webnovel

16. Pangeran Gagah Balai

"Kau menuduhku menerima sogokan?!" Wajah paman kumis memerah seperti daging rebus. Bagi pengajar senior, tuduhan Chung-hee adalah penghinaan besar!

Chung-hee tidak asal menuduh. Dia punya hak dan landasan kuat sebagai wakil kepala balai, orang nomor satu ketika ayah tidak ada.

Dia menaruh i-pad ke meja. Telunjuknya mengetuk layar i-pad. "Kenapa ada satu kamar kosong? Buat apa kamar itu kalau bukan buat anak titipan."

"Ya … ya buat–"

"Beri ke wanita bernama Yeona. Dia punya kemampuan dan berhak mendapat kamar."

"Tidak bisa …." Suara paman kumis merendah.

"Paman pasti lelah. Duduklah, kita diskusi sambil minum teh."

Paman kumis dibantu Bu Big duduk di kursi nyaman. Chung-hee menghirmati senior. Dalam marahnya dia masih memikirkan persendian kaki paman. Kasihan dia berdiri terlalu lama. Mereka meneguk teh hijau pahit supaya amarah mereka mereda.

Terlepas dari semua ini, Chung-hee benci titip menitip dalam hal pelatihan, kerja, dan sebagainya. Menurut dia, setiap manusia memiliki hak sama. Tekat dan bakat adalah pembeda antar setiap individu. Jika ada 'titipan', sama saja merebut hak orang lain.

Bahkan Yoo Joon dan Ja In harus ikut tes terlebih dahulu untuk masuk ke balai pelatihan, walau Yoo Joon adik kandung Chung-hee dan Ja In sepupunya.

Ok berbisik, "Semua salahku. Seharusnya aku tidak memasukkan dia ke dalam daftar peserta tes."

"Kita menemukan berlian yang belum terasah, bukan sampah. Jadi itu kesalahan yang bagus untuk balai."

Paman kumis telah tenang. Waktu untuk memulai sesi diskusi dengan kepala dingin bisa berlangsung.

Chung-hee membuka diskusi. "Paman, katakan kenapa kita punya kamar kosong. Tenang saja, aku tidak akan marah. Mungkin kamar rusak dan perlu diperbaiki? Katakan saja."

Paman memandang bu Big, lalu mengangguk kecil. "Sebenarnya kita menanti seseorang."

"Jadi benar ada anak titipan?" sahut Ok.

Paman dan bu Big mengangguk.

"Satu kamar kosong untuk murid titipan nenek Gao," sahut paman kumis. "Beliau berpesan untuk menerima kenalannya sebagai murid di balai. Kami bisa apa, dia orang nomor satu bahkan ayahmu tidak bisa berkutik di hadapannya."

Yang membuat Chung-hee kaget juga bersemangat adalah bagaimana mereka bisa menghubungi nenek. Nenek Gao menghilang dua tahun yang lalu dan tidak bisa dihubungi.

"Kalian bertemu nenek Gao?"

Paman dan Bibi menggeleng. Lalu Bu Big menjawab, "Beberapa hari yang lalu ayahmu mendapat video call dari nenek. Dia meminta kita menyediakan satu kamar spesial untuk wanita dan menyambut temannya. Dia ingin kita melatihnya."

"Jadi teman nenek bisa masuk tanpa tes?" Sahut Ok.

Bu Big mengangguk. "Mungkin dia wanita tua yang ingin merasakan kehidupan di balai."

Chung-hee mengangguk. Teman nenek pasti sama tuanya dengan nenek, tetapi tetap saja kasihan Yeona. "Sekarang mana wanita tua temannya nenek?"

Bu Big dan Paman Kumis menggeleng. Jelas mereka tidak tahu.

Dengusan Chung-hee terdengar jelas. "Begini saja, kita tunggu sampai malam kalau teman nenek tidak datang, kamar kita beri ke Yeona. Bagaimana?"

"Nanti kalau ayahmu tahi, bagaimana?" tanya Paman. Nada bicaranya seperti orang ketakutan.

"Semua tanggung jawabku." Chung-hee bangkit menghampiri Paman berkumis, membungkuk penuh di hadapannya "Maaf atas tuduhanku tadi. Aku terlalu kasar dan tidak menghormati Paman."

"Aku juga minta maaf karena tidak jujur dari awal."

Bu Big menambahkan, "Paman Kumis tidak ingin membuatmu berpikir Nenek memanfaatkan kekuasaan, jadi dia merahasiakan darimu."

Chung-hee mengangguk. Rapat selesai dan mereka bubar. Chung-hee ingin menendang sesuatu, tapi dia menahan keinginan itu.

Kau tidak bisa merubah apapun tanpa kemampuan untuk itu.

Chung-hee keluar ruang rapat bersama Ok. Mood-nya buruk.

"Ok, sampaikan hasil rapat pada peserta."

"Bagaimana dengan Yeona?"

"Suruh menunggu sampai besok. Jika titipan tidak datang, dia berhak mendapat tempat di balai Changuk Boseong."

Ok mengangguk pelan penuh ketidak yakinan. Bagaimana jika teman nenek datang? Tetapi dia enggan membahas lebih lanjut

*

Malam kembali tiba.

Chung-hee baru keluar kamar hendak menuju kantin mencari makanan kecil, tapi bukan

"Semoga kau kena sembelit!" Keluh kesah Ja In, menaiki tangga, menghambat langkah Chung-hee yang hendak menuruni anak tangga.

"Ada apa, kenapa ribut?"

"Kak Chung-hee, maaf. Yoo Joon berulah."

"Ada apa?"

"Tanya saja dia." Ja In memandang jijik Yoo Joon sambil melangkah pergi.

Chung-hee penasaran ada apa, kenapa Yoo Joon memungut beberapa paha ayam goreng di lantai sambil bergumam tidak jelas.

"Memalukan. Kalau kau lapar, ambil ayam di kantin. Buang ayam yang sudah kotor."

"Ah Kakak, ini juga mau aku buang."

"Kenapa kamu memungut ayam" selidik Chung-hee, membantu adiknya mengambil remahan ayam tepung, membuang ke tong sampah. "Dan kenapa ceroboh sekali membuang banyak paha ayam. Kau harus menghormati makanan–"

"Ya ya yaa, salahkan aku untuk semuanya. Dengar, Kak, ini perbuatan Ja In. Dia membuang semua ayam yang aku beli."

Ja In kadang bisa brutal kalau lepas kendali, Chung-hee memilih pergi jika itu terjadi "Kenapa dia marah?"

"Aku ingin berbagi ayam dengan Yeona. Entah apa yang salah."

"Ada apa dengan Yeona?"

"Dia belum makan dari pagi."

"Belum makan? Apa dia sedang diet? Sekarang sudah malam, seharusnya dia menginap di hotel."

"Tasnya dicuri orang. Dia tidak punya uang sepeser pun. Bahkan tadi siang aku yang membayar taksinya. Sekarang aku membeli banyak ayam di kafe depan, dan lihat … dua puluh ribu won terbuang begitu saja." Kesal Yoo Joon menutup tong sampah plastik di sudut tangga, lalu pergi begitu saja dengan langkah berat dan gumam tidak jelas.

"Di mana Yeona?"

"Di sana, depan ruang resepsionis. Setelah selesai audisi dia duduk di sana."

Chung-hee tidak percaya dengan apa yang adiknya katakan. Mana ada wanita yang setia menunggu sampai pagi dengan duduk - duduk di seberang meja resepsionis.

Langkahnya terhenti mendapati Yeona duduk bersandar sandaran bangku kayu panjang sambil memandang jalan nan jauh di seberang lapangan.

Ternyata Yoo Joon tidak berbohong. Chung-hee pergi ke kantin menganbil makanan yang ada lalu mengisi perut koosngnya hingga kenyang.

Pikirannya tersita pada Yeona. Kasihan dia, semua barangnya hilang dan tidak punya uang. Seharusnya dia berada di kamar sekarang, tapi karena kenalan nenek Yeona tersiksa di sana.

Padahal dia melihat bakat terpendam Yeona. Terlebih dia seperti pernah bertemu Yeona. Jauh sebelum pertemuan mereka di gerbong kereta api.

Setidaknya dia harus meringankan derita Yeona dengan makanan dan minuman. Chung-hee membawa makanan yang dia butuhkan, pergi menemui Yeona.

Langkahnya terhenti di dekat meja kosong resepsionis. Dalam kegelapan dia mengintip Yeona.

Chung-hee mau membuka perbincangan dengan kalimat apa? Dia bukan tipe seperti adiknya yang ceplas ceplos kekanakan. Dia kuper dan kaku.

****