webnovel

29. Ketegangan Dalam Balai

Satu persatu murid balai berdatangan ke ruang auditorium. Para gadis langganan cuci laundry duduk di sebelah Yeona.

"Yeona, ada apa, kenapa kita dikumpulkan di sini?" tanya gadis gendut.

"Entahlah. Aku kira kamu lebih lama hidup di sini."

"Ini yang pertama bagiku."

Gadis di sebelah gadis gendut mengangguk. "Sepertinya ada masalah besar. Lihat, nyaris semua pengurus berkumpul." Dia menunjuk ke arah pintu utama auditorium.

Di sana, Ja In bicara serius dengan Chung-hee, Ok, dan semua guru.

Yeona pernah terjebak dalam situasi serupa kala masih bersekolah. Waktu itu terjadi kasus tawuran dan polisi memeriksa siapa saja murid yang terlibat dalam kasus. Keadaan dan suasana sangat mirip dengan situasi sekarang.

*

Sementara itu Ja In meneguk liur sendiri ketika Chung-hee memberi lirikan tajam kepadanya.

"Apa kamu yakin tidak lupa menaruh jam tangan pintar di suatu tempat?" selidik Chung-hee.

Ja In merinding ketika mengangguk. Ini kebohongan besar pertamanya. "Iya, seseorang mengambil benda itu ketika aku berlatih."

"Banyak jam tangan pintar, bagaimana kita tahu jam tanganmu berbeda dengan yang lain?"

Dengan suara bergetar Ja In menjawab, "Terdapat tanda pahatan spesial, bunga merah bertulis Ja In di sana." Pahatan tangan Yoo Joon kala memberi benda itu untuk Ja In dulu.

Ok merangkul sayang Ja In, mengecup keningnya. "Jangan sedih. Kita akan menemukan siapa pencuri jam tangan pintarmu." Ia berpaling pada Chung-hee, menanti perintah selanjutnya.

Chung-hee melamun, memandnag lekat Yeona.

"Kak Chung-hee, apa kita perlu memanggil polisi?" tanya Ok.

"Jangan, tidak perlu," sela Ja In. "Kalau memanggil polisi, nanti nama baik balai tercemar."

Alasannya terdengar relevan, tapi sebenarnya ia takut jika Yeona benar-benar ditahan polisi. Bisa panjang urusan.

"Periksa semua kamar, cari jam tangan hitam berlambang bunga mawar bertulis Ja In di belakang kepala jam," perintah Chung-hee pada pegawai balai.

Semua petugas pergi menjalankan perintah Tuan Muda, hanya guru gendut berada di auditorium mengawasi gerak-gerik murid bersama satpam.

Ja In tertunduk lemas. Ia menyesal mengikuti rencana bodoh Ok. Sekarang dia tidak bisa mundur, harus terus maju dan hidup dalam penyesalan juga ketakutan.

Tiba-tiba seseorang menggenggam telapak tangannya.

"Dingin. Hanya ketika kamu berbohong atau ketakutan telapak tanganmu membeku," ucap Yoo Joon dengan suara lembut.

Tiada keberanian Ja In memandang balik ratapan lembut pemuda berwajah babyface itu.

Pemuda di samping menariknya menuju sudut paling atas auditorium, tapi Ja In menolak.

"Jangan memperkeruh keadaan. Ayo, aku ingin mengatakan sesuatu," ajak Yoo Joon.

"Di sini saja."

"Ini mengenai hubunganku dan Yeona, juga dirimu. Ayo, aku ingin bicara empat mata denganmu."

Paksaan Yoo Joon membuahkan hasil. Ia berhasil membawa Ja In menuju bagian paling ujung Auditorium.

Ja In bersandar ke dindin, sementara Yoo Joon berada di sebelahnya sedikit menunduk memandang lekat pada gadis itu.

"Katakan, apa semua ini ada hubungan dengan kejadian tadi pagi?"

"Apa maksudmu?" Ja In memandang ke arah panggung, tapi pemuda di sampinh membimbing dagu untuk memandangnya.

"Apa semua ini rencanamu?"

Ja In menepis tangan Yoo Joon, hendak kembali ke kerumunan murid karena takut jika kebohongan dan rencana liciknya dengan Ok terbongkar.

Yoo Joon menahannya, mendorong lembut pundak ke tembok.

"Dengar, dengar baik-baik. Aku tidak akan mengulang ucapanku."

Ja In memberanikan diri mengangkat kepalanya. Jarang ia mendapati raut wajah serius Yoo Joon seperti sekarang.

"Ja In, Yeona tidak pernah menyukaiku. Dia menganggapku sebagai adik."

"Kamu tidak tahu isi hati wanita."

Yoo Joon menggeleng. "Tapi aku tahu Yeona menganggapku sebagai adik."

"Lalu ciuman waktu itu?"

Yoo Joon menyeringai kecil, lalu menggeleng. "Aku yang memaksanya. Semua rencana Ok untuk membantuku memiliki Yeona. Tetapi sampai akhir dia menolakku."

Ja In kaget. "Aku rasa Yeona berbohong. Dia hanya ingin bermain susah didapat–"

"Pada awalnya aku pikir juga begitu, tapi tidak. Kami pacaran selama beberapa menit, lalu dia mencampakkanku begitu saja."

Yoo Joon melepas dominasinya pada tubuh Ja In, tapi gadis itu tetap berdiri di tempat. Ia terlalu penasaran untuk bergerak.

"Mencampakkanmu?"

Yoo Joon mengangguk. "Statusnya berubah dari pacar menjadi mantanku dalam hitungan menit. Bahkan dia menyuruhku melihat lebih dekat siapa yang mencintaiku."

Ja In membayangkan bagaimana Yoo Joon dicampakkan Yeona, ia tertawa sambil tangan menutup mulut.

Berdecak kesal, Yoo Joon menjawab, "Aku serius. Dan aku tahu siapa yang mencintaiku selama bertahun-tahun. Sosok yang selalu ada untukku."

Ja In berhenti tertawa, berdehem kecil memandang wajah serius Yoo Joon. "Siapa?"

Yoo joon memberi kecupan kilat untuk bibir mungil Ja In. Kecupan yang membuatnya membatu dalam senyum.

"Ja in? Hei, ada apa denganmu." Yoo Joon menggerakkan telapak tangan di depan muka gadis itu, tetap gagal membuat dia berkedip.

Setelah bertahun-tahun menanti momen ciuman pertama, akhirnya Ja In mendapat apa yang ia mau. Rasanya manis dan kilat.

Perlahan rasa itu hilang dan ia kembali ke realita. Yeona gadis baik. Ia bahkan mendorong Yoo Joon untuk sadar jika Ja In selama ini memendam rasa cinta padanya.

Andai tiada Yeona, mungkin pemuda di hadapannya selamanya akan memandang dia sebagai sepupu.

Yeona merupakan dewi penolong dan Ja In membalas semua kebaikan dengan memotong sayap bidadari? Monster seperti apa dirinya!

"Yoo Joon, aku melakukan hal hina. Aku melakukan dosa besar, bagaimana ini?"

"Menciumku hal hina dan dosa besar? Ya Tuhan, dasar gadis tidak tahu diuntung! Kamu tahu, beratus-ratus wanita ingin menciumku!"

"Diam bodoh, bukan ciuman tapi–"

Belum usai Ja In berkata, pintu utama ruang auditorium terbuka. Beberapa staff masuk.

"Aku tidak percaya, ternyata gadis itu pelakunya," ucap seorang staff, masuk ke auditorium membawa tas ransel dan tas lengan hitam Yeona.

"Payah, padahal ia berbakat, cantik, dan sepertinya baik."

Dua staff melangkah menuju panggung.

Seketika obrolan ringan mereka membuat Ja In sadar jika semua berakhir.

Yeona tidak salah, seharusnya ini tidak perlu.

"Ja In, ada apa, kenapa wajahmu pucat? Apa ciumanku seburuk itu? Mungkin Yeona menolakku karena ciumanku buruk?"

Ja In menjambak kesal pemuda itu. "Yeona dalam bahaya. Kita harus menolongnya!"

"Apa? Bagaimana bisa dia dalam bahaya? Apa … apa hilangnya jam tangan milikmu ada hubungan dengan semua ini? Apa kamu mencoba menjebak Yeona?"

Ja In malu mengakui hal ini, tapi ia mengangguk lalu berbicara dengan panik. "Aku menyesal Yoo Joon, aku sangat menyesal. Tolong bantu aku, bagaimana cara menyelamatkan Yeona. Dia tidak bersalah."

Yoo joon mendorong-menarik tubuh Ja In. "Tunggu, maksudmu apa? Apa yang kamu lakukan? Katakan, cepat katakan!"

Ja In menceritakan semua yang ia lakukan dengan jam tangan pintar. "Semua ide Kak Ok. Sungguh, semua idenya."

"Kalian sungguh kejam!"

"Aku melakukannya karena Kak Ok bilang kamu mempunyai rencana hendak meniduri Yeona malam itu!"

Mata Yoo Joon membesar. "Meniduri? Mana berani aku melakukan itu, terlebih di balai … sudahlah, tidak penting. Sekarang kita harus menyelamatkan Yeona, atau ia bisa diusir dari balai. Lebih buruk lagi, ia bisa ditangkap polisi!"

Mereka berdiam diri,berpikir keras, hingga Yoo Joon menjentikkan jari. "Aku punya ide."

****