Keira langsung menoleh ke segerombolan cowok yang duduk di belakang. Seseorang tadi memanggil salah satu dari mereka. Keira memastikan kupingnya tidak salah dengar. Entah kenapa setiap mendengar nama itu hatinya selalu berdesir, mengingatkannya pada seorang teman saat SMP kelas 8.
Keira tak bisa melupakan Zein begitu saja. Meskipun tak genap setahun sekelas dengannya, tapi percakapan terakhir mereka masih saja mengganggu ingatan. Keira selalu dihantui rasa bersalah. Hingga tiga tahun berlalu pun ia belum mampu melupakan.
Keira memberanikan diri menghampiri cowok-cowok itu. Semua mukanya tampak asing. Keira tak mengenal satu anak pun dari mereka selama bersekolah di SMA Pahlawan.
"Ehem!" Salah satu dari para cowok itu berdeham karena Keira berdiri dan mengamati satu per satu dari mereka.
Keira sudah hendak menjawab tapi tak jadi. Ternyata ia grogi juga menghadapi sekumpulan cowok itu. "Barusan, ada yang nyebut-nyebut nama aku. Siapa?" ucapnya kemudian, segera setelah berhasil mengatasi kegugupan.
Cowok-cowok itu saling melirik.
"Lo, ya?"
"Nggak, bukan gue."
"Apalagi gue. Kenal juga nggak."
Kompak mereka melihat ke arah Keira.
"Nggak ada yang nyebut-nyebut nama lo lagi," kata salah satunya sambil menopang dagu. "Salah dengar kali."
Keira yakin kupingnya tak salah dengar. Ia sudah akan pergi kalau saja tak ingat ia sudah berjanji akan menyapa orang yang tahu namanya tadi. Seorang dari mereka tiba-tiba melompat dari atas meja yang ditongkronginya.
"K-E-I-R-A." Cowok itu membaca keras papan nama di seragam Keira. Ia lalu tersenyum kecil entah pada siapa. "Namanya Keira, guys!" serunya pada yang lain dan mereka langsung menjawab, "Oooo" secara bersamaan.
Tak terkesan, Keira membalikkan badan lantas kembali ke bangkunya. Tidak ada yang mukanya seperti Zein, pikirnya sambil berjalan. Muka Zein yang dulu pastinya tidak banyak berubah. Namun seketika Keira terhenyak. Ia baru sadar jika ia tak sungguh-sungguh mengingat wajah Zein. Meskipun kejadian baru 3 tahun berlalu tapi Keira hanya mengenal anak itu sebentar. Ia sekelas dengan Zein hanya selama 5 bulan sebelum akhirnya anak itu pindah. Selama 5 bulan itu, Keira tak pernah benar-benar memperhatikan wajahnya.
Zein yang selalu melihat ke arah Keira membuatnya risi untuk balas melihatnya. Cuma sesekali Keira menatap wajah anak itu saat mereka berbicara. Memori terjelasnya hanyalah saat mereka pulang sekolah, yang juga menjadi hari terakhirnya melihat Zein. Badan agak kecil, potongan rambut cepak dan pandangan mata yang gelap tajam. Hanya itu bayangan Zein yang terekam di memorinya.
Mungkin ingatan pelajaran sekolah sangat awet di otak Keira, tapi ingatannya untuk mengingat wajah seseorang sangatlah buruk. Mata Keira hanya selalu tertuju pada buku dan papan tulis, hingga wajah-wajah teman sekelasnya pun kadang tidak dia hafal.
"Hai, gue boleh duduk di sebelah lo nggak ?" Seorang cewek berambut sepundak menyapa Keira. Ia baru saja masuk kelas dengan langkah lebar-lebar.
"Boleh kok," Keira mengangguk usai menatapnya.
"Gue Milli, dari kelas 10-4. Lo kemarin kelas apa?" Cewek itu, Milli, tersenyum ringan pada Keira.
"Aku dari 10-3," jawab Keira. "Oh iya, nama aku Keira," tambahnya segera.
"Keira, ya?" Milli mengerutkan dahinya. "Kelas kita kemarin sebelahan tapi kenapa gue nggak pernah lihat lo, ya?"
Keira hanya tersenyum kecil. Memang semenjak SMA ia tak mau kelihatan mencolok. Ia memilih menjadi cewek rajin dan kurang pergaulan sampai nyaris tak diketahui siapa-siapa.
"Ngomong-ngomong, Kei, lo masuk kelas ini sendiri?" tanya Milli seraya melepas ransel. "Maksud gue, ada anak mantan 10-3 lainnya?"
"Aku juga lagi bingung. Nggak ada satu anak pun yang aku kenal di sini," Keira berkata pelan.
"Wah, berarti gue dong, orang pertama yang lo kenal di kelas ini." Milli tertawa renyah. "Oke, mulai sekarang gue bakal jadi teman lo, deh. Eh, tapi gue ngerasa ada yang janggal sejak tadi."
"Apa?" Keira menatap Milli tak mengerti.
"Gue lebih enak kita ngobrol pakai lo-gue dari pada pakai aku-kamu. Rasanya kayak orang pacaran aja."
Sontak Keira tertawa mendengarnya. "Oke deh," ia menyanggupi. Sepertinya Milli sosok yang supel menyenangkan. Penampilannya santai sedikit tomboy. Keira senang bisa bertemu dengannya.
"Lo sendiri gimana? Di sini ada yang dari 10-4 juga nggak?" tanya Keira kemudian.
Milli memandang berkeliling kelas. "Ada sih," jawabnya segera. "Tapi gue nggak akrab sama mereka. Terutama itu, si menor Shella." Milli menunjuk cewek cantik beraksesoris serba pink yang duduk di depan. "Males gue deket-deket sama dia. Terus itu ada lagi. Alvin sama Zein. Mereka juga mantan 10-4 kayak gue."
"Zein?" Sekali lagi Keira kaget mendengar nama itu. "Yang mana anaknya?"
Milli memandang Keira sebentar sebelum menunjuk seorang cowok di belakang. "Itu yang namanya Zein, yang duduk di atas meja," terangnya.
Keira hampir-hampir tak percaya. Cowok itu adalah cowok yang tadi membaca keras-keras papan namanya. Apa mungkin dia yang sebelumnya menyebut-nyebut nama Keira juga? Lebih penting, apa mungkin dia Zein yang pernah Keira kenal dulu?
"Zein keren, ya?" kata Milli saat melihat Keira masih menoleh ke belakang. "Asal lo tahu aja, dia anaknya suka bikin onar. Tukang berantem, tukang bolos, tukang tidur. Anehnya dia itu termasuk bocah pintar."
"Hah?" Keira terkejut. "Pintar apa?"
"Ya pintar sekolah lah, masak pintar dandan?" Milli tertawa. "Tiap kali ujian semester, dia pasti rangking satu di kelas."
"Hah?" Keira berhah sekali lagi. Saingan. Itu kata pertama yang terlintas di otaknya. Ia coba memperhatikan si Zein lebih cermat.
Cowok yang memang bisa dibilang keren itu terlihat sedikit urakan. Tidak tampak sekali adanya tanda-tanda siswa pintar. Keira masih ragu dengan apa yang dikatakan Milli.
"Selamat pagi, Anak-anak!" seru seorang guru tiba-tiba.
"Pagi, Bu...!" Serentak semua menjawab. Anak-anak yang nongkrong tidak jelas pun langsung duduk ke bangku pilihan masing-masing.
"Perkenalkan saya Bu Rani, saya biasa mengajar Bahasa Indonesia di SMA Pahlawan. Mungkin sebagian dari kalian sudah tidak asing dengan wajah saya." Guru muda tersebut tersenyum kecil pada seluruh murid di hadapannya. "Nah, kebetulan saya yang akan jadi wali kelas 11-IPS 3. Ada yang belum kenal saya di sini?" Ia memandang anak-anak itu.
Bu Rani memang cuma mengajar kelas 10-1 sampai 10-5 tahun lalu, jadi bagi siswa kelas 10-6 sampai 10-9 mungkin banyak yang belum tahu dengannya.
"Wah, wah, saya senang sekali kebagian kelas ini." Bu Rani semringah saat melihat wajah-wajah muridnya. "Ada Maria rangking 2 dari kelas 10-2. Dion rangking 3 dari 10-1. Gina rangking 2 dari 10-5. Oh, ada juga Zein rangking 1 dari 10-4, ya? Lalu Keira, rangking 1 dari 10-3. Banyak juga anak pintar di kelas kita." Ia tersenyum lagi. "Ada siswa dari kelas lain yang juga masuk 5 besar di kelas 10 kemarin?"
Tiga anak mengaku. Ada rangking 3 dari 10-9, rangking 2 dari 10-7, dan rangking 4 dari 10-8. Siswa pintar dari 10-6 tampaknya tak ada yang masuk jurusan IPS-3.
"Lo Keira yang dimaksud tadi?" bisik Milli. "Lo rangking satu?" tambahnya tak percaya. Apalagi waktu Keira mengangguk. "Gila! Ini pertama kalinya gue duduk dekat anak pintar. Gue urutan 25 di kelas kemarin."
"Dua puluh lima?" Keira tampak heran. "Emang ada rangking 25?"
"Haha, lo ngejek gue, ya?"
"Itu siapa ketawa-tawa?" Mendadak Bu Rani berseru mengejutkan mereka. "Kamu, maju sini!" Beliau menunjuk Milli. "Kamu saya tunjuk jadi ketua kelas 11 IPS 3."
"APA??" Milli membelalakkan mata. "S-sa-saya Bu?" serunya panik.
"Siapa lagi? Kamu Milli dari 10-4, kan? Mulai hari ini kamu ketua kelas 11-IPS-3. Tanggung jawab kelas ini saya serahkan kepada kamu. Ayo, maju!" perintah Bu Rani membuat Milli lemas tak berdaya. "Oke. Sekarang kita cari wakil ketua, sekretaris, bendahara dan seksi lainnya. Ada yang ingin mengajukan diri?"
***
"Aahh, sumpah gila! Masak gue jadi ketua kelas, sih?" Milli meletakkan kepalanya di meja usai ke ruang guru mengambil jadwal pelajaran 11-IPS-3.
"Nggak pa-pa. Lo cocok kok jadi ketua," hibur Keira pada anak itu.
"Cocok?" Milli menutup matanya. "Gue lebih cocok jadi pembina upacara daripada ketua kelas," omongnya asal.
"Nggak salah, si preman itu jadi ketua kelas?" Terdengar bisik-bisik dari meja depan.
"Nggak tahu lah. Bu Rani asal nunjuk aja sih," sahut suara lain.
Keira menoleh. Rupanya Shella dan teman-temannya. Mereka sesekali melirik tidak suka ke arah Milli.
"Mereka lagi gosipin lo, ya? Emangnya lo preman?" tanya Keira penasaran.
Milli malah tertawa. "Dari kelas 10 gue udah nggak cocok sama Shella. Gue berteman baik sama anak sekelas, kecuali dia," ujarnya cuek.
"Begitu ya," Keira mangut-mangut. "Gue malah nggak akrab sama siapa-siapa pas kelas 10."
"Hah?" Milli menegakkan kepalanya. "Lo nggak punya teman?"
"Ya nggak gitu juga," sergah Keira. "Gue berteman sama siapa aja di kelas, tapi nggak ada yang akrab banget. Soalnya gue lebih suka sendiri kadang-kadang."
"Ooh," tanggap Milli cepat. "Anak pintar kan emang kebanyakan begitu. Sukanya diam menyendiri."
"Iih, apa sih?" Keira melonjak kaget saat ada sesuatu menggelitik di pergelangan kakinya.
"Ada apa?" tanya Milli.
"Nggak tahu nih," Keira menjawab sambil melongok kakinya di bawah meja. "Aaaaaaaaa, Mamaaa!" Tiba-tiba Keira menjerit dan langsung mengguncang-guncang kakinya.
"Ada apa?" Milli berseru kaget.
"Cicak! Ada cicak di kaki gue! Tolong! Tolong ambilin!" Keira berteriak sambil terus mengibas-ngibaskan kakinya.
"Hah? Mana?" Milli coba berjongkok. "Ooh iya itu. Gede banget, Kei. Jijik gue. Geli."
"Aaaaa, tolong gue, Mill!" Keira kelabakan.
"Iiihh!" Milli memberanikan diri mengambil dengan tangannya. "Hiii. Nih Kei, dipelihara!" Ia tertawa saat menyapit cicak itu dengan dua jarinya.
"Jorok! Buang!" Keira menangkis tangan Milli dengan kuat dan cepat, hingga cicak malang itu terbang melayang ke depan, tepat saat cowok-cowok masuk ke dalam kelas.
Plakkk.
Cicak itu nemplok ke kepala Zein yang jalan paling depan. Mereka bisa melihat ekspresi Keira dan Milli yang baru saja melempar sesuatu ke arah depan. Keduanya terkejut tentu saja.
"Apa ada sesuatu yang nempel di kepala gue?" Zein bertanya pada teman-temannya. Ia bisa merasakan sesuatu bergerak di rambutnya.
"Bro, ada cicaknya!" jawab Alvin.
"Di mana?" tanya Zein.
"Di kepala lo," jawab yang lain.
Zein menyuruh Alvin mengambil cicak itu. Namun sebelum tangan Alvin sempat memegang ekornya, cicak itu malah berlari melalui tengkuk lalu masuk ke punggung Zein. Karuan saja Zein meloncat-loncat kegelian.
"Hey, ambilin, Vin! Ini di punggung gue!" Zein panik tak karuan. Bukannya berusaha menolong, para gengnya malah kompak tertawa. Mereka terpingkal-pingkal melihat tingkah Zein yang garuk sana garuk sini, lompat sana-lompat sini. Persis topeng monyet.
"Awas lo pada!" Zein akhirnya berlari keluar kelas. Sepertinya ia menuju toilet. Anak-anak di kelas yang melihat kejadian itu tak bisa menahan tawa. Tak terkecuali Keira. Ia tidak bisa membayangkan jika Zein adalah dirinya. Bisa-bisa ia pingsan tubuhnya dirayapi cicak sebesar itu. Keira bergidik ngeri. Namun tetap saja tingkah Zein tadi membuatnya tertawa.
Bel tanda pelajaran dimulai kembali berbunyi. Zein belum juga menampakkan diri padahal guru Ekonomi sudah masuk kelas.
"Mill, Zein belum balik, kan?" bisik Keira dari tempatnya.
"Belum. Santai aja, nggak usah takut sama dia," jawab Milli cuek.
Rupanya panjang umur, orang yang baru mereka bicarakan tampak memasuki kelas. Tanpa ketok pintu ia main jalan saja menuju bangkunya tanpa peduli pada keberadaan guru.
"Dari mana saja kamu?" tanya guru itu galak.
"Toilet," jawab Zein datar seakan tak peduli. "Belum juga 2 menit telat, kan?" tambahnya sebal.
"Siapa nama kamu?" tanya guru itu. Tampaknya beliau kesal karena ketidaksopanan muridnya.
"Zein." Ia menjawab sambil menuju bangku paling belakang. Sesaat ia melirik tajam ke arah Keira. Apalagi saat melewati bangkunya. Namun begitu Keira balik melihatnya, Zein malah buang arah. Perasaan Keira langsung tidak enak. Ia bisa merasakan kalau Zein membencinya. Siratan itu bisa ia rasakan bahwa Zein sangat marah padanya.
"Apa di sini ada yang bernama Keira?" tanya guru Ekonomi itu tiba-tiba. "Keira Azalea."
"Ada...!" Milli menjawab paling keras.
"Yang mana?"
Keira pun berdiri dari posisi duduknya. "Saya, Pak," ucapnya ,sedikit ragu.
"Ooh, jadi kamu?" Guru itu mendadak tersenyum. "Saya Ayahnya Vinny, teman SMP kamu. Ingat Vinny tidak? Dia titip salam buat kamu. Katanya di SMP dulu, kamu selalu rangking teratas dan jadi idola sekolah."
"Eh?" Keira terkejut. Seluruh anak di kelas itu reflek memandangnya. Kecuali Zein. Ia tampak cuek saja.
"Kelihatannya di SMA kamu juga tetap berprestasi, saya sudah lihat nilai-nilai kamu. Sangat bagus. Terus ditingkatkan, ya?"
"Ya, Pak. Terima kasih," Keira pun segera kembali duduk.
"Jadi dia anak pintar?"
"Populer ya di SMP-nya?”
"Gue pikir dia manis."
"Tapi kenapa selama ini gue nggak tahu dia, ya?"
"Iya, dia di 10 apa kemarin?"
Bisik-bisik pun merebak di seluruh penjuru kelas. Semua melirik-lirik Keira dan membicarakannya. Dalam beberapa menit saja, pandangan anak-anak langsung berubah. Mereka yang tadinya cuek-cuek saja tak mengenal Keira, mendadak sering-sering menoleh lalu tersenyum kepadanya.
"Jadi itu cewek genius juga?" komentar Alvin yang duduk di belakang.
"Gue bisa nebak sejak pertama lihat," sahut Oki yang duduk di depan Zein. Zein sendiri cuma berdecak lidah seakan tak peduli pada percakapan teman-temannya.
"Lo emang harusnya populer, Kei, kayak di SMP lo dulu," Milli pun tak ketinggalan berkomentar. "Kenapa gue bisa nggak tahu lo ya, padahal kelas kita setahun kemarin kan sebelahan?"
"Ya gue emang jarang keluar kelas, sih. Gue suka baca buku di kelas aja," ujar Keira malas-malasan. "Gue cuma nggak mau dicap pintar apa gimana-gimana. Gue kan juga biasa aja kalo nggak belajar."
"Kenapa?" tanya Milli heran. "Toh waktu SMP lo juga udah tenar."
"Nggak tahu juga, ya. Gue cuma nggak suka jadi perhatian. Dilihat banyak orang itu rasanya nggak bebas."
"Ya itu kan karena lo-nya cantik. Coba kalau lo pintar tapi muka lo jelek, nggak bakal deh dilihatin banyak orang," ucap Milli membuat keduanya tertawa.
"Tapi bukannya kebanyakan orang senang kalau jadi perhatian, ya? Populer itu menyenangkan," Milli tampaknya masih tak habis pikir.
"Mungkin buat sebagian orang itu menyenangkan, tapi kalau gue ngerasa nggak nyaman," ujar Keira.
Pelajaran pun terus berlanjut, namun entah kenapa Keira penasaran dengan Zein. Ia masih bertanya-tanya. Apakah itu Zein yang dulu pernah dikenalnya? Ataukah cuma kebetulan sama namanya saja?
Zein yang di IPS-3 ini rambutnya sedikit panjang terutama di bagian depan. Zein yang dulu rambutnya sangat pendek. Zein yang ini juga tinggi. Zein yang dulu anaknya termasuk pendek. Kalau dilihat dari bentuk-bentuk mukanya, Keira benar-benar susah membayangkan wajah anak itu. Apa seperti itu mirip Zein ketua kelas 8-D dulu? Benar-benar ingatan payah, batin Keira kesal.
"Hayo, ngelihatin Zein melulu. Naksir ya sama dia?" rupanya Milli memergokinya.
"Nggak," jawab Keira sambil menatap depan lagi.
"Lo udah punya pacar?" tanya Milli kemudian.
"Belum," jawab Keira jujur.
"Ada yang lagi lo suka?"
"Nggak ada."
"Nah, mungkin inilah awal lo tertarik sama cowok, sama Zein. Dia emang keren, kok. Banyak teman-teman sekelas gue kemarin yang naksir, tapi tahu sendiri kan dia itu gimana?" cerita Milli sambil menggoda Keira. Tapi Keira cuma angkat bahu. Baginya selama ini, tidak ada yang lebih menarik selain buku pelajaran.
Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Keira harus menggantikan Milli ke ruang guru untuk menyerahkan buku raport anak-anak sekelas yang sudah dibawa. Milli ada rapat antar pengurus kelas di aula, jadi ia meminta bantuan Keira.
"Sori, gue nggak bisa jadi pacar lo." Terdengar suara itu saat Keira menuruni tangga antar gedung kelas.
"Kenapa? Bukannya selama liburan kemarin kita sudah sering jalan bareng?" kali ini suara cewek.
"Iya kan jalannya rame-rame. Nggak kita berdua doang."
"Lo nggak suka gue?" si cewek bertanya lagi.
"Gimana ya?" Cowok itu seperti kebingungan mencari kata-kata.
"Lo nggak punya cewek, kan?" tanya si cewek lagi.
"Ya sih, tapi ada cewek yang lagi gue suka," kata si cowok kemudian.
"Siapa?"
Keira akhirnya sampai di ujung bawah tangga. Terlihatlah satu cewek dan satu cowok sedang mengobrol di sana. Cowoknya tinggi. Rambutnya model cakar-muka-sendiri. Orangnya lumayan putih dan mukanya dingin. Entah dibuat-buat karena sedang menolak cewek itu atau memang asal dari sananya Keira juga tidak tahu. Keira sempat bertatap mata dengannya saat di ujung tangga.
"Siapa yang lo suka?" si cewek mulai emosi karena cowok itu tak mau menjawab.
"Maaf," ucap Keira. Ia hendak lewat tapi keduanya berdiri tepat di depan tangga. "Bisa minggir sebentar?"
Si cewek menoleh dengan kesal, tapi ia tetap melangkah maju supaya Keira bisa lewat. Sedang si cowok bertampang angkuh itu tampak melirik papan nama di seragam Keira.
"Keira," cowok itu berkata.
Keira otomatis menghentikan langkah kakinya, menoleh ke arah cowok itu. Apa ia sedang dipanggil olehnya?
"Keira?" Si cewek bingung membuat Keira tak jadi menyahut. "Siapa dia? Anak sini juga?"
"Ya." Cowok itu menjawab singkat.
Keira mengangkat bahu lalu melanjutkan perjalanannya menuju kantor guru. Memangnya cuma satu orang yang punya nama Keira di sekolah ini? pikirnya tak mau ambil pusing.
"Bagaimana, Kei, kamu senang di IPS-3?" sapa mantan wali kelasnya.
"Yah, semoga saja, Bu," jawab Keira sambil tersenyum.
"Keira banyak saingan di kelas barunya, itu bagus. Bisa menambah motivasi belajarnya." Para guru membicarakan murid favoritnya itu tanpa ragu.
"Permisi dulu Pak Tanto, Bu Yuni, semuanya." Keira pun segera pamit keluar dari sana. Para guru memang sangat mengandalkan Keira di berbagai pelajaran. Jadi pantas ia dikenal mereka.
"Pulang, ah!" Keira berbicara sendiri sambil melihat ponselnya. Sudah jam dua. Sesaat ia menoleh ke lapangan basket dan melihat cowok di ujung tangga tadi sudah bermain di sana. Tiba-tiba saat kembali melihat depan, Zein beserta Alvin sudah menghadangnya. Sudah pasti Keira terkejut oleh kehadiran mereka.
"Belum pulang ya, Genius? " sapa Alvin sambil cengengesan.
"Ada apa?" tanya Keira meski perasaan takut menghampirinya.
"Lo tadi yang lempar gue pakai cicak, kan?" tuduh Zein langsung saja.
"Nggak sengaja," jawab Keira.
Zein tertawa tak percaya mendengar jawaban itu. "Bukannya minta maaf malah bilang nggak sengaja. Lucu lo ya," ia berkata kesal.
"Terima kasih," Keira anggap itu sebagai pujian daripada hinaan. Hal tersebut membuat Zein panas tentu saja. Keira pun melangkah lagi untuk melewati dua cowok urakan itu.
"Eeh, mau ke mana lo?" tanya Zein sambil menahan pundak cewek itu.
"Pulang," jawab Keira seraya melepaskan tangan Zein dari pundaknya.
"Selama di kelas tadi lo nengokin gue kirain mau minta maaf," kata Zein. Rupanya ia sadar Keira beberapa kali memperhatikannya.
"Sori, bukan itu maksud gue. Tapi ya sudah, gue minta maaf soal cicaknya." Keira tampaknya tak sabar ingin cepat pergi.
"Lo songong banget sih jadi orang!" Zein jadi jengkel kepadanya.
Buukkkk!!!
Bola basket dari lapangan tiba-tiba mampir ke kepala Zein. Zein pun hampir sempoyongan. "Brengsek!" umpatnya. Ia langsung menoleh ke asal mula bola itu berasal. Ia mengambil bolanya dengan penuh emosi. "Kerjaan siapa nih?" bentaknya.
"Sori, Bro!" Seorang cowok dari tengah lapangan berlari ke arah mereka. "Sori, nggak sengaja," ucapnya lagi begitu mendekat.
Cowok di ujung tangga tadi, pikir Keira saat melihatnya. Cowok itu mengambil cepat bola dari tangan Zein sebelum Zein balik melempar ke arahnya. Dia sudah hampir pergi tapi tiba-tiba dia berbalik lagi dan bilang sesuatu pada Zein.
"Tolong jangan gangguin cewek yang gue suka, ya?" Ia menepuk pundak Zein sambil melirik Keira sebentar.