webnovel

Bab 9 Masih Ada Langit di Atas Langit

Keesokan harinya di kediaman keluarga Setiawan.

Keluarga Setiawan biasanya sarapan pada pukul enam pagi.

"Kemarin kamu mengajak Clara menemui kakak sepupumu. Bagaimana hasilnya?" tanya Bagas pada istrinya.

Esther mengingat kejadian semalam dan tidak ingin bercerita pada suaminya.

Melihat raut wajah istrinya, Bagas dapat menebak apa yang terjadi.

"Bukankah aku sudah bilang dari awal? Seharusnya kamu tidak bermimpi Clara menjadi dokter. Putra kita yang akan menjadi dokter."

Semalam, Lina dan Dimas mengatakan kesempatan seorang wanita untuk menjadi ahli bedah sangat kecil.

"Sudah, jangan banyak bicara. Cepat habiskan makananmu." Kata Esther sambil menaruh telur dadar di piring putranya yang masih duduk di bangku SD.

Clara sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Beberapa tahun yang lalu, ibunya memaksakan diri untuk melahirkan anak kedua meski usianya sudah tidak muda lagi.

Keluarga Setiawan harus memiliki cucu laki-laki untuk meneruskan garis keluarga. Seluruh anggota keluarga Setiawan menjunjung tinggi budaya patriarkal sehingga Esther hanya bisa menuruti kemauan mereka.

Clara mendapat banyak penghargaan dari sekolah sejak SD. Bagas memuji putrinya dan mengeluh pada saat yang bersamaan, "Sayang sekali seorang wanita hanya akan menjadi istri orang."

Semua orang yang berada di lingkaran social Clara memiliki pemikiran yang sama. Mereka lebih mengutamakan anak laki-laki. Bahkan salah seorang sepupu Clara memberi komentar yang menyakitkan, "Seorang wanita tidak akan pernah memegang scalpel. Hanya pria yang bisa menjadi dokter bedah."

Kring….

Kring…

Kring…

"Kelihatannya ayahku menelepon," Dimas segera menjawab panggilan telepon.

"Dimas, aku sarankan agar putrimu mengambil jurusan pendidikan. Anak perempuan lebih cocok menjadi guru." kata Kakek Setiawan.

"Esther, coba dengar perkataan ayahku." kata Bagas dengan wajah penuh kemenangan.

Esther meletakkan sendoknya karena kesal. Dia meninggalkan ruang makan dan pergi ke teras belakang rumah untuk menjemur baju.

Wanita paruh baya itu ingin putrinya mendapat kesempatan dan meminta bantuan sepupunya dengan modal jeruk Sunkist mahal. Tetapi sepupunya malah merendahkan mereka karena memiliki tingkat pendidikan rendah dan miskin.

Clara mengigit sepotong roti, mengambil tas sekolahnya, lalu berjalan ke depan untuk mengambil sepedanya.

Ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi semakin dekat. Matahari bersinar cerah dan udara di luar terasa panas. Para siswa pergi ke sekolah mengendarai sepeda melawan matahari. SMA Santa Theresia yang dihadiri Clara menempati peringkat pertama di kota Malang.

Esther berharap impian putrinya akan tercapai karena dia menempuh pendidikan di sekolah bagus. Namun, perkataan Lina semalam membuat Esther sadar realita yang ada sungguh kejam. Masih ada langit di balik langit. Di luar sana adda banyak siswa yang pandai seperti putrinya.

Kota Malang bukanlah ibu kota propinsi. Mungkin siswa terbaik di kota ini masih kalah jika dibandingkan dengan siswa terbaik di tingkat propinsi atau tingkat nasional. Meski begitu, tindakan Lina tadi malam sungguh tidak sopan. Dia sengaja merendahkan Clara dan ibunya.

Hasil try out ujian mungkin berbeda dengan hasil ujian nasional. Banyak siswa yang mendapat nilai tinggi di try out, tetapi gagal di ujian nasional. Sedangkan ada siswa yang hasil try outnya biasa-biasa, tetapi mendapat nilai tinggi di ujian nasional.

Clara mengingat hidupnya sebelum lahir kembali. Pada waktu itu, perkataan Lina membuatnya sangat ketakutan. Dia membuat kesalahan bodoh. Clara memilih untuk kuliah di universitas tidak terkenal dan bekerja sebagai teknisi laboratorium. Gadis itu telah membulatkan tekadnya. Dia akan menggenggam kesempatan yang ada dengan erat.