webnovel

Asmara Sang Perindu

Hari menjelma tahun yang telah berlalu. Meninggalkan kita di sepucuk kisah baru. Walau semua ini nyata dan pernah membahagiakan kita, itu dulu. Setiap detik menanam sejuta rindu, mengukir senyum candu, yang tak mungkin kulupa di sepanjang jalan itu. Semua masih sama, dan tersimpan di dalam memoriku. Kuharap dirimu juga membaca kisah ini, di mana ada cinta yang pernah tumbuh di tanah pertiwi, tepat di bawah hati, di dasar jiwa ini.

AidySan · 現実
レビュー数が足りません
12 Chs

Kita

Kita mulai dari mana kisah ini?

Enaknya sih dari lanjutan kisah sebelumnya. Jujur saja begitu besar cintaku untuknya. Tapi, aku tak tahu pastinya, entahlah.

Sebutir atom? Molekul? Zat? Ataukah cairan? Kukira, hanya sebuah cairan yang mampu menyesuaikan diri dengan tempatnya berada, dan tak berasa. Hanya ada satu rasa yang melekat di dalamnya, cinta.

Dari sifatnya si bukan basa, bukan pula asam, apalagi netral. Ya kalian tahu sendiri lah, sifat daripada cinta adalah segalanya. Segala sifat melekat di dalamnya. Entah itu asam, pahit karena basa, asin karena netral, ataukah layaknya air bening yang menyejukkan. Pastinya, semua itu ada di dalamnya.

Hari berlalu, aku dan dia berpacaran dengan gaya saling tatap, chatt, kangen, ketemuan, duduk bareng di bawah langit hitam dan berbintang, tapi kadang juga gak ada bintang sama sekali. Indah si kalau diingat, sampai diri ini mau kalau harus mengulang semua itu.

Beberapa hari setelah diriku resmi mengumandangkan deklarasi cinta. Disaksikan berjuta pasang bintang, walau tertutup awan yang terbentang. Tapi, romantis kok kalau diingat-ingat lagi.

Sudah, lanjut ke cerita yang sesungguhnya.

Layaknya sepasang pemuda yang sedang jatuh cinta. Kami pun merencanakan rindu yang tak pernah kami rencanakan sebelumnya.

Q : "Sa-ya-ng, kita kan udah pacaran, terus kan kita udah jadian, terus lagi kita kan belum ketemuan. Walaupun rumah kita deket, tiap hari pun ketemu, tapi aku rindu. Ketemuan yuk? Ngobrol bareng gitu?"

"Honey, jangan gitu dong, aku juga rindu. Yuk ketemuan, kayanya aku juga lagi free ini."

Q : "Asik, mau di mana kita? Di halaman belakang rumahku aja ya? Biar deket rumahmu, dan bisa lihat bintang juga di sana."

"Baiklah, aku sangat setuju dengan idemu."

Tepat sekitar setengah delapan malam, kami pun berjumpa sesuai janji dan mengambil posisi ternyaman. Maklum saja, di belakang rumahku sering dijadikan tempat kumpul temanku, dan ada kursi yang sengaja ditaruh di sana. Ditemani dengan temaramnya cahaya, dan pepohonan rindang yang selalu menjadi teman setia. Walaupun jauh dari tempat kami berada.

Q : "Kasih, aku menunggumu lho," ucapku di pesan singkat itu,

"Tunggu dong, aku dandan dulu." jawabnya.

Q : "Buat apa? Kita kan gak mau kemana-mana."

"Ih kamu ini, gak tau perempuan aja deh."

Q : "Iyaiya, maaf. Aku tunggu lho, jangan lama-lama. Dingin tau di sini."

"Iya, bawel ih tunggu bentar lagi."

Lama diriku menunggu, dan akhirnya masih saja menunggu. Untung bawa permen, bisa deh buat penawar pahitnya rindu sebentar. Sekadar menunggu, aku pun memandang rumahnya sebagai seorang detektif.

Q : "Kapan anak ini mau keluar, katanya sebentar, kok lama." batinku di dalam hati karena tak sabar menunggu.

Itulah perempuan, selalu mempersiapkan yang terbaik untuk pasangannya. Dan di waktu itu, bodohnya aku tak sadar akan hal itu. Maklum lah, kan pacar ke-2, dan masih amatiran.

Tak beberapa lama, setelah diriku lelah menunggu. Akhirnya dia keluar juga, dengan penampilan yang biasa saja. Tapi ya begitulah, selalu ada yang spesial darinya.

Q : "Sudah selesai dandannya?"

"Sudah dong, sebenarnya si aku gak dandan. Hanya mengumpulkan mental untuk bertemu denganmu. Karena ini adalah hal yang sudah lama kunanti. Dari pertama aku datang ke Jawa Tengah waktu dulu TK."

Q : "Benarkah? Ya sudah sini duduk dulu, di sebelahku. Aku sudah lama menunggu."

"Iya, maafkan aku."

Q : "Tak perlu minta maaf, kamu gak salah kok." dengan tersenyum diriku menjawab permohonan maaf darinya.

" Terima kasih," dia pun membalas senyumku.

Q : "Kembali kasih,"

Sembari dia menghampiriku, dan duduk di sebelahku. Awalnya si canggung, dan aneh kalau dirasa. Ya sudahlah, lanjut percakapan kami berdua.

Q : "Hai, aku dingin tau gak" aku membuka obrolan.

"Enggak,"

Q : "Coba pegang tanganku!"

"Ih kamu, boleh sini. Awas kalau kamu bohong!"

Q : "Iya, beneran dingin ini. Aku gak bohong deh."

Dia pun menggenggam tanganku. Dan hangat adalah perasaan yang pertama kuraih dari tangan halusnya. Walaupun tanganku gak halus, kasar dan penuh kapal yang berlabuh di sana. Wajar, karena begitu sering diriku bergelut dengan aktivitas mencari batu akik di tepian sungai. Setelah itu, mulailah pekerjaanku untuk membuatnya seperti layaknya batu permata.

"Kamu bohong ya, tanganku hangat tau." ucapnya.

Q : "Iya, emang tanganmu hangat. Tapi kan yang dingin tanganku Sayang, bukan tanganmu."

"Hehehe, iyaiya. Kasihan deh kamu nunggu lama sampai kedinginan gitu."

Q : "Peluk dong, biar hangat dikit." gurauku.

"Kamu! Enggak mau, awas kalau macem-macem!"

Q : "Iya, aku bercanda tok. Jangan dianggap serius gitu dong." dengan muka memelas diriku memohon kepadanya.

Dia memalingkan pandangan, dan perlahan pun mulai memandangku lagi.

"Iya Kasih, maaf ya jadi kedinginan kamu."

Q : "Iya gak papa. Lanjut dong ceritamu tadi! Kenapa kamu lamua buanget di dalem rumah?"

"Aku tuh nungguin momen ini dari dulu."

Q : "Waw, asik dong."

"Apanya yang asik, kamu aja gak peduli sama aku."

Q : "Iyaiya, kan dulu aku masih polos. Dan dulu kan kamu tahu kalau aku suka sama Dia."

"Iya, aku tahu. Dulu, aku itu suka sama kamu dari TK. Ketika pertama aku ke tempat kelahiranku. Aku ini kan hidup lama di Jawa Barat, orang sunda punya."

Q : "Jelas dong kualitasnya, wanita sunda tiada tanding."

"Emangnya iklan permen, nomer satu tiada tanding."

Q : "Ya gak gitu juga, aku jujur ini."

"Lanjut, aku mau cerita. Dengarkan dengan seksama."

Q : "Baiklah,"

Dengan seksama aku mendengar kisah darinya.

"Waktu TK, aku ke sini sebentar sampai lulus. Setelah itu kembali lagi ke tempat ayahku berada. Tapi sayang, ayahku harus pergi mendahuluiku. Aku sangat sayang padanya, kenangan di masa kecilku selalu terngiang di kepalaku."

Keadaan haru menyelimuti kami dengan seketika. Mendekatlah diriku, mempersiapkan bahu untuknya bersandar. Perlahan kuraih bahunya, kudekatkan dirinya di dekapanku.

Dan harum tubuhnya adalah salah satu kenangan yang tak pernah kulupa, selalu hadir di setiap hirupan napasku sampai saat ini. Tangisnya pun perlahan pecah di malam buta itu. Tak lagi dia melanjutkan kisah tentang ayahnya, karena tangis adalah penutup kisahnya.

Q : "Mendekatlah, tangismu akan menjadi saksi bahwa bahuku pernah kau singgahi."

Hening,

Q : "Jangan bersedih lagi, sudah cukup sedihmu di malam ini. Tersenyumlah, aku tak sanggup melihatmu menangis." sembari diriku menatapnya dalam-dalam.

"Sayang ih, aku kan lagi inget ayah. Aku tegar kok, terima kasih ya. Aku mau lanjut cerita lagi, hehehe."

Q : "Gitu dong, tersenyum layaknya bulan di atas sana." rayuku untuknya.

"Iya, makasih ya udah mau hadir di hidupku. Aku harap kita bisa menjadi pasangan yang setia, selamanya."

Q : "Aamiin. Malam ini aku akan menjadi pendengar dari kisahmu." ucapku

"Baiklah, dengarkan dengan seksama."

Q : "Oke,"

Kami pun terlena dengan posisi saling mendekap. Dia pun menikmati sandaran bahuku. Dan aroma tubuhnya itu yang selalu terngiang di kala itu. Serasa damai setiap kekacauan yang berkecamuk di dalam hati.

"Dulu, aku suka kamu. Ketika kembali dari Jabar, sekitar kelas 3 semester akhir. Aku tuh suka kamu Say, sangat sangat."

Q : "Iya aku percaya, banyak yang bilang gitu si sama aku, dulu." kataku mengiyakan.

"Dengerin dulu dong, aku belum selesai."

Q : "Siap, laksanakan."

Sesekali aku menenangkannya dengan mengusap pelan kepalanya. Hal paling damai yang mendamaikan.

"Tapi, sayangnya kamu sudah punya pilihan lain. Dan keyakinanku, kamu pun akan melirikku juga. Walau kita bertolak belakang, antara kekuranganku dan kelebihanmu." ucapnya,

Q : "Jangan sedih ya,"

"Enggak, aku tegar kok."

Q : "Kamu cinta, bukan tegar." ucapku.

"Kamu. . . . aku serius ini."

Q : "Aku enggak," candaku menggodanya.

"Aku marah lho."

Q : "Boleh, aku mau lihat kamu marah."

"Sayang, aku lanjut cerita aja deh, udah malam juga."

Q : "Iya, aku masih setia mendengarkan kisahmu." jawabku menghiburnya.

"Waktu SD, aku tertekan tau. Harus lihat kamu suka sama dia, tapi dia gak suka sama kamu. Kamu tuh kasihan, terus dia pacaran sama temen kamu sendiri lagi. Bikin aku tambah kesel deh sama dia."

Q : "Sabar, jangan emosi gitu. Aku udah gak papa kok" aku menenangkan dia.

"Aku gemes aja, kan ada aku di sini yang selalu lapang menerima kamu apa adanya. Kenapa kamu gak melirik aku coba?"

Q : "Ya maaf, dulu kan aku sukanya sama dia. Tapi jujur aku tuh cengeng, masa karena dia aku nangis."

"Biarin, kamu juga yang cengeng, bukan aku."

Q : "Ya udah, intinya aku sekarang udah berubah."

"Terima kasih. Baru sadar ternyata kamu bahwa ada aku di sini."

Q : "Kesadaranku kalah dengan senyum dan cantikmu itu."

"Gombal."

Q : "Kan beneran ini, aku jujur sejujur-jujurnya aku."

"Aku mau lanjut cerita, tapi besok lagi ya. Udah malem, dan ya udahan aja. Besok kita harus sekolah juga."

Q : "Baiklah, oiya kamu sadar enggak sih? Keadaan kita saat ini adalah keadaan di mana kedamaian menjalin ikatan batin antara kita."

"Aku sangat sadar, karena dengan seperti ini aku lupa dengan kesedihanku. Dan aku pun merasakan damai dan tenang di dalam hatiku. Terima kasih untuk malam ini." kata lembut itu keluar dari bibir indahnya.

Q : "Dengan senang hati, dan tunggu sebentar. Bolehkah diriku pinjam tanganmu? Satu saja." ucapku.

"Untuk apa?"

To be continue . . .