"Tahiati maratan 'ukhraa, Syazha." (Salam kenal kembali, Syahza.)
Pak Mursal balas berucap dengan bahasa Arab, membuatku membeku. Saat dia menoleh, wajahnya tampak menatapku dengan raut puas. Juga ada senyuman kecil di sana.
"Apa aku sudah ketahuan?" batinku berkecamuk.
Tapi, melihat Pak Mursal yang tak mengatakan apapun setelahnya. Aku menyeringai, lalu tersenyum semanis mungkin. "Iya, Pak. Salam kenal."
Kami diam sejenak, sama-sama menatap kearah kolam. Saat ini aku sedang canggung, duduk bersama dengan seseorang yang kukenal dari masa lalu dan berniat untuk melupakannya, adalah hal yang sedikit membuatku gugup. Bagaimana kalau suatu saat dia mengenaliku dan marah besar, saat tahu kalau aku berbohong?
"Sedang apa Bapak di sini?" Aku bertanya kemudian, masih menatap lurus.
"Saya? Maksudnya, kamu bertanya pada saya?"
Aku mengernyit, lalu menoleh kearahnya yang tengah menunjuk dirinya sendiri. "Kalau saja pohon itu bisa menjawab, saya tidak akan bertanya."
Entah karena mendengar ucapanku, atau karena hal lain. Tawa Pak Mursal terdengar, beliau seperti menganggap balasanku lucu, padahal bagiku tidak ada yang lucu sama sekali. Eh, tunggu ... ucapanku sama dengan ucapan beliau tadi!
"Saya tidak menyangka kamu bisa membalas ucapan saya tadi," ungkapnya, lalu mengusap ujung mata. "Syahza, ternyata waktu bisa membuatmu menjadi seseorang yang berbeda, ya?" Pak Mursal tertawa kecil, lalu menghela napas.
Aku diam, menatapnya tak mengerti. Pak Mursal bicara apa sih?
"Saya punya toko cemilan di kota, jadi saya kemari untuk urusan bisnis." Beliau berkata, lalu menoleh kearahku. "Sudah lama saya bekerja sama dengan pabrik ini. Pabrik ini mengolah, saya yang memasarkan. Bisa di katakan, toko cemilan saya langsung mengambil produk dari pabrik. Jadi harganya bisa di jual lebih murah di toko saya, karena tidak ada perantara yang menghubungkan antara saya dan pabrik yang bisa menambah harga produk."
Aku mengangguk paham. "Hebat sekali strategi Bapak. Bisa saya contoh nanti kalau saya membuat usaha yang sama." Aku tertawa kecil setelah mengatakannya.
"Boleh," ucapnya membuatku menoleh. "Tapi, kamu harus membayar royalti besar pada saya karena mengikuti strategi yang saya buat. Lagipula ...." Pak Mursal mengulum senyum, menatapku dengan wajah aneh.
"Lagipula apa, Pak?" Aku bertanya kepo, padahal tidak ada keinginan ataupun niatan sama sekali dalam hatiku ingin membuat usaha seperti ini.
Pasalnya aku sadar, pasti biayanya tidak akan murah!
"Kamu akan sulit mendapatkan koneksi dari pabrik yang akan kamu ajak kerja sama. Kita harus punya jaminan untuk memulainya." Pak Mursal berkata serius, tatapannya masih menatapku lurus.
"Oh!" Aku memilih mengangguk. "Saya juga tidak serius mengatakannya, Pak. Tadi itu hanya candaan saja. Gadis biasa seperti saya, tidak mungkin bisa memiliki toko cemilan seperti Bapak. Di samping modalnya yang besar, saya juga tidak punya pengetahuan lebih untuk memulainya."
"Dari sanalah kesuksesan masyarakat tak pernah naik." Pak Mursal berkata, lalu menghela napasnya dalam.
Aku menatapnya penasaran, bingung juga akan tanggapannya. "Maksudnya, Pak?"
"Setidaknya berusaha dulu, jangan langsung bilang tidak mungkin. Kita berhak berusaha, lalu berdoa dan serahkan semuanya pada Allah. Memulai sebuah usaha tidak mungkin langsung sukses dalam satu kedipan mata. Pasti ada pasang surutnya, ada gagalnya, ada untung dan ruginya. Tapi, bukan itu yang harus di lihat. Banggalah karena sejatinya kita sudah berusaha," ujarnya sambil menatapku yang hanya meringis.
"Kalau kamu berniat, saya bisa meminjamkan modal. Juga, saya bisa memperkenalkan salah satu relasi yang bisa kamu ajak kerja sama. Bagaimana?" lanjutnya.
Aku terdiam, menelan ludahku kasar. "Pak Mursal, kenapa Bapak masih baik pada saya sama seperti dulu?" Aku hanya bisa bergumam, menatap langit malam yang di hiasi bintang.
"Saya akan pikirkan, Pak. Akan saya bicarakan juga dengan teman saya satu kost. Tapi ...." Aku tak melanjutkan kalimat, menatapnya yang masih setia menatap kearahku.
"Apalagi? Kamu meragukan saya?"
Aku menggeleng cepat. "Bukan itu, Pak."
"Lalu?" Dagunya naik saat bertanya.
"Saya tidak punya jaminan, Pak. Orang tua saya berpisah lima tahun lalu. Kami, maksudnya saya dan teman saya hanya tinggal berdua di kota ini. Tidak ada orang besar ataupun dewasa yang akan menjaminkan apapun pada Bapak. Saya tahu, untuk soal pinjam meminjam, pasti di butuhkan saksi dan juga jaminan, bukan?"
Pak Mursal terdiam, masih menatapku sejurus. Tatapan matanya berubah, antara kasihan ataupun entahlah. Aku yang tak biasa di tatap selama itu oleh lelaki, memilih untuk mengalihkan perhatian.
Sesaat kemudian, beliau tersenyum. "Sama seperti dulu, saya selalu percaya padamu, Syahza." Pak Mursal berkata lembut, penuh keyakinan.
Aku diam, tak bisa berkata apa-apa lagi. Bagaimana caraku untuk memulainya? Hanya itu yang kupikirkan, apa perlu aku belajar dulu padanya? Tapi, itu justru akan membuat aku dan Pak Mursal menjadi lebih dekat? Bukankah aku ingin menjauhinya? Eh, tapi aku 'kan masih bisa menjaga jarak.
Kulihat Pak Mursal yang sudah beranjak bangkit, lalu tersenyum tipis. "Jika kamu sudah memikirkannya lebih jauh, juga sudah membicarakannya dengan teman kamu itu. Kamu tahu, kemana akan mencari saya. Saya ada urusan yang harus di selesaikan, saya pamit dulu. Assalamu'alaikum, Ya Syahza."
"Aaa, seharusnya Assalamu'alaikum, Aini!" jeritku dalam hati.
Menelan ludahku sendiri, aku hanya bisa mengangguk. "Saya akan mengabarkannya segera, tentang keputusan saya, Pak. Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Sempat kulihat Pak Mursal tersenyum, sesaat sebelum melangkah pergi. Kuhempaskan napasku kasar, bagaimana ini?
Bel masuk berbunyi, membuatku langsung bangkit. Berjalan sambil berpikir, apakah aku coba saja? Tapi, aku juga perlu di ajari, bukan? Ah, nanti saja di bahas!
***
"Ain!"
Keluar dari gerbang pabrik, sebuah suara yang sudah familiar terdengar. Aku celingak-celinguk mencarinya, hingga akhirnya pandanganku jatuh di bawah pohon mangga di seberang jalan.
Segera menyeberang, langkahku terhenti di samping motor matic miliknya.
"Kenapa lama? Biasanya kamu sudah keluar dari tiga puluh menit lalu?" Azizah bertanya, menatapku serius. "Kamu tidak apa-apa, 'kan? Penyakitmu tidak kambuh di dalam?"
Aku tersenyum, lalu menggeleng. "Kamu tahu?"
Di kegelapan yang hanya bercahaya kecil, aku dapat melihat matanya menyipit. "Apanya? Kamu kira aku cenayang?"
Aku tertawa, lalu menggengam pergelangan tangannya yang tengah memegang gas. "Aku pindah ruangan ke bagian packing!"
Dagunya hampir terlepas mendengar ucapanku, bahkan bola matanya membulat. "Packing?" Aku mengangguk antusias.
Azizah turun dari motor, lalu berdiri di hadapanku. "Ruangan packing, Aini?"
Aku kembali mengangguk. Teman-teman satu ruanganku sudah mulai sunyi, ada yang pulang dengan berjalan kaki ada juga yang di jemput dan naik motor sendiri.
Sejenak, halaman luar pabrik hening. Azizah masih menatapku dengan tatapan tak percaya.
"Bukankah di ruangan itu seleksinya ketat, ya? Juga harus tamatan minimal S1 dan juga punya pengalaman kerja selama dua tahun? Bagaimana mungkin kamu di pindah ke ruangan itu yang notebenenya di awasi langsung oleh anak pemilik pabrik?"
Aku terdiam, benar juga. Banyak anak-anak pabrik yang lebih bagus kinerjanya daripada aku. Tapi, kenapa aku yang terpilih?
"Apa ini ada hubungannya dengan Pak Mursal?" batinku bingung, menatap wajah Azizah yang hanya terdiam menunggu jawaban.
Bersambung!