webnovel

Bagaimana Penulis Membunuh

Aku bisa merasakan tanganku bergerak, dan luka itu semakin lebar, kasar, dan basah oleh darah. Aku menyukainya. Rasanya sama seperti berkubang dalam madu, dan selai kacang. Mungkin berbeda dari apa yang orang lain rasa, tapi bagiku, rasa-rasa seperti ini selalu menggodaku untuk berbuat lebih pada amis, dan kesakitan yang timbul dari diri orang lain.

Aku tidak bisa memungkiri bahwa sejak kecil, aku bertumbuh dengan rasa terpesona oleh warna yang keluar dari tubuh mahkluk hidup, dan diam-diam memperkuatnya dengan buku yang mengimajinasikan horror dari pembunuhan. Akar-akar sakit jiwa itu berputar-putar di kepalaku, dan tak mau ku hilangkan. Ya, tak mau, sesakit apapun itu, aku bukan tipe orang yang mengorbankan kesukaanku demi untuk terlihat normal. Dan aku tahu bagaimana memanjakan korbanku yang menggeliat, menjerit, dan sekarat karenaku.

Namun, aku tak benar-benar membunuh, aku segel semua fetisku dalam sebuah tulisan mencekam, yang membantuku pula dalam mengais pundi-pundi rupiah. Aku seorang penulis. Maaf atas pembukaan yang membuatmu merinding. Tapi pembukaan sudah seharusnya dibuat berlebihan, kan?

Aku meluapkan semua yang membanjiri, dan menyakiti otakku, dan meletakkannya pada ratusan halaman bagai kalimat sihir dalam fiksi-fiksi yang ku buat senyata mungkin. Awalnya hanya iseng untuk menakut-nakuti orang lain dengan cara yang dinilai berlebihan, namun bagai adiksi yang nyata, aku mulai tak bisa melepaskan hobiku ini.

Saat merasa bahagia aku menulis. Saat dilanda sedih aku menulis. Bahkan ketika mata ini tak sanggup tertidur, aku menulis untuk mengobatinya. Dan satu hal yang sudah tak lagi jadi rahasia, aku menulis untuk membunuh mereka yang menumbuhkan benci dalam hati. Cara halal, dan legal yang melindungiku dari ancaman kebencian yang ku palsukan jadi tokoh lain dengan cerita yang sama dengan hidupku.

Tak ada dukungan yang pantas untuk hobiku ini. Terlebih ketika semua orang di sekitarku tahu, bahwa hobi ini cukup sakit, dan tak menguntungkan secara finansial. Tapi tidak kali ini.

Aku berencana mengubah setiap pandangan yang meremehkan, lalu membantu setiap keinginanku jadi nyata, seperti sebuah kalimat sim salabim, dan hal yang ku inginkanpun terjadi dalam sekejap.

Malam ini, ku tuang lagi imajinasiku dalam robekan-robekan luka, yang dibuat dari simulasi tinta hitam di layar komputer portabelku. korbannya seorang wanita, ia rebah di atas ranjang, gusar, dan menanti pasrah apa yang akan terjadi padanya. Aku bisa membayangkan bahwa tubuh itu terlalu lelah untuk melawan, terlebih saat ia menggigit bibirnya yang ikut merasai logam tajam pada perutnya.

Satu tusukan menancap pada perutnya, merobeknya kasar, dan menciptakan jerit yang tak terdengar pada ruang hampa suara yang aku ciptakan. Wanita itu ingin memberontak, ia ingin lari dari siksaan yang menyenangkan kegilaanku. Tapi ia bisa apa?

Kedua tangannya mantap dalam besi yang memborgolnya pada sebuah ranjang, begitu pula kakinya. Aku menikmati ia menggeliat, dan saat mulutnya memohon ampun, aku kembali menyiksanya dengan ratusan pilihan yang memiliki satu tujuan, yaitu agar ia mati saja.

Ini hanya sebuah tulisan, namun adrenalin ini begitu mantap menggerayangi otak, dan tanganku. Luar biasa gila, dan nyatanua ini bisa membuatku bahagia.

Aku dapat mendengar suara tanganku yang tenggelam pada usus wanita itu, saat untaian kalimat ku ramu dalam cerita yang ku ciptakan. Wanita korbanku itu ku biarkan tetap sadar, ia ikut terbata karena menikmati gerak lembut tanganku, sampai aku membuatnya mati dalam satu tarikan yang membuyarkan isi perutnya.

Warnanya merah, ada sedikit kotoran, dan putih organ yang ternoda yang menjuntai dari atas ranjang praktik. Tokoh aku puas setelah hasil permainannya jadi begitu berantakan. Lalu ia bermain lagi dengan organ yang sama, yang ditatanya dengan rapih seperti puzel yang memang diciptakan dari perut seorang manusia. Aku mengaturnya, menutupnya dengan kulit perut, lalu menjahitnya rapat hingga mata ini berbinar karena hasilnha begitu cantik, dan tampak baru.

"Pa...!" ada suara anak kecil bergaun merah yang menghentikan aktifitas menulisku. Ia terlihat sudah mengantuk, berjalan terseok-seok, dan berkali-kali mengucek matanya. Dia anakku, hasil perkawinan yang gagal, yang kini berusia lima tahun. "Mau bobo." ujarnya.

Aku menimbang, mana yang harus aku kerjakan. Meneruskan cerita pembunuhan berseri ini, atau meninabobokan anak manusia yang sisa hidupnya berada di tanganku?

"Lima menit lagi, ya!" Aku melakukan penawaran yang anak itu setujui. Ia melangkah ke sofa di sudut ruang, dan meringkuk setengah tidur di sana.

Kembali pada tulisanku.

Yang aku butuhkan kini adalah, seorang pahlawan yang bermoral manusia, dan dapat menghentikan aksi sakit jiwaku. Aku benci membayangkan jika diriku ketahuan, jadi aku membuat pergerakannya tersendat, dan hanya memunculkannya kurang dari separuh dari kata-kata yang tertuang dalam ceritaku. Kau tahu kan? Tidak mudah membuatku bertekuk lutut pada kebajikan.

Jika aku bisa, aku ingin semua ceritaku hanya berisi darah, namun pembaca menginginkan kekerasan itu agar dihentikan. Terlalu kejam, tidak berperi kemanusiaan, begitu kata mereka. Jadi, walau ku benci, tapi aku harus menghentikannya. Jadi, ku biarkan pahlawan itu datang, menangis karena kehilangan sang kekasih yang mati di tanganku, lalu membuatnya menghajar karakter aku pada cerita itu, dan meninggalkanku hidup pada jeruji penjara, atau mati saja? Aku menimbang-nimbang, mana yang lebih baik dari ke dua hal itu.

Ku tutup cerita itu dengan rasa tidak puas. Ku palingkan wajahku pada sosok imut di sudut ruang, yang kini jatuh tertidur. Aku membayangkan jika aku benar-benar tak waras, lalu membunuhnya. Bisa, kah? Pasti bisa, kan?

Aku meraih pisau di ujung meja, memandang anak semata wayangku, lalu menghujamkan satu tusukan pada apel merah yang tak berdosa, memotongnya jadi dua bagian, dan mengunyahnya.

***

Malam menenggelamkanku pada lamunan, yang merengsek tembus ke roda-roda bis kota yang aku naiki. Terlalu suram, dingin, dan menakutkan, tapi lamunanku terus melaju ketika ku menikmatinya bagai kawan lama. Ac yang dinyalakan bis antar kota itu terasa terlalu dingin. Mungkin karena hari sudah mulai malam, dan ini adalah bis terakhir yang bisa mengantarku selepas pulang dari rumah orang tuaku. Hanya ada tiga orang yang bertahan di dalam bis itu, satu orang kenek yang berbicara seperti tanpa kontrol, supirnya yang jauh lebih pendiam, dan tua dari si kenek, lalu aku, yang memilih kursi paling belakang, hanya agar mereka tak mengusikku yang tengah sibuk melamun tentang apa yang ku lalui seharian ini.

Aku baru saja pulang dari rumah orang tuaku saat berusaha meyakinkan mereka untuk menitipkan anakku. Aku butuh rumahku sesepi mungkin, agar pekerjaanku bisa selesai dengan konsentrasi yang tak buyar, itu kataku. Alasan yang cocok selain bahwa sebenarnya aku mulai gelisah karena tak mampu merawat anakku sebagaimana seharusnya seorang ayah.

Awalnya ayahku meremehkan apa yang telah ku perbuat. Dia berkata, aku harus mendapatkan pekerjaan yang lebih besar, dengan waktu yang lebih normal, jadi anakku tak akan kehilangan separuh hidupnya untuk bersamaku. Ibuku menambahkan kalau usia anakku saat ini masih butuh untuk dekat dengan orang tuanya. Aku yakin, mereka hanya kesal karena aku menitipkan anakku begitu saja.

Apapun itu, kali ini yang ku butuhkan adalah ruang bebas agar diriku bisa berkreasi pada tulisanku. Ini penting sekali.

Oh, ya. Aku belum membeberkan siapa diriku. Ini mungkin tidak begitu membantu kalian untuk menikmati novel, tapi hal ini akan membantuku untuk menambah beberapa kata, agar novel ini lebih layak disebut novel, karena memiliki halaman cetak hingga berlembar-lembar.

Namaku Ryo. Umurku tiga puluh lima tahun januari lalu. Aku bukan seseorang berkarakter kuat seperti layaknya karakter lain dalam cerita. Aku pendiam, lebih mudah berhayal dari pada tidur, dan tak jarang berbisik saat menggerutu.

Aku tak pandai bergaul, tapi aku suka bercerita, bahkan ketika aku tak diijinkan untuk mengambil jurusan sastra sewaktu kuliah, aku tetap meluangkan setiap waktu senggangku untuk belajar tentang apa itu sastra, kepenulisan, dan lain-lainnya yang menurutku begitu menarik. Hal itu sangat membantu kehidupan bermasyarakatku. Berkat itu, aku dikenal sebagai kutu buku penghayal yang hanya cerewet ketika bicara tentang fiksi.

Aku memiliki seorang anak wanita. Gadis kecil manis yang ku jaga, namun tak mampu membuatku menggantikan ibunya yang terlalu bosan dengan pengangguran sok sibuk sepertiku. Aku memang bukan ayah yang baik, namun aku masihlah seorang ayah yang ingin putrinya mendapat yang terbaik.

Lalu aku mulai tekun menulis, ikut dalam perlombaan, atau mencoba bertaruh saat mengirimkan karyaku pada salah satu rubrik di majalan-majalah Indonesia. Pekerjaan menulis tidak menghasilkan banyak uang, jika kita belum bisa membuat karya yang mampu menarik minat pasar. Satu, atau dua karya yang bisa terbit perbulannya saja, sudah lebih dari bagus untuk menopang hidup. Aku sendiri masuk pada kondisi yang kurang beruntung sebagai penulis, tulisanku masih jauh dari kata bagus untuk dapat terbit di kolom sebuah majalah.

Lalu tawaran itu datang.

Sebuah surat kabar lokal mau menerima cerita bersambung yang aku buat. Terimakasih kepada seorang editor yang merupakan kawan lamaku. Berkatnya, aku bisa mendapat sedikit uang jajan untuk anakku. Lalu tajuk cerita seram buatanku muncul setiap minggunya, mengisi pundi-pundi yang menyesakkan tabunganku, dan itu sudah cukup membuatku bahagia.

Padahal jika diingat, aku sudah ribuan kali menawarkan tulisanku kepada berbagai macam surat kabar, yang tak satupun mau menerimanya. Jadi, jangankan uang, email balasanpun tak pernah terkirim dari ruang redaksi mereka. Dan ajaib, sebuah perubahan terjadi ketika aku bertemu kawan lama yang mau membantuku. KKN ternyata senikmat itu.

Hari ini tajuk terakhir akan selesai, dan dikirim. Yang berarti, aku harus mencari cara kembali agar aku bisa mengangkat karya baru untuk selanjutnya. Namun, tiga jam aku berkutat pada halaman kosong dari laptopku, dan tak ada satupun kata yang bisa di tulis. Siapa bilang menulis mudah? Menulis memang semudah berbicara, tapi meramunya jadi untaian kata itu yang membuatku migrain seharian.

"Bisa beri aku ide!" Bukannya menulis, aku justru membuat posting untuk media sosialku yang sepi dan minim reaksi. Bukan karena aku mencari perhatian, tapi otak ini benar-benar buntu akan ide, dan ini tak bisa terus berlangsung.

"Writer blok?" Seseorang bernama Mira menambahkan komentar di bawah posting yang ku buat. Dialah wanita yang punya sumbang asih atas terbitnya cerbungku sebelumnya. "Mau ku kenalkan seseorang yang menarik?" ia kembali menambahkan.

"Siapa itu?" tanyaku.

Sebuah saran persahabatan muncul. Nama Anita keluar di layarku.

"Anita itu siapa?" aku penasaran pada sosok yang Mira sarankan.

"Kau tahu Flying Bird, kan?" Tentu saja aku tahu. Sosoknya juga turut berkontribusi dengan pekerjaanku.

Beberapa bulan yang lalu ia menghilang, dan membuat sebuah halaman kosong yang harusnya dia isi beralih padaku. Dia seniman hebat, seorang sastrawan di dunia bawah tanah, dengan kata lain, karyanya begitu populer namun bertema gelap, dan tak jarang ditolak penerbit karena terlalu sensitif. Ia sedikit halus jika butuh uang, namun jika ia sudah berkehendak, dan menuangkan ide dalam novel independent, maka ia akan menampakkan sisi lain dari imajinasinya yang begitu liar.

"Aku tahu. Jangan kau bilang Anita adalah sosok itu." aku membalas pertanyaan Mira.

"Bekerja samalah dengannya! Duet kalian akan jadi sangat bombastis." Mira mencoba meyakinkanku dengan keputusan spontannya.

Aku menyesap kopi hitamku dan sedikit berdecak. Pikiranku mencoba menimbang untung, dan rugi dari saran Mira. "Apa aku sepadan dengannya?" aku hanyalah penulis kacangan. Aku tak punya rasa percaya diri untuk bekerjasama dengan seseorang yang sudah terlebih dahulu memiliki nama dalam bidang ini, itu maksudku.

"Dia yang sepadan denganmu." Ujar Mira. Aku menarik senyum tanpa sadar. "Akan ku beri tahu dia tentang ini, tunggu sebentar lagi, dia pasti menghubungimu. Oh, ya, sudah kau kirim permintaan pertemanannya?"

Aku lupa, dan cepat-cepat mengirim permintaan pertemanan untuk akun Anita.

Tak lama, akun itu merespon, dan di luar perkiraan, ia mengenaliku. Pembicaraan singkat pun terjadi di antara kami. Aku mulai memujinya, lalu bertukar pengalaman di antara kami. Basa-basi yang bisa disebut standar yang terjadi ketika baru mengenal seseorang yang membuat kita tertarik.

"Aku suka cerbung yang kau terbitkan di media cetak." Dia mencoba memuji.

"Tapi aku banyak mendapat kesulitan, karena harus berkali-kali merubah cerita. Yah, bayarannya sepadan."

Anita membalas dalam waktu kurang dari semenit. "Pasti karena terlalu kejam, atau mungkin karena isu SARA, betul?"

"Yah, kurang lebih."

"Ayo kolaborasi!" Sebuah ajakan yang tak dapat ku tolak muncul begitu saja. Aku sampai berdebar karena ketertarikan yang tak biasa.

Aku memutar otakku. Ada rasa ingin, namun aku juga merasa bila aku tak cukup baik bila harus bersanding dengan penulis hebat itu. Tapi kapan lagi kesempatan ini muncul?

"Ayo! Tapi jangan menyesal, ya!" ujarku.

Tak lama, balasan datang, "Akan lebih menyesal bila tak bisa bekerja sama denganmu."

Lalu daring di antara kami mati, dan aku jatuh tertidur hingga pukul sembilan pagi.

Bersambung