webnovel

BARA

Cintanya terkhianati, ketika gadis yang begitu ia cintai itu kemudian lebih memilih menikah dengan putra bungsu Presiden yang sedang berkuasa penuh di negaranya itu. Ia kemudian hendak dijodohkan dengan seorang dokter cantik oleh sang nenek. Bukannya setuju, ia malah membantu dokter itu jadian sama laki-laki lain yang dokter itu cintai. Dan ketika kemudian ia menemukan cinta barunya, gadis itu kembali datang kepadanya. Meminta kembali tempat dihati Bara yang pernah ia miliki sebelumnya. Mana yang akan Bara pilih? Cinta barunya atau cinta yang menorehkan luka? Novel ini merupakan pengembangan dari novel yang saya tulis di platform sebelah. Dimana kisah Bara pertama kali saya tulis. Selamat membaca.

Kim_Aikko · 都市
レビュー数が足りません
130 Chs

Rindu?

Septi memacu motornya kembali pulang setelah jadwal jaganya berakhir. Rasanya ada yang hampa, apa karena tidak ada Abimana? Astaga, baru tadi siang dia pamit balik ke Madiun, dan ia sudah serindu ini?

Septi tersenyum simpul, ia memang sudah pernah berkali-kali jatuh cinta, dan semua berkahir dengan perpisahan karena ketidakcocokan diantara mereka, namun ketika berkenalan dengan sosok itu kenapa Septi merasa lain? Ia merasa sudah begitu cocok dan klop dengan sosok pengusaha muda itu.

Apalagi kata Nindi, ia adalah laki-laki yang baik bukan? Nindi mana pernah sih berbohong padanya? Mereka sahabat baik, antara Nindi dan Abimana walaupun dulu hampir hendak dijodohkan tetapi mereka juga tetap bersahabat baik. Dan Septi sama sekali tidak meragukan hal itu.

Ia bergegas mematikan mesin motornya ketika sudah sampai di halaman depan rumah. Di teras rumah sudah ada Bang Andre, sang kakak, yang menunggu dirinya di kursi.

Septi melangkah menghampiri Bang Andre, lalu mengulurkan tangannya.

"Duduk sini, Nis!" ya, Bang Andre sejak dulu memanggilnya Nisa.

"Kenapa, Bang?"

"Kamu serius mau ada yang melamar?" Septi sudah paham bahwa inilah yang akan di tanyakan abangnya itu.

"Ya kalau Nisa mau sih hari ini juga dia mau melamar Nisa, Bang."

"Siapa? Orang mana? Kerjaannya apa? Orang baik-baik kan?" cerocos Andre tanpa jeda.

"Astaga, satu-satu kenapa Bang tanyanya?" Septi sontak mendengus kesal dan geli, sebegitu keponya kakaknya sampai-sampai ia diberondong banyak pertanyaan itu.

"Sudahlah, jawab saja satu-satu!"

Septi tersenyum, ditatapnya manik mata itu, ia tahu betul kakaknya begitu khawatir.

"Namanya Bara Abimana Soeprapto, orang Madiun Bang. Dia ada usaha kuliner gitu sih di Madiun dan beberapa kota, termasuk di sini."

"Kamu nggak pengen Abang kenalin sama temen sejawat Abang gitu?" Andre mencoba nego, pengusaha kah pacar adiknya itu?

"Nggak ah, Bang. Sudah bosen lingkup pekerjaannya itu terus." tolak Septi yang kokoh pada pendiriannya.

"Setidaknya punya suami dokter itu jaminan masa depanmu jelas, Nis." Andre masih mencoba membujuk.

"Memang punya suami pengusaha masa depannya tidak jelas?" tanya Septi tak mau kalah.

"Ya bukan gitu, cuma kan kalau dokter setiap saat sampai kapan pun dan dimana pun banyak yang cari jasanya." ya begitulah, ia dokter juga, jadi tentu paham bukan?

"Tapi Nisa sudah cocok banget sama Abi, Bang."

"Suruh dia kemari, Abang mau bicara, nanti papa juga biar ketemu orangnya, kalau dia benar-benar serius mau nikahin kamu."

Septi hanya mengangguk pelan dan tersenyum, ia kemudian bangkit dan melangkah masuk kedalam rumah. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di kasur, pikirannya melayang mengukir wajah Bara dalam ingatan.

"Bi ... aku rindu ...,"

***

Bara tengah sibuk mengotak-atik motornya ketika kemudian pesan itu masuk ke dalam ponselnya. Sontak Bara meletakkan kunci di meja, lalu meraih Smartphone miliknya. Dari Septi! Sontak senyum Bara merekah.

'Hai Bi ....'

Pesan yang cukup singkat itu mempunyai daya tarik luar biasa hingga wajah Bara begitu cerah seketika. Ia bergegas menekan nomor itu, mencoba menghubungi gadis yang berhasil membolak-balik dunianya seketika.

"Hallo, kok malah nelpon?"

Bara terkekeh.

"Memang tidak boleh?" tanyanya sambil bersandar di kursi teras rumahnya.

"Ya boleh sih, kamu lagi apa?"

"Bongkar motor nih, kamu sudah pulang? Aman-aman saja kan?"

"Sudah di rumah kok, semua aman. Hanya saja ...,'

Bara mengerutkan keningnya, hanya saja apa? Ia benar-benar khawatir dengan sosok cantik itu.

"Kenapa? Ada yang tidak beres? Kamu diganggu orang?" Bara jadi was-was.

"Bukan gitu, aku baik-baik saja. Cuma tadi abangku bilang pengen kamu ke sini, dia pengen bicara."

Sontak Bara tercengang, apakah itu artinya ....

"Bilang dua hari lagi aku kerumah." guman Bara mantab.

"Serius?" Septi tampak memekik.

"Serius lah, kamu kira niatku ingin melamarmu itu cuma bercanda doang? Please lah, meskipun ini terlalu cepat, tapi aku sudah benar-benar yakin."

"...."

"Hallo, Septi?" kenapa diam saja? Sambungan telepon masih nyala kan?

"Iya halo,"

"Jadi apa jawabanmu?" tanya Bara memastikan.

"Datanglah kerumah dulu, akan aku jawab lebih cepat saat kamu kerumah nanti."

Bara tersenyum, entah mengapa hatinya begitu lega luar biasa.

"Ada clue-nya nggak?" tanya Bara nego.

"Hei, ini bukan tebak-tebakan, jadi jangan minta clue!" sepeti tertawa, Bara sangat suka mendengar tawa itu.

"Oke deh, semoga sesuai harapan." guman Bara lirih sambil memejamkan matanya.

"Ya, semoga," ujar suara itu menggoda.

"Sep ...," panggil Bara lirih.

"Ya ...,"

"Kau tahu? aku rindu."

***

Bara sudah begitu rapi pagi ini, ia harus segera ke butik mengawasi di sana selama mamanya pergi ke Lombok berburu mutiara. Dengan mobil Avanza papanya itu ia pergi seorang diri kesana. Untuk hal-hal seperti ini dimana ia harus berjumpa dengan banyak orang, sangat jarang ia pakai mobil mahal miliknya, terutama mobil sport mahalnya. Ya kecuali kalau ia pergi ke kedai sih.

Ia paling anti terlihat banyak uang, terlebih di hadapan para gadis-gadis. Malas sekali jika kemudian mereka mengejar-ngejar Bara demi menguras dompet Bara. Bukan pelit sih, tapi untuk hal tidak bermanfaat seperti itu buat apa sih buang-buang uang? Lagipula jujur Bara takut tergoda tubuh yang mereka sodorkan demi uang. Tahu sendiri Bara sudah berusaha puasa setelah ditinggal Hanifa, ia tidak mau terjebak dalam zona berbahaya lagi dengan gadis yang belum pasti.

Dan Bara sangat berharap bahwa Septi adalah gadis yang ia cari-cari selama ini. Gadis yang akan menemani hari-harinya sampai ia menua nanti. Ia sudah lelah jika harus hinggap sana sini dengan banyak gadis. Ia sudah ingin hidup dengan dengan pendamping hidup dan keturunannya, keluarga kecilnya.

Bara tersenyum, rasanya ia begitu bahagia sekarang. Jika dulu ketika ia bersama Hanifa bayangan Kirana masih sering muncul, sekarang bayangan itu sudah benar-benar lenyap. Tergantikan Septi seutuhnya dalam hatinya, pikirannya.

Hanifa, teringat gadis itu mendadak membuatnya ia sedih. Bagaimana kabar gadis itu? Setelah Bara renggut keperawanannya, kenapa ia malah pergi? Padahal jika ia mau Bara ingin menikahinya, mencoba mencintai dia sepenuh hati. Tapi kenapa ia malah meninggalkan dirinya? Dengan alasan bahwa ia tidak mencintai Bara.

Ahh, Bara tidak habis pikir. Tapi biarlah, ia tidak bisa memaksa Hanifa untuk tetap di sisinya bukan? Gadis itu punya pilihan sendiri. Dan ketika Bara ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun Hanifa memilih pergi, maka itu bukan sepenuhnya salah Bara bukan?

Bara menghela nafas panjang, semoga kelak hal itu tidak jadi masalah untuknya. Tidak jadi bumerang yang kemudian merusak hubungannya dengan Septi.

Bara sudah mencintai gadis itu, dan sangat berharap bahwa ia dapat memiliki gadis itu seutuhnya. Jadi ia tidak ingin lagi kehilangan. Ia tidak mau Septi pergi dari hidupnya.

"Apapun itu aku tidak akan pernah membiarkan siapapun meninggalkan aku lagi, apalagi kamu, Sep."