webnovel

Chapter 15 - Kau sudah membuka mata? (3)

Frey tersenyum puas. Tubuhnya merileks dan dia biarkan bersandar ke punggung kursi.

"Sepertinya pembicaraan kita sore ini sudah selesai."

"Jika yang mulia berpikir begitu."

"Haha. Sepertinya aku tertarik untuk menemui tuan muda Valias lagi."

"Saya akan menerima kunjungan yang mulia dengan senang hati."

"Ha. Bukan undangan tapi kunjungan? Kau ingin aku yang mendatangi wilayah Bardev?"

Frey menganggap Valias konyol.

"Yah.. aku tidak masalah jika aku yang harus mendatangimu."

"Benarkah begitu, kakak. Aku pikir kakak tidak akan meninggalkan tugas-tugasnya?"

"Aku punya adik yang bisa membantuku. Apa yang perlu aku khawatirkan."

"Ck."

Valias tersenyum menonton dialog kakak adik itu.

"Saya turut berduka cita, yang mulia."

"Ha. Aku benar-benar tidak bisa membaca isi pikiranmu."

Frey mengayunkan tangannya. "Kau bisa pulang kapanpun kau mau. Aku tidak akan menahanmu lagi."

"Saya mengerti. Terimakasih yang mulia."

"Kakak pergilah. Aku masih akan di sini," ucap Wistar dengan senyum gigi.

"Dasar tidak punya kerjaan." Frey mencibir. Wistar memasang senyum nakal. Alister berjalan ke arah pintu mengantar kepergian Frey.

"Jadi, sejak kapan kau mengenal Dylan?" Sang pangeran Hayden memulai pembicaraannya dengan Valias.

"Ketika di depan istana orangtua kami mengenalkan kami. Aku baru bertemu dengannya saat itu."

"Hahaha. Caramu merubah gaya bicaramu dari saya ke aku sangat lucu. Kau benar. Aku lebih suka caramu bicara yang seperti ini. Benarkah? Dylan sepertinya tertarik padamu."

Wistar tersenyum begitu lebar. Valias membalasnya dengan senyum kecil. "Saya hanya berharap diri saya ini bisa berteman dengan tuan muda Adelard terus untuk ke depannya. Tidak ada salahnya menjalin hubungan antar sebuah keluarga."

Wistar mengedipkan matanya.

"Cara bicaramu seperti ingin menikah dengan Dylan saja." Dia kemudian terkekeh puas. "Dan lihatlah pemilihan katamu barusan. Kau benar-benar pria yang menarik, Valias. Sama seperti kakakku putra mahkota, aku memiliki ketertarikan padamu. Aku ingin kita menjadi kawan baik."

"Tentu."

Valias benar-benar berniat untuk berteman dengan sebanyak orang yang dia bisa.

Aku tidak tahu semua itu akan terjadi atau tidak.. tapi aku akan mencoba mengubah ceritanya.

"Pangeran ingin minum teh?"

"Panggil aku Wissy. Aku juga menyuruh Dylan memanggilku itu. Tapi dia tidak pernah mendengarkanku." Wistar mengangkat kedua tangan sembari menghela nafas lelah.

"Wi..ssy?" ulang Valias bingung.

"Ya. Dylan sepertinya tertarik padamu. Aku harap kau bisa memintanya untuk memanggilku itu. Dan soal teh.." Wistar terlihat merogoh kantung jasnya. "Kakakku, tuan putri membuat ini. Dia bilang dia ingin kau memakannya. Ratu dan kakak akan memberimu hadiah atas aksimu suatu hari. Tapi Kak Nana ingin memberi salah satu kado kecilnya untukmu."

Wistar memegang sebuah ikatan kain dan membuka ikatannya di atas meja.

"Ini.. kue kering?" tanya Valias.

"Ya. Kenapa? Kau khawatir ini diracun?" Wistar menyeringai.

"Tidak, yang mulia. Lagipula jika pun iya, kalau memang tuan putri ingin meracuniku, maka aku akan mati di tangannya." jawab Valias ringan.

Wistar mengedipkan mata lagi. "Haha.. kalau Kak Fey mendengar kata-katamu barusan pasti dia sudah tersenyum bagai ingin menipu orang. Dan, sesulit itukah orang-orang memanggilku Wissy? Kau dan Dylan sama saja." Wistar merungut. Valias menanggapi ocehan Wistar sambil memakan kue buatan tuan putri Azna.

Keesokan paginya, kereta kuda istana menunggu di depan pintu depan besar istana. Valias dan Alister membungkukkan tubuh di depan Ratu Vilda.

"Saya turut berduka cita, yang mulia."

"Hm, kau sudah melakukan hal yang baik setelah melindungi putraku. Aku akan memberimu penghargaan yang sesuai suatu hari." Ratu Vilda memberikan balasan keratuannya.

"Saya akan terima dengan senang hati."

"Sampai berjumpa lagi Valias." Wistar memberikan lambaian.

"Tuan muda Valias, saya akan mengundang Anda untuk minum teh suatu hari. Bawalah mage ini bersamamu. Saya sudah mengirim surat pada tuan Count untuk membiarkan orang ini tinggal di kediaman Baldev. Anda bisa memintanya mengirim Anda ke titik istana agar Anda tidak perlu repot-repot melalui perjalanan panjang kemari." Azna bicara dengan senyum lembut di wajahnya.

"Apakah itu tidak apa-apa, tuan putri?" tanya Valias.

Untuk membiarkan seseorang menggunakan lingkaran sihir kerajaan untuk tiba di istana dalam waktu singkat, jika seseorang menyalahgunakannya, siapapun bisa menyusup ke istana dengan begitu mudah. "Kau tidak mengetahui koordinatnya. Mage itu hanya akan mengirimmu ketika kami memerintahkannya. Jangan memikirkan hal-hal konyol." Frey menyeringai.

"Kalau begitu saya pamit, yang mulia. Terimakasih tuan putri." ucap Valias hormat. Azna memberikan senyum.

Bersama Alister. Juga seorang mage dan beberapa prajurit kerajaan. Valias melewati perjalanan panjang menuju wilayah Bardev.

"S- Selamat datang kembali, tuan muda Valias."

"Selamat datang kembali tuan muda Valias." Beberapa pelayan dan ksatria kediaman Bardev berhamburan membentuk barisan menyambut Valias yang turun dari kereta.

"Keluargaku sedang apa?" tanya Valias pada salah satu pelayan perempuan. Tapi pelayan itu terlihat begitu gugup. Sebuah tangan muncul di depan tubuh perempuan tersebut.

"Biar saya, tuan muda. Tuan Count sedang di ruang kerjanya. Nyonya tidak memiliki pertemuan apapun hari ini. Tuan muda Danial dan nona muda sedang bersiap untuk makan malam."

Setelah melwati perjalanan selama dua hari, Valias tiba ketika langit sudah sore. "Terimakasih. Namamu?"

"Saya Reuben, tuan muda. Tuan Count menunjuk saya sebagai kepala pelayan. Saya siap melayani anda." ucap sang pelayan.

Valias belum pernah bertemu dengannya. Valias Bardev yang asli juga hanya mengenal Alister sebagai pelayan pribadi yang dia tunjuk. Reuben mengetahui hal itu dan memperkenalkan dirinya. "Baiklah. Terimakasih, Reuben. Aku akan masuk sekarang."

"Perlukah saya memberi tahu tuan dan nyonya?"

"Tidak perlu."

"Saya mengerti."

Pintu mansion dibuka dan Valias masuk. Dia sudah kurang lebih tau keseluruhan bagian mansion jadi dia sudah bisa berkeliaran tanpa mengkhawatirkan apapun. Apalagi, dengan bagaimana Alister menceritakan tingkah laku dan bagaimana Valias Bardev bersikap saat dia mulai tinggal di sini, jika Valias tidak tau arah pun, orang-orang tidak akan menganggapnya aneh.

Valias menimbang-nimbang dimana dia akan menghabiskan waktunya. Ruang baca, atau kamarnya?

Dia memilih yang kedua.

Alister mengikutinya kemanapun dia melangkah. Ketika dia tiba di depan pintu, Valias membalikkan tubuhnya.

"Aku ingin sendirian di dalam sana. Panggil aku ketika sudah waktunya makan malam."

Alister memamerkan seringainya. Valias tersenyum kecut.

Oh, dia punya ekspresi lain rupanya.

Valias hanya melihat senyum palsu dan wajah datar di wajah Alister. Seringai seperti ini merupakan hal baru.

"Apakah Anda akan berurusan dengan kertas-kertas itu lagi, tuan muda?"

"Hm."

Valias menanggapi asal. Tangannya menekan kenop pintu. Valias masuk ke dalam ruangan yang gelap hanya dengan cahaya langit sore dari balik gorden.

Valias ingat bagaimana dirinya yang berada dalam daratan dimana sihir bekerja dalam segalanya dan dia mulai meraba dinding di sisi kanan pintu. Dia terus meraba hingga dia menemukan sesuatu yang menonjol menempel di dinding. Ketika dia mengusapnya, ruangan pun menjadi terang. Ketika Valias melirik sesuatu yang dia sentuh itu, rupanya itu sebuah bola kaca transparan. Tapi Valias melihat sesuatu seperti asap di dalamnya.

Seperti di cerita.

Valias mendongak mengamati langit-langit ruangan. Tampaknya cahaya yang menerangi ruangan berasal dari sana. Tapi bagaimana sebenarnya bola kaca dan langit-langit ruangan bekerja sama, penulis tidak menjelaskannya sama sekali.

Cerita yang menghabiskan waktu 6 tahun penulisan. Cerita dengan rating rendah dan jumlah peminat sedikit. Ada terlalu banyak konflik tanpa penjelasan yang jelas. Seorang karakter bisa duduk diam membaca buku dan puluhan panah tiba-tiba menyerangnya.

Sihir dan alat-alat dibuat ada begitu saja tanpa dijelaskan bagaimana sebenarnya benda-benda itu bekerja.

Temannya menemukan cerita itu dan mendewakannya. Abimala membacanya menuruti dorongan temannya itu dan membacanya tanpa berkomentar apa-apa. Bagi Abimala yang tidak pernah membaca cerita fiksi, dia pikir cerita seperti itu wajar dan terbilang bagus.

Mengalami situasi tak terjelaskan ini pun, Valias tidak akan mempertanyakan apapun. Valias berjalan ke tengah ruangan sebelum berbalik mendapati Alister masih berdiri di luar pintu mengamatinya.

"Kau bisa tutup pintunya." beritahu Valias.

Alister menyeringai lagi dan tangannya bergerak menutup pintu di depannya. Alister melakukannya tanpa suara sama sekali. Valias melihat pintu yang tertutup dan mulai menghampiri kertas-kertas itu.

Alister menjelaskan bagaimana Valias Bardev yang sering menghabiskan waktunya di kamarnya dengan kertas dan buku-buku. Noda-noda coklat pada kertas-kertas yang terisi tulisan dan gambar itu adalah hasil dari mimisan Valias yang asli.

Sama seperti di hari pertama, Valias tidak bisa mengerti tulisan pada kertas itu. Dia menghampiri segala sisi dan sudut ruangan yang memiliki kertas dan mendapati dirinya tidak bisa mengerti apapun isi dari semua kertas itu.

Kalau begitu mari lihat buku-buku itu.

Di beberapa seksi hamparan kertas, ada beberapa buku. Valias kurang mengerti kenapa buku-buku itu tersebar di atas lantai, tapi Valias yakin Valias Bardev punya alasan untuk itu.

Buku-buku itu, Valias bisa membaca semua tulisan di dalamnya. Seperti buku yang pertama kali Valias buka, mereka tidak memiliki kata pengantar. Dan tidak memiliki nama penulis. Tulisannya tampak seperti tulisan tangan seseorang. Seperti dugaan Valias, sepertinya mereka adalah sekumpulan jurnal yang ditulis oleh beberapa orang yang berbeda.

Tapi, kesamaan dari jurnal-jurnal itu adalah,

Adanya potongan rambut berwarna merah dengan saturasi warna merah yang berbeda-beda.

Potongan-potongan rambut itu diikat dengan benang hitam, dan ditempelkan pada halaman belakang jurnal dengan lilin meleleh. Dan barulah. Valias menemukan tulisan yang Valias tebak sebagai nama dari penulis jurnal itu.

Lilin yang melebar ke halaman belakang jurnal diukir dengan sesuatu. Membentuk sebuah nama.

Fel

Connie, Marsh, Bern, Juveth, Qlee, dan masih banyak lagi. Nama-nama itu terukir pada lilin di halaman belakang jurnal.

Valias membuka buku dengan nama Gwen dan menemukan tulisan tentang perjalanan penulis ke sebuah gua. Di dalamnya dia menemukan sebuah batu yang memiliki ukiran tulisan yang tidak bisa dia baca. Sebuah sketsa Valias temukan di halaman selanjutnya. Sketsa dinding gua dengan batu melayang dan tertulis rentetan simbol yang tidak Valias mengerti. Kemudian penulis menuliskan rentetan tulisan itu dengan lebih jelas dan detail.

Valias bahkan tidak bisa mengeja simbol-simbol itu dan tidak tahu harus menyebut mereka apa. Penulisnya pun tidak menuliskan hal lain setelah menggambar mereka dan halaman selanjutnya menbahas hal lain.

Masing-masing jurnal ditulis oleh orang yang berbeda. Dengan potongan rambut merah yang berbeda. Isinya pun membahas hal-hal yang tidak ada di jurnal lainnya.

Satu buku membahas tentang gua, yang satu tentang rawa, kemudian makhluk-makhluk misterius, laut yang ditulis sebagai hamparan luas air asin, padang bunga bercahaya sewarna langit malam, dan masih banyak lagi.

Valias membaca satu-persatu jurnal itu dan semakin yakin kalau dirinya berada di dunia cerita.

Mimpi atau bukan, Valias sudah tidak peduli lagi.

Yang ada di pikirannya adalah melanjutkan hidupnya.

04/06/2022

Measly033