? Kau? Valias Bardev yang memberiku informasi tentang saudara tiriku melalui pesan dewa? Tapi, tidak. Jangan-jangan, dewa yang memberi tahumu kalau elf itu sungguh ada?"

Frey terdiam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Kalau memang dewa lah yang memberi tahu hal itu pada Valias, maka tidak ada yang perlu diragukan lagi.

Frey terlalu sibuk menginterogasi Valias hingga tidak sadar kalau dia baru saja membongkar rahasia keluarganya sendiri di depan Dylan. Orang yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dalam hal rumit itu.

Dylan cukup terkejut dengan rahasia keluarga kerajaan tapi rahasia itu tidak cukup membuatnya berhenti memikirkan apa yang baru saja Valias katakan.

Elf, katanya?

Orang yang diberkati dewa, orang yang membuat tulisan di kertas dengan simbol huruf yang tidak Dylan mengerti. Jurnal yang sama tidak masuk akalnya dengan hal yang baru saja Valias katakan. Dylan yakin jurnal itu bukanlah ditulis oleh Valias. Mungkin Valias hanya penyuka atau pembaca buku-buku aneh seperti orang-orang lainnya. Tapi untuk benar-benar percaya—dan dengan percaya diri mengatakan kalau dia akan menemui elf itu...

Dylan teringat ucapan Frey sebelumnya tentang bagaimana Valias memiliki tubuh yang sekarat dan umurnya tidak panjang.

Mungkin Valias mulai berkhayal dan bermimpi untuk melihat makhluk-makhluk seperti elf yang disebutkan di buku dan jurnal-jurnal di kamarnya itu.

Karena dia tahu dirinya akan mati sebentar lagi.

Tentang bagaimana Valias menerima pesan dari dewa saja sudah cukup sulit dipercaya. Tapi yang mulia Frey benar-benar mempercayai itu.

Kalau Wistar Dylan tidak akan menganggapnya aneh. Pangeran remaja itu senang bermain dan mengganggunya bahkan dengan hal-hal yang menjengkelkan.

Tapi Frey Nardeen adalah putra mahkota dan calon raja Hayden yang sudah Dylan kenal sebagai sosok pemimpin yang berdedikasi menjaga Hayden dan mencapai kesejahteraan kerajaan.

Tapi untuk seorang Yang Mulia Frey mempercayai hal yang dikatakan Valias Bardev...

Valias menggeleng. Masih tidak berniat membuat Frey percaya. "Kau tidak perlu terlalu banyak berpikir, Frey Nardeen. Yang mulia hanya perlu mengenalkanku pada seorang mage seperti yang kuminta. Aku akan mengurus sisanya."

Valias menyeringai. Dengan perlahan dia mengeratkan genggamannya pada jurnal yang dia bawa sejak tadi.

Frey bahkan sudah tidak peduli lagi dengan betapa tidak tahu malunya Valias terhadapnya. Sudah cukup dia dibuat tak mampu berkata-kata oleh orang berambut merah itu. "....Aku tidak peduli lagi. Aku akan berikan apa yang kau mau. Tidak perlu malu kalau ternyata kau tidak berhasil menemukan elf yang kau bilang itu."

Frey menghampiri mejanya. Mengusap sebuah bola kaca. Tak lama kemudian seorang pelayan memasuki ruangannya.

"Ada yang bisa saya bantu, yang mulia."

"Panggilkan nona Vetra kemari."

"Saya mengerti." Pelayan itu pergi setelah membungkuk.

"Kau tau nona Vetra, Dylan?"

Dylan tidak menyangka namanya dipanggil tapi tidak terkejut.

"Orang yang kabur dari menara?"

"Bagaimana, Valias? Kau juga tahu dia?"

Frey menyeringai.

Valias menggeleng.

"Jangan pura-pura. Tidak ada gunanya mempermainkanku."

Valias terperangah.

"Kenapa aku harus pura-pura?"

"....Kau benar-benar tidak tahu?" Frey tercengang. "Jadi pada akhirnya ada yang tidak kau tahu juga?"

".....Aku bukan T-Dewa. Tentu aku tidak tahu segalanya."

Valias benar-benar tidak tahu. Dia baru dua minggu menjadi Valias. Dan cerita itu tidak membahas apapun soal ini. Siapa sebenarnya nona Vetra ini?

Dan tentang aku menerima pesan dewa itu hanya omong kosog. Apalagi aku bahkan tidak percaya dengan dewa kalian. batin Valias.

"Ha." Entah kenapa muncul kebahagiaan dalam diri Frey mengetahui Valias memiliki sesuatu yang tidak dia ketahui. Dia berdeham dengan senyum di wajahnya. Dylan melihat tingkah Frey dan tercengang juga dengan perubahan impresinya tentang calon raja Hayden itu. "Baiklah. Satu tahun lalu seorang mage ditemukan mencoba menyusup perbatasan. Ksatria Hayden membawanya ke istana untuk diinterogasi dan ternyata dia kabur dari menara. Dia tidak memberi tahu alasan dia kabur dan kami mencurigainya sebagai mata-mata. Tapi kemudian dia menunjukkan bakatnya sebagai mage dan ayahku, Yang Mulia Raja Chalis membuatnya melayani istana. Dia adalah mage terbaik Hayden, kau tau? Kau tidak ingin berterima kasih padaku?"

Frey menyeringai begitu lebar. Valias mengangguk pelan. "Terimakasih karena sudah meminjamkan saya mage terbaik Anda, yang mulia. Saya merasa terhormat."

Frey sudah mendapatkan ucapan terimakasih yang dia mau tapi dia tidak merasa puas sama sekali. Justru merutuki dirinya sendiri karena sudah bersikap begitu menyedihkan dengan mengharapkan pernyataan terimakasih dari seseorang yang sudah membuatnya terhindar dari kematian dan memiliki tubuh yang sekarat.

"E- Ekhem. Bukan apa-apa."

Setelah dehaman itu suara sebuah pintu yang terketuk terdengar.

"Yang mulia. Nona Vetra sudah tiba."

04/06/2022

Measly033