webnovel

14. Jatuh Cinta?

"Apa?" Zein terkejut mendengar ucapan itu.

"Hari ini ulang tahun lo, kan?" tanya Keira.

"Mmh—mungkin," Zein hampir enggan menjawab. "Lo tau dari mana?" Ia menatap Keira heran sekali lagi.

"Tadi HP lo bunyi terus. Jadi maaf gue yang angkat." Keira pun menceritakan kejadian di telepon tadi.

"Ooh," Zein menunduk sebentar.

"Jadi lo nggak suka pesta ulang tahun ya?" tanya Keira penasaran.

"Nggak suka aja," jawab Zein pendek.

"Tapi ini ulang tahun yang ke tujuh belas. Kata orang, umur 17 itu spesial, lho. Seenggaknya lo bisa ngerayain bareng Alvin sama Oki kalo nggak suka pesta. Ajak kek, mereka makan-makan," Keira coba memberi saran.

"Ah, buat apaan? Ulang tahun itu nggak ada menarik-menariknya. Cuma bikin tambah tua," sahut Zein cuek.

"Kalau gitu, lo rayain ulang tahun bareng gue aja gimana? Pasti acaranya sedikit menarik, kan?" Keira tumben-tumbenan menggodanya.

Zein tersenyum simpul. Melihat muka manis Keira berlagak lucu seperti itu, tentu saja tidak bisa ia menolaknya.

"Happy birthday, Zein." Keira menjabat tangan Zein sambil tersenyum padanya. Zein membalas senyumnya, juga jabat tangan Keira. Perasaannya senang. Ini pertama kalinya ada orang lain yang mengucap selamat ulang tahun selain Mama dan kakaknya.

Zein dari dulu tidak pernah suka perayaan ulang tahun. Ayahnya seorang guru ahli bela diri yang sangat keras. Dia selalu melarang Zein mengadakan sesuatu yang menurutnya tidak pantas dilakukan seorang pria. Merayakan ulang tahun misalnya.

Zein sangat mengagumi ayahnya. Dari kecil ia sering menghabiskan waktu di tempat bela diri didikan ayahnya. Zein pun dituntut menjadi cowok tangguh yang mampu melindungi Mama dan kakak ceweknya.

Zein sangat mengidolakan Ayahnya, hingga suatu hari ia harus merasa kecewa. Saat masih SMP, Zein yang baru pulang sekolah menyaksikan kedua orangtuanya bertengkar. Ayah Zein pergi dari rumah setelah mencecar Mamanya dengan berbagai kata-kata. Zein masih mengingat jelas hari itu.

Ayahnya pergi membanting pintu dan mengegas mobilnya dengan kasar. Entah apa yang terjadi hingga dua jam kemudian, Zein mendapat kabar bahwa Ayahnya meninggal karena kecelakaan. Jasadnya hampir tidak dikenali karena mobil Ayah Zein masuk jurang dan meledak di sana. Hanya berbagai macam bukti yang tersisa dari ayahnya. Zein dan keluarganya tak bisa berbuat apa-apa.

"Emang Mama lo kerja di luar kota, Zein?" Pertanyaan Keira membuyarkan lamunan Zein.

"Emh, ya," jawabnya segera. "Mama kadang nanganin perusahaan Kakek di Surabaya. Jadi selama Mama gue di sana, gue biasa tinggal sama kakak gue dan suaminya." Ia sedikit bercerita.

"Jadi rumah lo nggak ditinggalin?" tanya Keira lagi.

"Yah, nggak juga. Kadang gue pulang kalau lagi bosan ikut kakak. Oki sering nginep buat nemenin gue," jelas Zein.

"Oh. Kenapa lo nggak tinggal di Surabaya aja ikut kakek sama Mama lo?" Keira masih bertanya lagi.

"Pernah sih gue pindah ke sana, tapi nggak kerasan aja. Mama juga nggak menetap di sana, kok. Mama sering pulang tiap bulan," jawab Zein malas. "Lo bisa kepo juga ya ternyata?" Ia lalu berkata sambil melirik Keira.

"Ya bukannya gitu," Keira jadi malu sendiri. Zein ada benarnya. Kenapa ia jadi mau tahu soal Zein? Memalukan saja. "Ayo potong kue ulang tahunnya! Entar keburu dimakan semut lagi," ajak Keira kemudian.

"Keburu dimakan semut apa lo-nya aja yang keburu kelaperan?" sindir Zein.

"Ya kali aja semutnya juga lapar. Wekkk." Keira menjulurkan lidah membuat Zein geli saja.

Drreeeettt. Dreeeeettt.

Ponsel Keira kali ini bergetar. Ia mendapat panggilan dari Mamanya.

"Hallo?" angkatnya. "Iya, Ma, Keira masih di dekat sekolah. Nunggu hujannya reda." Terdengar oleh Zein saat Keira menjawabnya.

"Iya, tenang aja. Keira sama teman kok, Ma. Iya, sekelas malahan," ucapnya lagi. "Dia lagi ulang tahun, jadi Kei mau ngerayain sama dia. Yah, lagian dia udah baik sama Kei. He-em. Oke, Bos. Begitu hujannya reda aku langsung pulang. Ya, ya." Keira pun menutup telponnya.

"Apa senyum-senyum?" tanya Keira saat sadar Zein sedang tersenyum sambil menatapnya.

"Siapa? Senyum-senyum apaan coba? Enggak kok." Zein langsung memasang muka pakemnya. Ia pun memotong kue lalu memberikannya pada Keira.

"Gue dikasih potongan kue pertama?" Keira mengangkat kedua alisnya sambil melirik cowok itu.

"Nggak mau?" tanya Zein curiga.

"Mau! Tapi..." Keira pindah melirik ke arah samping. "Kalau dalam pesta ulang tahun, potongan kue pertama biasanya dikasih ke orang yang spesial," lanjutnya pelan.

"Ya berarti lo orang spesial," ceplos Zein keluar begitu saja.

"Apa?" Keira terkejut mendengarnya.

"Nih ya, kita kan cuma berdua. Masa iya gue ngasih kuenya ke Mbaknya yang jual roti? Apalagi ngejar Benny cuma buat ngasih ini. Nggak lucu, kan?" Zein segera menimpali.

Keira tersenyum lucu. "Makasih ya," ucapnya lalu menyendok kue itu dan memakannya.

"Senyum-senyum. Seneng?" Zein gantian melirik sambil ikut memakan kue tartnya.

"Lo juga senyum-senyum," Keira tak mau dipojokkan.

"Apa? Senyum dari mana coba?" Zein sok-sok mengelak. "Jelas-jelas lo tuh yang senyam-senyum kayak orang gila. Tuh tuh, malah mulai ketawa lagi."

"Siapa yang ketawa? Lo kali yang gila," balas Keira sebal.

"Gue, gila? Yah, deket-deket sama lo jadi ketularan gilanya. Gila dan berbahaya. Are you ready to rock?"

Akhirnya mereka berdua cuma tertawa sambil makan kue tartnya.

"Hujannya nggak reda-reda ya?" ucap Keira sambil menatap langit.

"Ditunggu aja," Zein menyahut santai. "Kei, katanya lo mau ngerayain hari ulang tahun gue, kan?"

"Ya. Kenapa? Kita lagi makan kue bareng, kan?" jawab Keira masih sambil menatap hujan.

"Acara ini bakal lebih menarik kalau lo mau nyanyiin lagu buat gue."

"Hah? Lagu happy birthday maksudnya?" Keira langsung beralih menatap cowok itu.

"Iya, tapi dengan gaya ROCKER!" Zein teriak saat mengucapkan kata terakhir itu.

Keira tertawa. "Malu ah," jawabnya.

"Yee, lo nyanyi di atas panggung sama Chad Verizone aja nggak malu. Terus teriak-teriak apaan tuh waktu itu, aku di sini-aku di sini," Zein mengingatkan Keira akan hari itu.

"Ya itu kan kepaksa," Keira jadi malu. "Gara-gara lo juga kali. Gue lagi ilang, dimintai tolong malah lo-nya celingukan."

"Ya bukan salah gue dong. Gue kan cuma nggak nyangka aja kalau cewek itu lo."

"Zein, udah mulai terang nih. Hujannya reda!" seru Keira tiba-tiba.

"Oh, iya juga." Cowok itu menatap langit. "Ayo, gue anterin pulang." Zein segera bersiap memakai ranselnya.

"Tapi lo beneran sehat-sehat aja, kan?" Keira menatap luka di wajah Zein. Ia juga meneliti tangan dan anggota badan Zein yang lain.

"Gue bilang luka kayak gini udah biasa. Yang nggak biasa itu, yang sakit itu, adalah serangan lo waktu itu." Ia berucap sebal.

"Serangan gue?" Keira mengerutkan kening. Oh. Menendang bagian-nya. Tentu saja. Keira jadi salah tingkah mengingat hal itu. "Ya maaf. Maaf, Zein. Hari ini kita juga bertengkar lagi. Tapi sekarang kita udah baikan ya?"

Zein diam-diam tersenyum. "Baikan? Bukan karena lo udah minta bantuan? Sama preman sekolah yang lo suruh pergi ke neraka itu," ceplosnya sok kasar.

"Zeeiiinnn!" Keira hampir menendang kaki cowok itu. Emosinya nyaris terpancing karena geregetan. "Ya. Oke. Maaf tadi siang gue marahnya udah kelewatan. Tapi gue seneng kok lo tetap mau datang," ucap Keira dengan pipi merona.

Zein menyembunyikan senyum melihatnya. "Ya udah. Ayo pulang!" Ia langsung menarik tangan Keira.

Deg!

Mendadak Keira merasa jantungnya berdetak kencang. Tangannya disentuh dan dipegang oleh Zein. Persis seperti yang Benny tadi lakukan saat mengajaknya pulang. Tapi kenapa perasaannya lain?

Saat disentuh Benny meskipun cuma sebentar, Keira merasa risi dan benci sekali. Tapi sekarang, tangannya masih dalam genggaman Zein. Orang yang dikenal preman kelas berbahaya itu. Kenapa Keira sama sekali tidak merasa risi dan tidak keberatan? Hatinya justru berdebar-debar tak karuan. Sepertinya, perasaan Keira senang. Lalu tiba-tiba ia teringat ucapan Fadil.

"Sebentar lagi kamu pasti akan ngerasain apa itu jatuh cinta."

Tidak mungkin, pikir Keira. Mungkin ia memang tertarik dengan Zein karena penasarannya, tapi itu bukan berarti ia menyukainya kan? Keira menarik napas dan merasakan getaran asing di dalam hati. Debaran senang juga membingungkan yang seolah mengalir hangat dari tangan Zein. Jangan-jangan....

"Apa ini rasanya jatuh cinta?" Tanpa sadar Keira menyuarakan apa yang sedang dipikirkannya.

"Hah?" Zein berhenti melangkah lalu menatapnya. "Jatuh cinta?"