BAB 19
Tanah Deli, awal September 1932
Malam sudah datang… Jacky Fernandi baru saja memulangkan sepuluh murid remajanya. Mereka bertandang ke rumahnya pada jam terakhir dia mengajar bahasa Inggris dan bahasa Belanda.
"Ibu pergi dulu ya, Jack… Jaga Ivana baik-baik…" senyum Nyonya Gladys.
"Ibu ada mengajar memasak malam ini?"
"Iya… Di Restoran Miranda sana loh… Jaga Ivana baik-baik ya, Jack… Sepertinya istrimu agak kurang enak badan tadi Ibu tengok," kembali Nyonya Gladys mengulum senyuman misteriusnya dan berlalu. Pintu ditutup rapat dari luar oleh Nyonya Gladys.
Jacky Fernandi mengerutkan dahinya. Kenapa Ivana kurang enak badan kok aku tidak tahu? Kok jadinya Ibu yang tahu? Aduh! Apa aku terlalu sibuk mengurus murid-muridku sampai-sampai aku kurang memperhatikan kondisi kesehatan Ivana?
Jacky Fernandi segera bergegas ke kamar tidur mereka. Tampak sang istri sedang menelan beberapa butir obat dan vitamin dengan segelas air putih di atas meja riasnya. Ivana berpaling dan memandangi sang suami dengan sebersit senyuman cerah.
"Sudah siap gelombang terakhir, Jack? Sudah jam tujuh juga… Ayo makan… Hari ini aku dan Ibu masak ayam semur kesukaanmu," Ivana menggandeng tangan sang suami dan membawanya ke ruangan dapur.
Jacky Fernandi menghentikan langkah-langkah sang istri sejenak. "Sebentar… Kenapa aku bisa sampai tidak tahu kau sedang tidak enak badan?"
"Aku baik-baik saja kok… Aku merasa sangat segar nan bersemangat," mulai timbul rona merah pada kedua belahan pipi Ivana.
"Ini obat dan vitamin untuk apa kalau kau baik-baik saja?" Jacky Fernandi menunjuk ke beberapa obat dan vitamin yang ada di atas meja rias Ivana.
"Itu… Itu…"
"Ya ampun, Ivana… Sebegitu susahkah kau mengatakan apa penyakitmu kepadaku? Aku suamimu loh, Ivana…" Jacky Fernandi tampak menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
"Itu… Itu… Aduh! Aku malu sekali…" Ivana meledak dalam tawa renyahnya dan kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Astaganaga! Apa sebenarnya yang telah terjadi, Ivana?" Jacky Fernandi benar-benar tampak tegang dan panik.
"Itu adalah obat dan vitamin penguat kandungan, Jacky Sayang…" kata Ivana kini berbalik membelakangi suaminya.
Jacky Fernandi terhenyak kaget bukan main. "Apa? Jadi kau sudah berisi juga?"
"Tentu dong… Aku masih muda dan sehat. Kenapa tidak bisa berisi juga, sama seperti Belinda? Kan tiap malam kau injak gas terus, Jacky Sayang… Tentu saja aku bisa berisi juga dengan cepat…" kata Ivana sedikit berseloroh.
"Astaga, Ivana Sayang… Aku… Aku…" Jacky Fernandi meledak dalam tawa renyahnya dan ia terduduk di atas tempat tidurnya.
"Kenapa? Kau tidak senang dengan berita ini?" Ivana pura-pura bersungut-sungut.
Sang suami meraih sang istri ke dalam pelukan. Sang suami menghujani istrinya dengan ciuman ke pipi, ke bibir dan ke seluruh wajah sang istri secara bertubi-tubi.
"Aduh! Geli, Jack…" Ivana meledak dalam tawa renyahnya.
"Tentu saja aku bahagia sekali, Ivana Sayang… Bahagia sekali… Kini aku bisa mengimbangi percakapan Kenny jika dia terus-terusan membahas soal kehamilan Belinda. Kini aku juga bisa menjadikanmu sebagai trending topic di klub 3P," Jacky Fernandi mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir, dan kemudian ke kening sang istri.
"Siapa yang menemanimu ke dokter? Kok kau tidak bilang ke aku sehingga aku bisa menemanimu ke dokter?" Jacky Fernandi kembali sedikit mengerutkan dahinya.
"Itu aku ke dokternya tiga hari lalu, ditemani Ibu. Waktu itu habis mengajar, kau langsung sibuk di 3P dengan segala surat-menyuratmu kan? Aku tidak ingin merepotkanmu, Jack… Toh pada akhirnya nanti kau juga akan tahu…" senyuman menawan Ivana melambungkan jiwa Jacky Fernandi ke langit ketujuh pada malam hari itu.
Untuk beberapa menit ke depan, Jacky Fernandi lupa dia dan istrinya akan makan malam. Dia beberapa kali mendekatkan telinganya ke perut istrinya padahal usia kandungan istrinya baru saja memasuki minggu ketiga.
Keesokan harinya, benaran Jacky Fernandi menjadikan kabar kehamilan istrinya sebagai trending topic di klub 3P. Banyak kenalan dekat dan teman dekat – termasuk Kenny Herry, Boy Eddy, Belinda, dan Valencia – yang memberinya ucapan selamat. Kenny Herry, Boy Eddy, Belinda, dan Valencia bahkan datang ke rumah memberi ucapan selamat kepada Ivana.
Kebahagiaan mulai menyelangkupi keluarga Yiandra dengan hadirnya calon buah hati mereka.
***
Mendadak Belinda terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya. Dia jelas mendengar sesuatu dari pintu belakang. Dia cepat-cepat turun dari tempat tidurnya. Keadaan kamar tidurnya dalam keadaan gelap gulita. Listrik memang merupakan barang langka pada zaman itu. Hanya beberapa keluarga berada, seperti keluarga Wangdinata, yang bisa menikmati listrik. Karena Belinda hanya seorang saja, dan suaminya sedang tidak berada di rumah, dia merasa lebih baik dia mematikan panel listriknya ketika dia tidur. Untuk penghematan, pikirnya…
Namun, di tengah malam begini, dia mendengar suara-suara tidak jelas dari pintu belakang yang dekat dengan dapur di lantai bawah. Dia mulai merasa tercekat. Dia mulai menyalakan senter. Senter diarahkan ke jam dinding kamarnya. Pukul dua dini hari… Perasaan Belinda mulai terasa tidak enak. Dia harus bergegas ke lantai bawah dan melihat apa sebenarnya yang sudah terjadi. Tangan menyambar sebuah tongkat kasti di sudut kamar tidur yang biasa dipakai sang suami ketika ia bermain kasti dengan kedua sahabatnya dan anggota-anggota dari 3P.
Belinda membawa lampu senter dan tongkat kasti keluar kamar dan perlahan-lahan menuruni tangga. Takut dan gelisah mulai menggeligit. Belinda merasa telapak tangannya mulai berkeringat. Kedua tangan mulai terasa bergelugut ketika kedua kaki perlahan-lahan mulai mencapai anak tangga yang paling bawah. Sampailah Belinda di lantai bawah. Suara kasak-kusuk dari ruangan dapur dan bagian belakang rumah semakin jelas. Belinda menahan napas dan terhenyak bukan main ketika dia benar-benar melihat sesosok orang yang tidak dikenalnya, dalam balutan pakaian serba hitam, yang bahkan menutupi wajahnya.
Belinda mengumpulkan segenap keberaniannya. Dia mendekati sosok tersebut secara diam-diam dari belakang. Setelah mendekat, tongkat kasti segera melayang ke punggung sosok tersebut. Sosok tersebut berteriak kesakitan. Tongkat kasti terjatuh ke lantai, menimbulkan suatu kegaduhan yang begitu nyaring di tengah-tengah malam.
Sosok tersebut berpaling dan mendapati Belinda ada di ruangan dapur tersebut. Dia mengeluarkan sebilah pisau dari dalam pakaiannya. Di bawah sinar rembulan yang menerobos masuk ke dapur melalui jendela, benda tersebut tampak berkilau. Belinda menjerit melihat kilauan benda tersebut.
"Tolong…! Tolong…!" Belinda mulai berlari ke bagian depan rumah. Sosok tersebut mengejarnya dari belakang.
Sesampainya di bagian depan rumah, Belinda cepat-cepat menghidupkan kembali panel listriknya. Dalam sekejap seisi rumah menjadi terang-benderang.
"Percuma saja kau menyalakan lampu. Tak ada orang di sini. Tak ada orang di sini yang bakalan mendengarkanmu dan datang menolongmu…" terdengar tawa mengerikan dari sosok dalam balutan pakaian serba hitam tersebut.
"Si… Si… Siapa kau? Apa yang kauinginkan?" Belinda sangat ketakutan. Dia sadar betul jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya.
"Tadinya aku ingin langsung menghabisimu saja, Nyonya Wangdinata. Tapi, begitu melihat parasmu yang cantik jelita ini, mendadak aku berkeinginan lain sekarang. Mungkin… Mungkin aku bisa menikmati tubuhmu dulu sebelum aku mengirimmu ke neraka, Nyonya Wangdinata…" terdengar tawa mengerikan dari sosok hitam tersebut.
Belinda hendak berlari lagi. Akan tetapi, tangannya dicegat oleh sosok hitam itu. Belinda menjerit tidak berdaya. Satu tamparan didaratkan ke wajahnya. Belinda sangat shocked dan dia sungguh tidak berdaya lagi setelah itu. Dengan kasar, sosok hitam itu mendorongnya dan dia terhempas ke sofa panjang ruang tamu rumahnya. Sosok hitam tersebut mulai melucuti pakaian Belinda ketika mendadak tubuhnya ditarik oleh seseorang dari belakang dan satu tinju mendarat di wajahnya. Sosok hitam tersebut terjatuh ke meja kaca. Meja kaca pecah berkeping-keping di lantai. Sosok hitam tersebut tampak terbaring di atas pecahan-pecahan kaca dengan tidak berdaya.
Kenny Herry segera mengangkat tubuh Belinda yang sudah setengah tidak sadar dari sofa dan merapatkan kembali pakaiannya. Beberapa anak buah Kenny Herry juga ikut menerjang masuk ke dalam rumah. Sosok hitam tersebut bangkit lagi dan menyerang siapa pun yang ada di hadapannya dengan membabi buta.
Rencananya sudah gagal total. Melva Cendana mengatakan Kenny Herry baru akan sampai di Tanah Deli ini besok pagi. Bagaimana mungkin jam duaan dini hari ia sudah sampai di rumahnya? Apakah perkiraan Melva Cendana salah atau memang Kenny Herry ini sudah bisa memperhitungkan segala langkah dan rencana Melva Cendana dengan begitu tepat? Apa pun ceritanya, dia harus melarikan diri dari rumah ini sekarang.
Baku hantam tak terelakkan lagi. Terjadilah pertarungan seru di ruang tamu Kenny Herry antara sosok hitam tersebut dengan beberapa anak buah Kenny Herry. Boy Eddy dan Jacky Fernandi juga muncul di ruang tamu rumah Kenny Herry dan keduanya sungguh terhenyak kaget dengan adegan pertarungan seru yang sedang terjadi di dalam.
"Siapa itu? Jangan-jangan…" Boy Eddy dan Jacky Fernandi saling berpandangan sesaat.
"Untung saja aku mempercepat waktu kepulanganku. Untung saja… Sebenarnya aku mau menginap di hotel saja malam ini. Aku tidak ingin menyuruh Belinda bangun tengah malam dan membukakan pintu untukku. Namun, ketika mendengarkan cerita kalian soal perbuatan si Melva Cendana itu terhadap Belindaku siang tadi, aku memutuskan untuk pulang malam ini juga dan menengok keadaan Belinda. Ternyata firasatku benar… Sejak dalam perjalanan pulang tadi, firasatku sudah tidak enak…"
"Jangan-jangan… Jangan-jangan sosok hitam ini adalah orang suruhan si Melva Cendana itu?" Jacky Fernandi dan Boy Eddy tampak membelalakkan mata mereka. Panik masih menggelimuni padang sanubari hati.
Baku hantam terus berlanjut. Sosok hitam tersebut mulai tidak berdaya. Dia melemparkan pisaunya ke arah tempat tiga sahabat The Amazing Boys berdiri. Kenny Herry dengan sigap mendorong mundur kedua sahabatnya. Sambil memeluk istrinya, dia berdiri membelakangi pisau tersebut. Pisau melesat dengan cepat. Pisau akhirnya menancap pada bahu kanan belakangnya. Kenny Herry memekik kesakitan. Tubuhnya dan tubuh istrinya terlihat mulai ambruk. Jacky Fernandi dengan sigap menampung tubuh keduanya.
Satu anak buah The Amazing Boys mengeluarkan pistol pendeknya. Pistol ditembakkan tiga kali ke arah sosok hitam. Peluru yang ketiga mengenai dahinya dan akhirnya meruntuhkan pertahanannya. Sosok hitam tersebut ambruk ke lantai. Sejurus kemudian, ia tidak bergerak lagi. Boy Eddy bergerak ke mayat sosok hitam tersebut. Boy Eddy menanggalkan penutup wajahnya dengan kasar.
"Ini kan si Bruce Julian Tango yang tersohor itu kan?" kata salah satu anak buah The Amazing Boys.
"Kau mengenalnya?" tanya Boy Eddy.
"Dia putra kedua dari si pemilik pabrik kain di Jalan Putri Hijau, Boy…" jawab si anak buah. "Dan aku… aku pernah melihatnya datang beberapa kali ke rumah sebelah menemui Melva. Tidak kusangka dia juga berani menyelinap masuk ke rumah ini untuk menjahati Belinda."
Boy Eddy, Jacky Fernandi, dan Kenny Herry yang masih mengerang kesakitan tampak saling bertatapan sesaat.
"Keluarkan pelurunya dari kepala dan badannya. Habis itu, buang mayatnya ke sungai saja…" kata Boy Eddy. Jacky Fernandi dan Kenny Herry mengangguk.
"Jangan sampai terlihat orang-orang ya… Dia datang ke sini tanpa sepengetahuan yang lain. Anggap saja kematiannya itu misterius dan sama sekali tidak ada yang tahu kenapa ia bisa sampai dibunuh orang…" sambung Jacky Fernandi.
Beberapa anak buah The Amazing Boys mengangguk dan mulai mengeluarkan mayat Bruce Julian Tango dari ruang tamu rumah Kenny Herry.
"Seseorang dari kalian tolong ke rumah sebelah dan bawa si Melva Cendana ke sini. Aku ingin dia menjelaskan tentang perkara ini sejelas-jelasnya," kata Kenny Herry memberi sebuah perintah.
Semua anak buahnya mengangguk mengiyakan.
"Kau masih bisa bertahan, Ken?" Belinda memegangi wajah sang suami dan memandangi mata sang suami dengan sorot mata cemas.
Kenny Herry tersenyum dan mengangguk. "Aku senang aku tidak datang terlambat, Bel… Aku senang aku berhasil menyelamatkanmu. Keselamatanmu adalah sumber kebahagiaan dan kekuatanku. Jangan khawatir, Belinda Sayang… Pisau sekecil ini takkan bisa mematikanku."
"Aku bawa kau ke rumah sakit…" kata Boy Eddy hendak memapah tubuh Kenny Herry.
"Tidak usah, Boy…"
"Tapi pisau itu menancap dalam juga, Ken… Luka itu harus ditangani di rumah sakit."
"Dan keesokan paginya ketika mereka menemukan mayat Bruce Julian Tango itu, polisi akan mengaitkan lukaku ini dengan kematiannya. Tentu saja aku tidak boleh ke rumah sakit."
"Dokternya itu adalah salah satu teman di panti asuhan yang sama denganku dulu. Jangan khawatir… Dia takkan membocorkan rahasia…" Boy Eddy tersenyum menenangkan.
"Tidak usah, Boy… Benaran tidak usah… Jangan khawatir… Aku memiliki banyak persediaan obat bius dan antiseptik di rumah ini. Kau dan Jacky bisa membantuku mencabut keluar pisau ini. Sisanya bisa ditangani dengan baik oleh Belinda."
Jacky Fernandi dan Boy Eddy saling berpandangan sesaat.
Belinda mencoba tersenyum menenangkan meski kesadaran dan kekuatannya belum sepenuhnya kembali. "Jangan meragukan pengetahuan medisku, Boy, Jacky… Selain belajar bahasa asing, pada minggu-minggu awal aku menikah dengan Kenny, aku juga ada mempelajari beberapa kemampuan medis dasar. Jadi…"
"Jadi… Jangan ragukan kemampuan medis dasar Belinda. Dia tak kalah dengan perawat yang ada di rumah-rumah sakit sana…" kata Kenny Herry masih mencoba untuk berseloroh.
"Belinda… Are you sure?" tanya Boy Eddy menatap lurus-lurus ke istri sahabatnya.
"Yakin kau bisa, Belinda?" Jacky Fernandi juga menatap lurus-lurus ke istri sahabatnya.
Belinda dan Kenny Herry meledak dalam tawa renyahnya.
"Jangan khawatir… Aku tahu bagaimana cara menangani suamiku dengan baik…"
"Sudah… Sudah… Kalian bisa bantu papah aku ke dalam kamar?" tanya Kenny Herry.
Sembari tersenyum sedikit sumbang, Boy Eddy dan Jacky Fernandi memapah sahabat mereka ke dalam kamar tidurnya.
***
Obat bius sudah disuntikkan Belinda ke luka suaminya. Sejurus kemudian, tampak Boy Eddy dan Jacky Fernandi mencabut keluar pisau tersebut secara perlahan-lahan. Darah merah segar segera dihentikan dengan obat pelambat aliran darah. Obat antiseptik dan obat antiinfeksi segera dioleskan dan dibubuhkan ke bahu kanan belakang suaminya. Perban dibalut dan diikat dengan rapi pada luka tersebut. Selesai sudah demonstrasi Belinda dalam memperagakan beberapa kemampuan medis dasarnya.
"Wah! Kau sungguh-sungguh hebat, Belinda…" kata Jacky Fernandi berdecak kagum.
Belinda hanya tersenyum cerah. Dia terlihat sibuk mencuci segala peralatan medisnya.
"Apakah Carvany dan Valencia bisa melakukan hal yang sama…?" tukas Kenny Herry dengan sebersit senyuman nakal dan pandangan mata yang penuh arti.
"Valencia jelas tidak bisa, aku jujur saja… Namun, untuk penanganan P3K, aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Valencia juga termasuk gadis yang bisa mempelajari segala sesuatu dengan cepat." Boy Eddy terlihat mengacungkan jempol kanannya dengan mantap.
"Carvany jelas bisa dong… Dia juga termasuk tipe gadis yang bisa mempelajari segala sesuatu dengan cepat…" kata Jacky Fernandi sembari tersenyum cerah dan mengedipkan sebelah matanya.
Ceria kembali menyelisir di rangkup pikiran tiga sahabat The Amazing Boys. Sambil tersenyum cerah, Belinda keluar dari kamar sebentar. Dia menyimpan kembali seluruh peralatan medis di tempat yang seharusnya.
"Oke… Kau juga sudah mau istirahat, Ken… Kami cabut saja dulu… Istrimu bisa menjagamu dengan baik. Jadi, kau sudah tidak memerlukan kami lagi…" tukas Boy Eddy sedikit berkelakar.
"Macam kalian tidak demikian ya…" kata Kenny Herry juga meledak dalam tawa renyahnya.
"Kami mau pulang dulu deh… Karena kau sudah tidak membutuhkan kami lagi, terpaksa kami mencari kasih sayang dari pasangan kami saja…" Jacky Fernandi mengedipkan sebelah matanya lagi.
"Tolong tolong deh, Jack… Kalian berdua sih enak… Aku yang menderita setengah mati menahan dahaga nih…" kata Boy Eddy pura-pura bersungut-sungut.
"Makanya itu, Boy… Jangan tunggu lagi… Apa lagi yang kautunggu sebenarnya? Valencia sendiri bilang dia sudah siap dengan sebuah pernikahan dan kehidupan berumah tangga," tukas Kenny Herry.
"Iya… Mereka sesama wanita sering tukar-menukar cerita juga – sama seperti kita. Valencia sendiri sudah siap kauajak hidup berumah tangga. Kau sendiri yang entah menunggu apa… Entah apa yang kautakutkan, Boy… Kaunikahi Valencia sajalah… Lagipula, kalian sudah tinggal serumah. Kalau kau tidak menikahinya, reputasi dan nama baiknya bisa rusak nanti. Dia bisa dicap sebagai wanita yang tidak-tidak oleh tetangga sekitar."
"Benaran dia bilang begitu?" Boy tampak membesarkan kedua matanya. "Selama ini dia tidak pernah memberikan sinyal-sinyal pernikahan kepadaku. Aku jadi kurang PD apakah dia mau atau tidak ketika kuajak menikah…"
"Kau ini jadi bodoh begitu menyangkut soal asmara ya…" Kenny Herry meledak dalam tawanya yang terbahak-bahak.
"Mana ada wanita yang mengutarakannya duluan. Kau yang harus berinisiatif dan mengajaknya menikah! Ada-ada saja kau ini…" Jacky Fernandi juga meledak dalam tawa renyahnya.
"Oke deh… Sudah hampir pagi nih… Gara-gara membicarakan soal rencana pernikahanku, tidak pulang-pulang kita nanti, Jack… Nanti ketika matahari sudah terbit, kembali aku akan mendiskusikan rencana pernikahanku dengan kalian di klub 3P. Ada ke klub 3P sebentar pagi nanti, Ken?" tanya Boy.
"Ada kok…" Kenny Herry mengangguk mantap.
"Iya… Ke 3P besok, Ken, Boy… Ada sesuatu yang ingin aku sharing besok pagi." Jacky Fernandi terlihat mengedipkan sebelah matanya. Sebersit senyuman misterius tampak menghiasi sudut bibirnya.
"Oke…" jawab Kenny Herry dan Boy Eddy serempak.
Boy Eddy dan Jacky Fernandi berpamitan dan segera berlalu dari kamar sahabat mereka.
***
Satu anak buah Kenny Herry masuk ke dalam kamarnya dan memberikan sebuah laporan.
"Melva Cendana sudah tidak tinggal di rumah sebelah, Ken. Dia membawa semua barang pribadinya dan pergi entah ke mana. Rumah sebelah sudah kosong dan gelap gulita. Hanya tertinggal barang-barang dan perabotan yang kaubeli, Ken."
"Dia melarikan diri ya… Aku semakin curiga Bruce Julian Tango itu adalah orang suruhannya." Kenny Herry terlihat mangut-mangut dan tenggelam ke dalam alam pikirannya sendiri.
"Jadi apa yang ingin kaulakukan selanjutnya terhadap Melva Cendana ini, Ken?" tanya si anak buah lagi.
"Selidiki saja terus ke mana dia pergi, Bang…" Kenny Herry membahasakan anak buahnya dengan panggilan 'Bang' karena si anak buah jauh lebih tua daripada dia beberapa tahun. "Jika ada informasi mengenai di mana ia bersembunyi, segera beritahu aku."
"Oke deh… Aku permisi dulu. Sudah jam tiga dini hari. Kau juga ingin istirahat…" kata si anak buah segera berlalu dari kamar Kenny Herry. Kenny Herry mengangguk mantap.
Sejurus kemudian, Belinda masuk ke dalam kamar. Dia sedikit mengerutkan dahinya.
"Belum tidur, Ken?"
"Belum, Sayang… Aku kesakitan pada bahuku nih… Sakitnya mulai berdenyut-denyut karena pengaruh obat biusnya mulai hilang. Bagaimana aku bisa tidur kalau begitu?" Kenny Herry sengaja menunjukkan sedikit kemanjaannya di hadapan sang istri.
"Oke… Aku temani sampai kau tidur…" Belinda naik ke atas tempat tidur. Kenny Herry berbaring di samping sang istri. Tangan sang istri membelai-belai lembut luka Kenny Herry yang kini terbalut perban.
"Terima kasih, Belinda Sayang. Aku tak tahu bagaimana aku harus melewati hari-hariku jika kau tidak pernah hadir ke dalam hidupku."
"Mungkin sekarang kau akan menikah dengan Melva Cendana dan sekarang yang berbaring di sampingmu adalah si Melva Cendana itu." Belinda tampak mengulum senyumannya.
Kenny Herry mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir istrinya. Belinda langsung terdiam.
"Jangan bicarakan soal wanita itu lagi, Bel… Besok pagi aku akan minta tolong pada Boy untuk mengeluarkan selembar surat pernyataan putus hubungan antara aku dan dia. Ke depannya apa pun yang terjadi pada wanita itu takkan menjadi tanggung jawabku lagi."
Belinda mengangguk. Dia terus membelai-belai luka sang suami.
Malam semakin sepi. Fajar segera menyongsong. Damai kembali merambak ke relung-relung hati Kenny Herry dan Belinda.
***
Siang ini mereka semuanya berkumpul di rumah Jacky Fernandi untuk memberi ucapan selamat kepada Ivana. Riamita Wulin, salah satu teman Ivana Pangdani di klub 3P juga datang memberi ucapan selamat.
"Selamat ya… Tidak kusangka dari selembar puisi perkenalan, akhirnya kini kau sudah mengandung dan sebentar lagi akan menjadi seorang ibu," tukas Riamita sedikit meledek Ivana.
"Tentu dong, Ria. Firasatku tidak pernah salah kan?"
"Iya… Iya… Anggap saja begitu…"
Belinda dan Valencia tertawa berbarengan.
"Memang si Ivana sudah jatuh cinta pada Jacky bahkan sebelum ia bertemu dan mengenal Jacky," ujar Valencia.
"Memang kekuatan puisi bisa sehebat itu, Ria," timpal Belinda.
"Makanya itu," sahut Riamita, "Dia jatuh cinta hanya dari sebuah puisi yang ditulis Jacky pada waktu itu. Berbulan-bulan ia mencari, akhirnya ia menemukan juga siapa penulisnya. Sejak hari ia berkenalan dengan si Jacky ini, sampai sekarang sungguh mereka tidak terpisahkan lagi deh."
Semuanya meledak dalam tawa santai mereka. Muka Jacky Fernandi sedikit memerah. Kenny Herry dan Boy Eddy hanya meremas-remas bahu sahabat mereka dengan lembut.
"Jadi kau sendiri bagaimana, Ria? Rencana masa depan kapan diwujudkan?" tanya Ivana sedikit meledek Riamita sekarang.
"Jodoh saja belum ada… Bagaimana bisa menikah dan menjadi ibu sepertimu? Ada-ada saja kau… Bukankah lebih baik kautanyakan pertanyaan ini kepada Valencia?" kali ini Riamita mengarahkan sepasang matanya kepada Valencia.
Yang laki-laki mengarahkan pasang mata ke Boy Eddy. Yang perempuan mengarahkan pasang mata mereka ke Valencia. Merah padamlah muka Boy Eddy dan Valencia.
"Jangan tanya padaku dong," Valencia mengulum senyumannya. "Semuanya tergantung pada keputusan Boy. Aku ikut dengan keputusan Boy saja."
Semuanya menyoraki dan mengalihkan perhatian kepada Boy sekarang.
"Belum kami bicarakan… Jika kami sudah mendiskusikannya dan sudah menentukan tanggal pastinya, kami pasti akan memberitahu dan mengundang kalian semua. Iya ya, Valencia?" tukas Boy Eddy.
Valencia mengangguk. Semuanya menyoraki Boy Eddy dan Valencia lagi. Semuanya meledak dalam tawa renyah mereka berbarengan.
"Undangan itu jelas harus dong," sahut Kenny Herry.
"Awas jangan sampai ketahuan oleh kami kau dan Valencia menikah diam-diam tanpa mengumumkannya kepada kami ya…" timpal Jacky Fernandi.
"Sudah pasti tidak akan deh! Kalian kira aku ini teman yang kikir dan pelit, sampai-sampai menikah saja pun bisa diam-diam dan tidak ada undangannya!" Boy Eddy tampak sedikit menunjukkan wajah cemberut.
Valencia dan yang lainnya meledak dalam tawa geli mereka. Valencia membelai-belai rambut Boy Eddy dengan segenap cintanya yang mengeriap di pesisir pantai pikirannya.
Kembali suasana rumah menjadi ramai. Teman-teman Ivana dari klub 3P berdatangan dan memberi ucapan selamat kepada Ivana dan juga kepada Jacky Fernandi. Nyonya Gladys tampak sibuk menghidangkan makanan dan minuman untuk tamu-tamunya. Baru pertama kali ini rumahnya ramai kedatangan begitu banyak tamu dari kalangan berpendidikan.
Tampak Ivana, Belinda, Valencia, Riamita dan yang lain sibuk terlibat dalam percakapan-percakapan santai mereka. Tiga sahabat The Amazing Boys menyingkir agak ke sudut ruang tamu rumah Jacky Fernandi dan terlibat ke dalam suatu pembicaraan tersendiri.
"Jadi apakah kunjunganmu kali ini ke Tanah Aceh membuahkan hasil?" tanya Jacky Fernandi dengan raut wajah cukup serius.
"Jangan khawatir, Jack… Sudah ada sedikit ganja yang kubawa pulang dari sana. Dengan sedikit ganja yang terjual ke orang-orang Belanda itu, aku yakin itu bisa membantu kita. Mereka akan addicted kepada ganja, dan ketika sudah mencapai tahap itu, stok persediaan ganja bisa kita hentikan. Ketika mereka sedang lengah, kita bisa melakukan penyerangan. Apakah rencana perampokan bank milik si jenderal Belanda itu sudah diberitahukan kepada anggota 3P yang lain, Boy?" tanya Kenny Herry dengan sedikit pandangan menerawang.
"Sudah… Kudengar si jenderal Belanda dan ibunya Ivana akan mengadakan pesta kecil-kecilan di Tanah Simalungun sana…" bisik Boy Eddy mengangkat alisnya dengan sinar mata penuh arti.
"Dan bank yang akan dirampok dan dibinasakan itu juga ada di Tanah Simalungun dan dekat dengan Tiga Balata bukan?" tanya Jacky Fernandi.
Boy Eddy mengangguk mantap. "Buat keonaran di pesta itu. Di saat perhatian mereka semua tertuju pada keonaran yang terjadi di pesta, perampokan bank akan terjadi. Di saat mereka tiba di bank, semuanya sudah terlambat."
"Oke deh… Jalankan saja sesuai dengan perencanaan Boy," Kenny Herry mengangguk. "Bagaimana menurutmu, Jacky?"
"Oke… Aku sependapat dengan Boy. Aku oke-oke saja… Yang penting sudah diberitahukan kepada seluruh anggota."
Ketiga sahabat The Amazing Boys bersulang. Kenny Herry meneguk jus blueberry-nya; Jacky Fernandi meneguk segelas jus tomat; dan Boy Eddy meneguk teh hijaunya.
***
Medan, 22 Mei 2018
Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lewat seperempat. Semua karyawan PT. Keramik Rusli sedang bersiap-siap membereskan meja kerja mereka dan bersiap-siap untuk pulang. Angela juga sedang bersiap-siap untuk pulang. Dia sudah menyimpan seluruh barang pribadinya ke dalam tas tangannya. Sebelum pulang, dia ingin buang air kecil dulu. Saat berdiri dan berpaling ke meja kerja Cindy Victoria Kosim yang masih kosong, dalam sekejap kenangan lama kembali menggelimuni. Sekelumit kisah masa lalu kembali menjelungkap.
Ada di mana Cindy sekarang? Apakah dia sedang tersiksa dibakar oleh api kebenciannya sendiri di neraka? Apakah dia bisa memikirkan kenangan baik dan kenangan manis kami walau hanya sesaat? Apakah ke depannya dia bisa berhenti membenciku?
Sampai sekarang mereka masih belum menemukan karyawan baru, yang sedang menjalani masa PKL, untuk menggantikan tugas dan tanggung jawab Cindy di sini. Apakah meja kerja Cindy akan selamanya kosong atau besok-besok hari sudah ada penggantinya? Semuanya hanya menyisakan sederetan tanda tanya yang selamanya takkan terjawab di benak Angela. Angela hanya bisa menghela napas panjang.
Angela berjalan ke arah kamar mandi. Untuk bisa sampai ke kamar mandi, dia harus melewati ruangan general manager. Dia melirik sebentar ke ruangan itu. Tampak perusahaan dengan sangat cepat sudah menemukan pengganti Nona Jessica Wong. Tentu saja posisi Nona Jessica Wong jauh lebih penting dibandingkan dengan posisi Cindy Victoria Kosim, sehingga perusahaan dengan sangat cepat sudah menemukan pengganti Nona Jessica Wong. Angela melihat yang menggantikan posisi Nona Jessica Wong adalah seorang laki-laki muda pertengahan dua puluhan dengan wajah tampan nan ganteng dan dengan perawakan tubuh tinggi putih nan bedegap.
Beginilah hidup… Jabatan juga tak bisa dibawa mati. Setelah kita meninggal, otomatis jabatan itu akan diambil orang. Angela kembali menghela napas panjang. Mendadak laki-laki pertengahan dua puluhan yang ada dalam ruangan kerja general manager juga menyadari sejak tadi Angela tengah memperhatikannya. Dia melemparkan sebersit senyuman ramah. Angela terkesiap sejenak. Dia juga membalas dengan melemparkan sebersit senyuman ramah sembari sedikit membungkukkan badannya. Sungguh tak disangka Angela, laki-laki muda tinggi putih tampan tersebut keluar dari ruangannya sejenak dan menyapa Angela, masih dengan sebersit senyuman ramahnya.
"Apakah… Apakah… kita pernah bertemu sebelumnya, Nona?" tanya si anak muda pertengahan dua puluhan.
Angela tampak sedikit mengernyitkan dahinya. "Tidak pernah, Pak."
"Habis wajah Nona begitu familiar. Sepertinya… Sepertinya entah di mana begitu, aku pernah bertemu dengan Nona. Perkenalkan… Aku general manager baru di sini. Namaku Gabriel Andreas… Kau boleh memanggilku dengan Gabriel saja." Gabriel Andreas mengulurkan tangannya.
Angela menyambut uluran tangan tersebut. "Aku Angela, Pak Gabriel…"
Sekelumit perasaan yang lain mulai menggeligit pucuk sanubari Angela. Terasa semacam ada keakraban jauh yang tidak asing… Apakah orang ini juga pernah hadir di masa lampauku? Jika ada, apakah… apakah dia termasuk orang baik atau orang jahat?
Mendadak Kenny Herry datang dan berdiri di belakang Angela dan melihat ke wajah Gabriel Andreas dengan kerutan yang sangat dalam di dahinya. "Siapa ini, Gel?"
"Oh, Ken… Kau sudah datang… Ini general manager kami yang baru. Namanya Gabriel Andreas. Pak Gabriel… Ini adalah pacarku, Kenny." Angela mencairkan kekakuan dengan memperkenalkan Kenny Herry dan Gabriel Andreas.
Mereka berdua saling bersalaman. Sekonyong-konyong, Kenny Herry juga merasakan adanya semacam perasaan lain yang melungkup di benaknya. Kenny Herry masih tampak mengernyitkan dahinya. Dia tidak bisa menebak perasaan apa yang sedang menggelimuni semenanjung batinnya.
"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Kenny?" tanya Gabriel Andreas sedikit menyipitkan matanya.
Kenny Herry menggeleng lembut, masih dengan kerutan yang sama pada dahinya. "Tidak pernah, Gabriel… Apakah… Apakah kau merasa wajah kami berdua begitu tidak asing?"
"Tentu saja…" Gabriel Andreas tersenyum kecut, sembari masih menyipitkan kedua matanya. "Sepertinya entah di mana begitu aku pernah melihat wajah kalian berdua."
"Ada apa sih, Gabriel?" terdengar suara seorang gadis muda dari dalam ruangan kerja Gabriel Andreas. Gadis tersebut keluar. Ia juga tertegun sejenak berhadapan dengan Kenny Herry dan Angela.
Kenny Herry dan Angela berhadapan dengan seorang gadis muda berambut panjang, berperawakan ramping dan berparas rupawan. Gabriel Andreas buru-buru memperkenalkan Kenny Herry dan Angela kepada sang kekasih guna mencairkan suasana kaku yang mulai menyelimuti.
"Ini pacarku, Kenny, Angela… Namanya Xava…" kata Gabriel Andreas memperkenalkan sang kekasih. Xava mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Kenny, kemudian Angela.
Kenny Herry dan Angela memperkenalkan nama masing-masing.
"Angela bekerja di sini juga?" tanya Xava dengan sebersit senyuman ramah, namun terkesan agak kaku karena memang Xava bukan orang yang murah senyum.
"Ya… Baru hari ini aku melihat sang general manager yang baru, Pak Gabriel ini."
"Panggil saja Gabriel, Angela… Kita berempat ini sebaya dan seumuran kan? Aku juga akan memanggil kalian dengan nama langsung saja ya…" Gabriel meledak dalam tawa renyahnya.
Kenny Herry hanya tersenyum simpul. Angela sedikit membungkukkan badannya dan tersenyum hangat, "Tidak masalah, Gabriel…"
Xava berusaha tersenyum seramah mungkin, "Kau mungkin salah paham, Angela. Gabriel ini adalah anak tunggal salah satu pemilik saham terbesar di PT. Keramik Rusli ini. Karena sampai sekarang mereka belum menemukan general manager yang baru, terpaksa Gabriel ini ditugaskan dulu ke Medan untuk sementara dan mengurus kantor cabang yang di Medan ini sampai ditemukannya general manager yang baru."
Kenny Herry hanya diam santai nan tak bergeming. Angela yang terlihat sedikit terperanjat kaget. Dari tadi dia tidak sadar dia sedang berbicara dengan anak direktur.
"Sama saja deh, Va… Aku juga masih kurang berpengalaman di bidang perusahaan ayahku ini. Sama-sama belajar saja kita, Angela…" kembali tampak Gabriel Andreas meledak dalam tawa renyahnya.
Angela hanya tersenyum, sedikit tersipu malu.
"Oke deh… Sudah saatnya kami cabut. Soalnya rumah Angela ada di Binjai. Aku harus mengantarnya pulang sekarang. Kalau tidak, nanti kemalaman," Kenny Herry mengakhiri percakapan tersebut secara halus. Jika tidak, bisa-bisa dia dan Angela berdiri terus di sana sampai matahari terbenam.
"Wah… Jauh sekali… Kalau begitu, aku takkan menahan-nahan lagi. Hati-hati di jalan…" kembali Gabriel Andreas melemparkan sebersit senyuman menawan.
"Sampai jumpa, Gabriel… Sampai jumpa, Xava… Sampai ketemu besok…" kembali Angela sedikit membungkukkan badannya dan akhirnya ia mengekori Kenny Herry berlalu dari hadapan Gabriel Andreas dan Xava. Sudah lupalah ia hendak ke kamar kecil tadi.
Angela mengikuti Kenny Herry ke meja kerjanya sebentar untuk mengambil tas tangannya. Sejurus kemudian, sudah tampak mereka meninggalkan areal kantor PT. Keramik Rusli.
"Sepertinya kau begitu terbuka dan jujur pada kedua orang itu, meski kau baru pertama kali bertemu dan mengenal mereka, Gabriel…" kata Xava Ximela mulai beralih ke kekasihnya.
Segelintir misteri mulai menyelimuti raut wajah sang kekasih. "Kau percaya pada déjà vu, Va?"
"Sudah kuduga itu yang akan kaubahas. Ya, jujur saja… Aku juga merasakan déjà vu ketika melihat wajah si Kenny Herry dan Angela itu. Entah di mana rasa-rasanya aku pernah melihat wajah kedua orang itu, tapi seingatku aku bertemu mereka dalam balutan pakaian China model zaman dulu itu loh, Gabriel – bukan dalam pakaian modern zaman sekarang loh…"
"Kau yakin?" Gabriel Andreas sedikit menyipitkan matanya dan menatap lekat-lekat ke kekasihnya.
"Iya… Tadi Kenny Herry memakai baju biru kan? Baju China zaman dulu yang aku lihat waktu itu juga berwarna biru – semacam biru Doraemon begitu…"
"Aku tidak begitu ingat dengan warna dan model pakaian mereka. Hanya saja wajah mereka itu begitu familiar. Kurasa aku harus berpikir keras malam ini supaya aku bisa ingat kapan dan di mana aku pernah melihat kedua wajah itu."
Gabriel Andreas dan Xava Ximela kembali masuk ke dalam ruangan.
Sementara itu, Kenny Herry dan Angela sudah sampai di pelataran parkir yang ada di samping Gedung Uniland. Tampak Angela sedikit melamun memikirkan sesuatu.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya si malaikat biru.
"Apakah Gabriel dan Xava tadi pernah muncul dalam kehidupan lampau kita, Ken?"
"Tidak pernah… Terus terang, aku juga agak bingung kenapa tadi ia bersikukuh bilang dia pernah melihat wajah kita entah di mana sebelumnya. Dia itu sama sekali belum pernah muncul dalam kehidupan lampau kita, Gel."
"Kau yakin?"
"Tentu saja aku yakin… Aku membawa seluruh ingatan masa lampauku ke kehidupanku yang sekarang sebagai seorang malaikat. Aku tidak mungkin bisa salah ingatan, Gel…"
"Oke deh… Entah misteri apa lagi nih yang muncul… Aku jadi terpikir ke Cindy, Ken… Ke mana ya dia sekarang…? Terlahir di mana dia sekarang…? Apakah sekarang dia masih menderita atau tidak…?" Angela seolah-olah bersenandika dengan dirinya sendiri dalam sorot mata menerawang.
"Kau mengingat lagi kehidupan masa lampaumu?" tanya Kenny Herry seraya sedikit menyipitkan matanya.
Angela mengangguk. "Ternyata Cindy adalah Melva di kehidupan lampau. Qomar Shia Putra adalah Bruce Julian Tango di kehidupan lampau. Sementara Audina Ivander, Calista Permata Halim, dan Irene Ivy adalah tiga gadis penghibur yang pernah melayani Bruce Julian Tango alias Qomar Shia Putra di kehidupan lampau. Entah kenapa dalam mimpiku kali ini, aku juga bisa melihat titik-titik kehidupan yang sebenarnya bukan bagian dari kehidupanku. Mungkin memang alam ingin memberitahuku bagaimana sistem hukumnya yang sebenarnya ya, Ken…"
"Anggap saja begitu… Anggap saja hukum alam sedang berkomunikasi denganmu, Gel." Kenny Herry tampak tersenyum lebar.
"Tiba-tiba saja, aku ingin melihat matahari terbenam dari puncak gunung, Ken. Bisa tidak kau membawaku ke puncak gunung, Ken?" mendadak Angela ingin melihat matahari terbenam dari atas puncak gunung.
"Kenapa tidak? Hanya puncak gunung… Bukan masalah sulit bagiku…" kata Kenny Herry menggenggam tangan Angela. Keduanya berubah menjadi dua berkas sinar warna biru dan terbang menghilang dari pelataran parkir tersebut.
Dua sinar muncul di sebuah puncak gunung di kawasan Danau Toba.
"Wah… Pemandangan yang sungguh indah dari puncak gunung ini, Ken… Tidak apa-apa nih kita melihat matahari terbenam dari sini, Ken?" tukas Angela kegirangan.
"Tidak apa-apa… Kan sudah minta izin dari si dewa naga penguasa sini. Dewa naga sini baik dan lemah lembut, asalkan kita mematuhi segala ketentuan dan peraturannya, Gel."
"Apa itu?"
"Tidak ada perbuatan mesum, tidak menyakiti apalagi membunuh makhluk-makhluk yang tinggal di dalam dan di sekitar danau, tidak membuang sampah sembarangan dan merusak alam." Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman menawannya. "Sayang sekali… Sering kali manusia menyepelekan peraturan-peraturan itu dan sama sekali tidak mengindahkannya."
Angela menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang. "Tentu saja kita takkan melanggar satu pun dari ketentuan-ketentuan itu, Ken. Kita ke sini hanya untuk menyaksikan pemandangan matahari terbenam."
"Ya… Lihat… Ada seberkas pelangi yang mengelilingi matahari di sana. Mungkin itu karena belahan langit yang sebelah sana tampak sedikit mendung dan turun sedikit gerimis ya…" Kenny Herry menunjuk ke matahari dan kemudian menunjuk ke belahan langit yang terlihat mendung.
Angela mengangguk. Dia terus menatap pemandangan yang ada di hadapannya dengan takjub. Sesekali angin sepoi-sepoi bertiup dan membuat rambut-rambut Angela bergeser lemah.
Tangan sang malaikat biru naik dan membelai-belai rambut sang putri pujaan hati yang tergeser sedikit tadi. Tatapan keduanya saling bertaut. Seperti biasa… Ketika tatapan keduanya sudah saling bertaut, cinta kembali menggeliat; kerinduan kembali menggeligit; dan asa bahagia kembali melungkup di semenanjung pikiran keduanya.
Tampak air danau terus beriak di bawah hangatnya sinar matahari sore. Air danau memantulkan kembali kilauan sinar mentari ke cakrawala biru di atasnya – seolah-olah bisa menembus horizon dan segala batasan.