Purnama di langit merah menggeser surya dari singgasana. Bergerak pelan di pucuk dahan yang menghitam. Merubah jagad terang menjadi remang-remang, lalu gulita pun datang. Menjadikan lampu sebagai prajurit penerang malam. Laju waktu memang begitu cepat. Seperti roket yang meluncur membelah angkasa. Tangkas. Tak pernah lelet.
Ibu dan sejumlah tetanggaku menyiapkan sesuatu. Menggelar hidangan spesial yang tak biasa. Makanan dan minuman berlimpah. Seolah hendak menyambut tamu istimewa.
''Ibu ... ada apa ini? Mengapa Ibu menyiapkan begitu banyak makanan dan minuman? Seperti orang yang sedang hajatan,'' ujarku.
''Nanti kau juga akan tahu sendiri, Vivo,'' jawab Ibu tenang.
''Ibu ... mengapa Ibu selalu menyembunyikan sesuatu dariku ... tak berhakkah Vivo mengetahuinya, Ibu?''
Ibu hanya tersenyum. Telapak tangannya menyentuh halus permukaan pipiku. Bola matanya memandangku dengan penuh kesyahduan. Sayu dan lembut.
''Mbak ... '' Tiba-tiba seorang tetangga menghampiri Ibu, ''rombongannya sudah datang!'' bisik wanita itu di telinga Ibu.
Ibu mengangguk, lalu beliau memberikan kode yang tak kupahami. Hanya wanita tetanggaku itu yang tahu.
''Vivo ...'' Ibu menarik tanganku dan menuntunku ke arah kamar. ''Turuti kata-kata Ibu, masuklah ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu memerintahkanmu!'' ucap Ibu sembari membuka pintu kamar dan mendorong tubuhku masuk ke ruang tidurku. Kemudian dengan cepat Ibu mengunci kamar ini dari luar.
''Bu ... Ibu ... kenapa Ibu mengunciku?'' Aku menggedor punggung pintu.
''Vivo ... Ibu mohon dengarkanlah perintah Ibu! Jangan berisik, diamlah! Malam ini Ibu sedang dilamar oleh seseorang ...'' terang Ibu.
''Benarkah? Tapi ... kenapa harus mengurung Vivo di kamar segala?''
''Iya ... Ibu akan jelaskan nanti! Udah sebaiknya kamu diam, tenanglah dan patuhi semua perintah Ibu!''
''Hmmm ... Ibu ...''
''Ibu mohon, mengertilah, Vivo!''
''Baiklah ...''
Aku jadi terdiam. Gamang. Terkungkung dalam kamar. Untuk beberapa saat lamanya aku hanya bisa mendengarkan suara gemuruh orang-orang di luar sana. Aku tidak tahu apa yang diucapkan mereka. Tidak jelas terendus di telinga. Cuma tawa riang saja yang sesekali menggema dan terperangkap di indra pendengaranku. Benar-benar aneh. Ibu sengaja membuatku dilanda gegana. Gelisah. Galau. Merana. Aku cemas dan dirundung rasa penasaran tingkat dewa.
Hingga 30 menit, kemudian ...
Ibu membuka pintu kamarku. Beliau muncul dengan ekspresi muka yang merona. Seperti bunga mawar yang baru mekar. Aroma harumnya semerbak. Rona bahagia begitu terpancar di sana.

''Vivo ... '' ujar Ibu dengan volume suara yang lirih, tapi masih jelas terdengar.
''Ibu ...'' Aku bangkit dari tempat dudukku dan mendekati Ibu.
''Maafkan Ibu, sudah membuatmu menunggu ...''
''Apa aku sudah diperbolehkan keluar, Bu?'' kataku sudah tak sabar.
''Tetaplah di sini, Vivo ... ada seseorang yang akan menemuimu.''
''Siapa?''
''Calon suami ibu.''
''Hah ...'' Aku termangu. Kaget sekaligus terharu. Tubuhku seolah dihempas angin pegunungan. Dingin dan menyejukan. Membuatku mundur beberapa langkah dan terduduk di tepi ranjang.
''Dia ingin mengenalmu ...''
Aku mendongak ke arah ibu.
''Tunggulah dia akan segera kemari!'' Ibu keluar dari kamar meninggalkan aku yang mendadak jadi resah. Salah tingkah. Waswas.
Tok ... Tok ... Tok!!!
Pintu kamarku terketuk. Aku segera menoreh ke sumber suara itu. Dan aku mendapati tubuh jangkung seorang laki-laki. Saat kami saling menatap. Kami jadi saling tersentak. Kaget tak terkira. Dia tercengang. Aku juga. Kami seperti dihajar badai salju. Saling memandang namun berdiri terpaku. Kaku. Di antara kami seolah terbentang jembatan api yang akan terlalu sulit untuk dilewati. Tak bisa diseberang, tak bisa diloncati.

''Kau ... bukankah Vivo?'' Laki-laki itu mulai membuka mulutnya setelah beberapa detik membeku terkubur salju.
''I-iya ... dan kau Pak ... eh, Bang Sam ... bukan?'' balasku gugup.
''Hehehe ...'' Bang Sam terkekeh geli, ''tak kusangka, ternyata kau anaknya Xiomi ...'' ujarnya.
''Iya ... apakah kau yang akan menikahi Ibuku?''
Laki-laki bertubuh kekar itu mengangguk dan tersenyum.
''Kau mencintai Ibuku?''
''Tentu saja.''
''Apa kau tidak menyesal akan menikahi seorang janda?''
''Tidak!''
''Kau masih bujangan dan belum pernah menikah, bukan?''
''Iya ...''
''Pikirkan baik-baik ... bila kau nekat menikahi Ibuku, kau otomatis akan memiliki anak seperti aku.''
''Hmmm ... aku tidak peduli.''
''Kau sungguh-sungguh akan mempersunting Ibuku?''
''Iya!''
Aku terpana menatap wajah tampan laki-laki di hadapanku ini, aku jadi terdiam tak bersuara lagi. Aku melihat ada keseriusan dalam dirinya. Sungguh-sungguh. Bukan main-main.
''Vivo ... kau sudah terlalu banyak mengajukan pertanyaan kepadaku, sekarang giliran aku yang bertanya kepadamu ...''
Aku mengangkat daguku dan menatap lebih dalam ke arahnya.
''Apa kau bersedia memilki seorang ayah tiri seperti aku?'' ungkapnya pelan namun mampu menggetarkan sekujur tubuhku. Bagai goncangan gempa bumi sekian skalaritcher. Melemahkan persendianku dan meregangkan ototku hingga gemetaran tak karuan.
''Vivo ... jawablah, apakah kau sudi jadi anak tiriku?''
Aku masih bergeming. Bukan aku menolaknya. Namun aku merasa tiba-tiba saja mulutku tergembok dan lupa password. Tentu, aku pasti tidak akan menolak dia untuk menikahi ibuku. Siapa yang tak akan bangga memiliki ayah tiri yang usianya masih muda dan memiliki wajah yang tampan pula. Apalagi beberapa hari ini, dia menjadi sosok yang menginspirasiku dalam berimajinasi. Karena diam-diam aku mengaguminya. Memujinya. Mengharapkan lebih darinya. Bang Sam itu idolaku.
''Vivo ... kau mendengarkan aku?'' Bang Sam mendekatiku.
''I-iya ... aku mendengar.''
''Apa jawabanmu?''
Beberapa saat suasana jadi senyap, lalu ...
"Kalau aku sih, YES!'' ucapku menirukan gaya jargon Anang Hermansyah saat jadi juri Indonesian Idol.
''Hahaha ...'' Bang Sam jadi tertawa. Aku juga.
Laki-laki kekar ini memelukku, dan aku merasa sangat nyaman sekali. Belum pernah aku mendapatkan pelukan senyaman ini. Aku menyukainya. Dan aku merasa tidak ingin lepas dari pelukannya ini.

''Jadi kalian sudah saling mengenal?'' celetuk Ibu dari balik pintu.
Bang Sam langsung melepas pelukannya dari tubuhku.
''Iya ... aku sudah mengenal Vivo ...'' jawab Bang Sam, ''kami pernah bertemu di jalan,'' lanjutnya.
''Syukurlah kalau begitu ...'' ungkap Ibu sembari mendekati kami, ''Ibu pikir Vivo akan meolaknya, Ibu takut sekali ... tapi ternyata kalian malah sudah terlihat akrab, Ibu jadi senang melihatnya,'' imbuhnya.
''Iya Ibu, siapa pun yang akan menikahi Ibu, Vivo pasti akan mendukungnya ... apalagi yang akan jadi Ayah Tiriku, ternyata Bang Sam, Idolaku ... pasti Vivo mendukung 100%, ah, tidak ... kurasa lebih ... 1000%.''
''Hahaha ...'' Ibuku tertawa. Bang Sam tertawa. Aku juga.
Kemudian kami bertiga saling merapat. Saling menguatkan. Saling berpelukan. Seperti Teletabies. Aku bahagia. Ibu bahagia. Bang Sam juga bahagia. Akhirnya aku akan memiliki keluarga yang lengkap. Semoga berkah. Aamiin.