"Tidak perlu memakai uang itu," sanggahnya cepat, menghentikan langkah dari apoteker yang baru saja akan bergerak.
"Pakai uang saya, berikan uang itu padanya." Pak Mursal berlalu setelah mengatakannya, membuat aku tersentak kaget dan mengikuti langkahnya yang menjauh.
Aku yang baru akan bergerak untuk mengejar, terhenti karena apoteker yang langsung menahan tanganku. "Ini uangnya, Mbak. Kembaliannya juga sudah saya berikan. Terima kasih atas kunjungannya." Apoteker itu menangkupkan tangan, membuatku tak bisa berkata apapun.
Saat aku menerima uangku yang di sodorkannya, suaranya kembali terdengar. "Saran saya, jangan sembunyikan penyakit Mbak pada pasangan ataupun saudara Mbak. Saya lihat tadi Masnya langsung pergi, wajahnya terlihat marah lho, Mbak."
Aku menelan ludah dengan kasar, mengingat lagi wajahnya yang terlihat keras dengan tatapan mata yang menyorot tajam kearahku. "Aduh, kenapa aku tidak lihat-lihat dulu saat akan membeli obat tadi? Pasti Pak Mursal tahu tentang penyakitku karena Mbak ini malah sempat-sempatnya membahas." Aku bergumam cemas, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju halaman.
Kutelisik sekitar yang sudah tak tampak lagi sosoknya. Napasku sesak tiba-tiba, kemana perginya Pak Mursal tadi? Itu benar-benar Pak Mursal atau hanya ilusiku saja?
"Ya Allah, ini kesalahan. Tapi, apakah kesalahan juga jika aku sengaja merahasiakannya dari orang lain?"
Aku memutuskan duduk di kursi yang ada di apotek, masih melihat ke sana kemari, berharap bertemu dengan Pak Mursal untuk menjelaskan titik permasalahannya. Kuusap wajahku kasar, aku kenapa jadi ceroboh begini? Sudah tahu kalau beliau mengikutiku dari lorong, bagaimana bisa aku asal masuk saja ke dalam apotek?
"Pak Mursal, beliau tidak boleh tahu tentang ini. Aku akan melakukan cara apapun untuk membuatnya percaya bahwa aku tidak mengidap penyakit ini. Lagipula, Pak Mursal tidak memiliki hak untuk mengurus ataupun mengetahui segalanya tentangku. Aku dan beliau, hanya orang asing yang sempat terlibat menjadi guru dan murid, tidak lebih." Aku bergumam, menggigit jari telunjukku bingung.
Jarak pabrik yang hanya seratus meter dari apotek ini membuat aku dapat mendengar suara bel masuk. Gontai, aku langsung bangkit dan berjalan menuju gerbang pabrik. Beberapa karyawan ada yang keluar dan ada yang masuk. Aku salah satu di antara mereka, berurutan memasuki gerbang dan langsung melangkah menuju finger print, menempelkan ibu jariku lalu tergesa menuju locker penyimpanan.
Tapi, baru saja aku akan membuka kuncinya, aku menangkap bayangan Pak Mukhtar yang berjalan beriringan dengan Pak Mursal. Entah karena reflek, aku langsung merunduk di antara segerombolan pekerja yang masih duduk santai di lantai locker. Mereka mengenaliku, tapi tak peduli dengan apa yang kulakukan.
"Ruangan packing sudah masuk semua?" tanya Pak Mukhtar dengan wajah biasa, menatap para pekerja yang rata-rata mengangguk.
Aku menelan ludah, lalu keluar dari persembunyian. "Maaf, Pak. Saya baru sampai, saya akan segera masuk." Aku berkata pelan, membuat sosok yang ada di sampingnya itu mengalihkan pandangan dari yang semula memperhatikan para pekerja, kini menatap lurus kearahku.
Aku berjalan menuju locker milikku, mencoba memasukkan kunci ke lubangnya dengan tangan gemetar. "Aduh, bisa dong Ain. Jangan gemetar," ucapku pelan, mencobanya sekali lagi.
"Hari ini ruangan packing sedang pause, bahan makanan kita sedang dalam pengiriman. Jadi, tidak ada yang akan kamu kerjakan." Suara Pak Mukhtar terdengar lagi, membuat aku berbalik dan melihatnya yang sedang tersenyum.
"Mendadak, Pak?" imbuhku tak percaya, tapi beliau hanya tersenyum.
"Benar, itulah sebabnya saya sedang berkeliling untuk memberitahukannya pada anak-anak satu devisi. Kamu, boleh keruangan lain ataupun pulang. Saran saya, pulang. Karena ruangan lain pun juga sedang menghabiskan sisa bahan yang akan di kerjakan. Hal ini sebenarnya akan menjadi pengumuman, tapi karena sudah terlanjur, saya mengatakan keseluruhannya pada kamu." Pak Mukhtar berkata dengan suara yang tidak kuat tapi mampu di dengar oleh semua pekerja yang ada di sana.
"Ini semata-mata pabrik lakukan karena minggu depan kita akan memasuki bulan Ramadhan. Kita akan libur seminggu, lalu masuk lagi di hari kamis tepatnya tanggal sembilan Ramadhan. Baik, itu saja yang bisa saya sampaikan saat ini. Selebihnya, tunggu pengumuman resmi dari kantor. Kalian jangan pulang dulu, ya? Biar pengumumannya jelas. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh." Serempak kami menjawab bersamaan, membuat Pak Mukhtar tersenyum. Belum beranjak dari sana, tatapan kedua pria itu tertuju kearahku yang sudah berkeringat dingin. "Kamu ikut saya, ada yang ingin saya bicarakan tentang kinerja kamu dua hari ini," ucapnya, lalu berbalik dan mulai melangkah pergi, diikuti oleh Pak Mursal di belakangnya.
Menghela napas, aku hanya bisa mengikuti mereka. Keluar dari gedung, kulihat Pak Mukhtar sudah berhenti di halaman samping, bersama dengan Pak Mursal yang tampak lebih datar dan dingin raut wajahnya.
Saat aku baru sampai, Pak Mukhtar sudah menoleh kearahku. "Bicarakanlah, saya tahu kalian berdua punya masalah yang belum selesai. Saya permisi-"
"Lho, bukannya Bapak mau membicarakan kinerja saya?" tanyaku bingung, memotong ucapannya dengan cepat.
Pak Mukhtar tersenyum, lalu menggeleng dengan raut mata yang menatapku lucu. "Tidak, Ain. Untuk apa membahas tentang kinerja kamu yang sudah kita ketahui bersama kehebatannya. Saya pamit dulu, ada yang harus saya tangani di kantor. Untuk kamu Mursal, sudahlah, berhenti main-main. Umur kamu tidak muda lagi hanya untuk mengulur waktu dan terus bermain-main seperti ini. Selesaikan, setelahnya damai. Aku pergi, Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Tinggal kami berdua, aku hanya diam dalam posisi berdiri. Wajah Pak Mursal belum melunak, sama seperti beliau meninggalkanku di apotek tadi. Saat Pak Mursal mengalihkan pandangan untuk melihatku, aku langsung menunduk.
"Itu tidak seperti yang Bapak dengar," ucapku pelan, masih belum berani menatapnya.
"Apa lagi yang kurang jelas? Saya mendengar semuanya dari awal dan akhir." Beliau berkata lirih, membuatku mendongak. "Jujur, saya sedikit kecewa." Beliau mengalihkan pandangan, melihat kearah gerbang yang sudah tertutup rapat.
Mulutku tak mampu bicara lagi. Kenapa harus ketahuan secepat ini? Aku seharusnya lebih berhati-hati tadi. Aku hanya ingin penyakitku diketahui oleh orang yang dekat dan sudah mengerti aku. Sejauh ini, hanya Azizah dan dosen sejurusanku yang tahu. Selebihnya tidak, tidak ada yang tahu. Lalu kenapa sekarang Pak Mursal pun harus tahu?
"Hubungi Azizah, katakan padanya kamu pergi dengan saya," ucapnya sambil menyodorkan ponsel, menatapku dengan wajah tegas tak ingin di bantah.
Kuterima ponsel itu, lalu menatapnya ragu. "Mau kemana, Pak? Bapak tidak bermaksud untuk membuang saya 'kan?" tanyaku, sedikit memancingnya agar wajahnya melunak.
Namun, saat beliau menoleh, raut wajahnya terlihat serius. "Katakan saja pada Azizah, bahwa saya akan membawa kamu ke Kantor Urusan Agama. Kita akan menikah hari ini!"
Mulutku menganga dengan mata yang membulat. Bahkan tanpa sadar, ponsel mewahnya itu terjatuh dari tanganku. "Apa Bapak bilang?!"
Bersambung!
Author Note : Hai readers, ini cerita pertama saya di Webnovel. Mungkin part-nya akan terasa lama dan bertele-tele, ya? Cuma begitulah alur yang ada di pikiran dan juga otak saya. Jika teman-teman bosan membacanya karena tidak juga mendapat inti dari cerita, saya mohon maaf untuk itu.
Aini dan Mursal memang dua orang dari masa lalu yang mempunyai peran masing-masing. Mursal yang terlalu monoton membuat Aini jelas sedikit takut. Apalagi ada trauma buruk yang dialaminya. Tentang perceraian kedua orang tua dan juga penyakit yang diidapnya. Saya sebagai penulis memposisikan diri saya menjadi Aini, makanya saya buat ceritanya yang bertele-tele dan Aini juga tidak mungkin langsung menerima kedatangan Mursal, bukan?
Ya, karena semuanya 'kan butuh proses. Dan saya harap, readers semua paham soal itu. Terima kasih sebelumnya!