Hujan mulai reda. Aku dan Bang Sam melanjutkan kembali perjalanan. Pulang ke rumah. Di rumah, Ibu menyambut kami dengan mimik yang cemas. Beliau langsung memberikan handuk pada kami dan membantu kami mengeringkan tubuh. Ibu tidak pilih kasih. Beliau memberikan pengertiannya sesuai dengan porsi. Beliau tahu benar memperlakukan kami dengan perannya masing-masing. Kapan beliau jadi seorang Ibu dan kapan beliau harus jadi seorang istri.
''Selamat tidur, Sayang ...'' ucap Ibu sambil memeriksa seluruh kondisi tubuhku. Memastikan bahwa aku dalam keadaan yang paling nyaman. Hangat. Dan tidak akan membiarkan aku kedinginan lagi.
''Gunakan selimutnya!'' sambung Bang Sam sambil menyelubungi tubuhku dengan kain selimut yang tebal.
''Terima kasih,'' ucapku.
''Mimpi yang indah,'' ujar Ibu.

Aku mengangguk. Bang Sam hanya menatapku dengan tatapan sayu. Tanpa bersuara. Kemudian dia merapatkan tubuhnya ke tubuh Ibu. Merangkul pundak Ibu dan membalikan tubuhnya. Selanjutnya sambil beriringan mereka pergi meninggalkan kamarku. Meninggalkan aku yang terpaku menatap langit-langit. Pandanganku menerawang jauh. Jauh sekali.
Aku melihat ibu dan Bang Sam adalah pasangan yang serasi. Saling mencintai dan menyayangi. Kasih sayang mereka terhadapku juga tulus. Perhatian dan pengertian mereka begitu menyentuh hati dan mulus. Alangkah jahatnya bila aku menyalahartikan semua itu, hingga menciptakan akal bulus. Terlalu egois dan bodohnya aku bila aku menghancurkan kebahagiaan mereka yang sangat serius. Dengan menanam benih-benih cinta misterius yang kurasakan pada Bang Sam. Aku tidak mau menimbulkan kasus. Akibat hubungan yang terlalu temaram dan haram.
Hmmm ... aku tidak mau terhanyut dalam eligi cinta begini. Biarlah rasa ini kupendam sendiri. Menghapus getaran misteri yang tercipta dari seorang ayah tiri. Bang Sam, laki-laki yang selalu kukagumi hingga kini. Mencoba menganggap perhatiannya hanya sebatas ilusi. Kasih sayang yang diberikannya hanya perhatian murni. Dari seorang ayah kepada anak laki-laki. Aku. Diri ini.
Aku menghela napas panjang. Kemudian menutup kedua mataku, mengosongkan pikiranku hingga aku terlelap tidur. Jiwaku berkelana di dunia mimpi sampai fajar menjemput hari.
___***___
Pagi lahir kembali. Menelurkan sinar mentari yang hangat berseri. Menebarkan buih kasih tanpa pamrih. Membuka hati menyambut hari berganti.
Aku tahu, hari ini ibu akan pergi ke kota Semarang. Untuk kondangan di pernikahan Mbak Sus dan Pak Mito. Meski aku masih malas untuk beranjak dari ranjang, aku tetap harus bergegas ke kamar mandi. Melakukan ritual siraman dan nongkrong pagi.
Usai mandi, aku turut menyaksikan keberangkatan Ibu bersama rombongannya yang pergi menggunakan sebuah bus pariwisata. Sungguh, aku merasa sedih melepaskan kepergian Ibu. Padahal aku sudah terbiasa ditinggal ibu pergi, tapi entah mengapa kali ini perasaanku jadi agak berbeda. Apa yang aku sedihkan? Sementara di rumah ada Bang Sam yang akan selalu menemaniku. Aku tidak lagi sendirian. Tak ada lagi alasan untuk merasakan kesepian.
''Vivo ...'' Bang Sam menyentuh bahuku. Pelan. Lembut. Penuh kasih dan sayang.
Aku mendongak ke arahnya. Dia masih saja tampak mempesona. Alisnya. Matanya. Hidungnya. Bibirnya. Kumisnya. Seperti pahatan maha karya. Hidup. Bernyawa dan bernapas. Andai dia bukan ayah tiriku. Mungkin aku bisa berkhayal lebih.
''Kita pulang, yuk!''
Aku mengangguk.
''Kita sarapan, lalu kita berangkat ke sekolah bersama-sama!'' Bang Sam menyematkan satu senyuman manis yang terlihat begitu menawan. Indah. Seperti ada olesan madu lebah. Menggoda dan mengairahkan.
''Iya ...''
Aku mengangguk perlahan. Kemudian kami berjalan pulang.

Tiba di rumah, aku dan Bang Sam langsung menyantap hidangan sarapan. Nasi goreng sosis buatan Ibu. Sebelum pergi, beliau menyempatkan diri untuk memasak. Membuatkan menu sarapan buat kami. Benar-benar seorang ibu rumah tangga yang sangat bertanggung jawab. Beliau pergi setelah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang istri sekaligus sebagai seorang ibu. Sungguh, luar biasa, pengorbanan seorang wanita yang bernama Xiaomi itu. Wanita yang kuketahui sebagai ibuku. Wanita yang telah mengandung dan melahirkanku.
''Vivo ... hari ini, kamu tampak lesu, kenapa?'' ujar Bang Sam di selah-selah aktivitas makannya.
''Ah, enggak, kok!'' sergahku.
''Apa kamu sakit?''
''Enggak, Bang!''
''Apa kau sedih ditinggal ibumu pergi?''
''Tidak ...''
''Jangan sedih, Vivo ... 'kan ada saya di sini yang akan menemanimu.''
''Hehehe ... iya.''
''Oke ... sekarang kamu habiskan makanannya, lalu kita segera pergi ke sekolah.''
Aku mengangguk. Aku menuruti semua perintah ayah tiriku itu. Meski nafsu makanku kurang bergairah, tapi aku berusaha menghabiskan makanannya. Namun saat aku sedang menikmati makanan ini, tiba-tiba tubuhku terasa lemas sekali. Mataku mendadak berkunang-kunang. Bumi seolah bergoyang-goyang. Kepalaku terasa pusing. Hingga akhirnya aku roboh tak sadarkan diri di depan meja makan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya mendengar suara Bang Sam yang lamat-lamat menunjukan rasa keterkejutan. Buru-buru ia menghampiri aku dan mengoncang-goncangkan tubuhku.
''Vivo ... kamu kenapa?''
''Vivo!'' teriak Bang Sam penuh dengan kecemasan.
Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Yang kutahu hanya gelap dan sunyi. Mungkin aku berada dalam alam yang berbeda. Alam pingsan. Alam yang terputus dari rasa kesadaran.