Oleh: Verslinder Gloria
Mereka yang tercipta dari kegelapan, memiliki kekuatan yang terlahir dari rasa takut, penyesalan, trauma, kebencian, dan mimpi-mimpi buruk mereka. Dan terkadang, keabadian tak cukup untuk mengobati apa yang telah menjadi jati diri mereka.
"Won't it felt nice to be free?"
"…"
"You can't accomplish anything by sulking like that."
Datanglah dua wanita berpakaian putih, menghampiri kami yang sedang bernaung di tepi sungai susu. Dengan wajah secerah mentari, mereka tersenyum, menyapa kami di tengah keraguan yang menghantuiku.
"Morning~" Austra tersenyum, menampakkan seri giginya.
"What are you two gentlemen doing?"
"I'm helping the little one to spread his wings." DiVarri membalas senyumnya dan menjawab pertanyaannya.
"Wings? Sweet Crow, you can fly!?"
"Hush!" Gertakku kesal. Namun tentu saja hal ini tak memudarkan cahaya yang memancar dari wajahnya.
"So? How are we going to help him?"
"It's up to our lovely edgelord right here of course."
"Fine! Do what you must!" Aku pun berjalan pergi meninggalkan sungai susu menuju tanah yang lebih lapang.
"Thank you for coming, Austra." Bisik DiVarri.
"The pleasure is mine, Conductor." Wanita kecil itu terlihat begitu senang menggangguku.
Kami berempat pun sampai di sebuah padang rumput putih, di antara ladang-ladang para mayat hidup. Angin di sana terasa begitu tenang, namun tak cukup untuk mengekang ketakutan yang terus menghantui tubuh ini.
"What's the plan, love?" Tanya Karissa pada suaminya.
"We're going to create a landing pad, up in the sky, then push Verslinder to fly from it."
"Push!?" Jantungku serasa berhenti berdetak mendengarnya.
"Show us your wings, Sweet Crow~" Austra membujukku dengan girang.
"…"
"Lets just create our platform first."
DiVarri lalu menjentikkan jarinya, dan muncullah baton dari jemarinya. Ia pun berjalan ke tengah padang luas ini, lalu mengangkat tongkat kecil itu ke atas. Aku pun menyentik dahi Austra.
"Ack..."
Ia menjerit kecil, dan kumunculkan biolaku dari suara jeritan itu.
"Follow my lead, Verslinder."
Dengan bimbingan DiVarri, akupun memainkan instrumenku. Nada-nada yang muncul membanjiri tanah dan membentuk lantai besar yang berbentuk lingkaran. Tempat kami berpijak bersifat tembus pandang, memperlihatkan rerumputan yang tertimpa olehnya.
Lalu birama selanjutnya mengeluarkan nada yang berkumpul di keempat sisi lingkaran, dan membentuk turbin-turbin yang menghadap ke bawah. Kedua wanita yang hadir bersama kami lalu menaiki lantai yang telah kami buat dan berdiri di tengahnya. Mereka menepukkan tangan dua kali, kemudian muncullah sebuah piano dan satu set drum.
"Prepare your self child, we're about to take off!"
DiVarri mengubah ketukannya dan kedua wanita mulai memainkan melodi mereka. Setiap nada yang tercipta darinya merambat memasuki keempat turbin dan perlahan menyalakannya. Kini kincir di dalamnya berputar semakin cepat, mendorong landasan lepas meninggalkan tanah.
"Accelerando!"
Landasan kami pun melesat ke atas, dengan kecepatan yang terus bertambah. Rasa takut menjalar ke sekujur tubuhku semakin tinggi kami berpijak, menjadikan laju kami makin tidak stabil dan memperburuk keadaan. Beruntung bagi kami, DiVarri merupakan seorang konduktor yang sangat handal, ia berhasil menuntun landasan ini ke ketinggian yang diinginkan. Lalu simbol fermata pun muncul di atas kami, dan semuanya seketika terdiam.
"Whoa~ look at that! The Sky City herself." Austra terlihat begitu terkesima dengan apa yang ada di hadapannya, meski sekujur tubuhnya dibekukan DiVarri.
"I guess this is no longer our Ratmuju territory then, love?" Ucap Karissa kepada DiVarri.
"You're right, then our language rule applied."
Dari sini pun kami menjalankan hukum yang telah kami sepakati, dan mulai berbicara dengan Bahasa Bumi.
"Baiklah, kurasa ini sudah cukup tinggi untuk lompatan pertama gagak kecil kita, mari kita stabilkan!"
DiVarri lalu mengayunkan batonnya, dan simbol fermata pun hilang. Kunci dan ketukan berubah, nada yang kami ciptakan berterbangan ke atas dan mulai menyusun balon udara berbentuk oval. Landasan kami juga melonjong dan beberapa turbin diciptakan di sekitar balon udara. Kini tempat kami berpijak stabil, selama biola masih bermain.
"Lepas biolamu dan biarkan dia memainkan dirinya, Verslinder."
Seperti apa yang diminta DiVarri, aku melepas biolaku melayang di udara. Kekuatanku menjaganya tetap bermain meski tidak kugerakkan.
"Sekarang… Austra, Karissa, lihatlah ke bawah."
"Ke bawah?" Austra dan Karissa pun memandang melewati landasan yang transparan. "Tuhan… bahkan daratan sudah tak lagi tampak."
"Serap ketakutan mereka Verslinder dan kembangkan sayapmu."
Rasa takut seseorang akan memberikan energi untuk kekuatan Musisi Kegelapan. Ketakutan para Wanita Cahaya selalu menjadi makanan kami ketika ingin menggunakan kekuatan kegelapan di Ratmuju. Aku terkadang berharap mereka tak akan pernah terbiasa ditakut-takuti.
Salah satu kekuatan yang membentuk sayapku selain rasa takut akan gagak ialah rasa takut akan ketinggian, acrophobia. Sayangnya, kekuatan ini tumbuh dari rasa takutku, sebuah fobia yang aku tak tahu entah datang dari mana.
Aku pun memakan rasa takut dari kedua wanita itu, dan darinya kutumbuhkan sayap hitam yang menutupi punggungku.
"Tidakkah mereka terlalu kecil untuk mengangkat berat tubuhku?" Ucapku penuh dengan keraguan.
"Bicara apa kamu ini? Mereka sudah lebih dari cukup."
*Dack!*
Dengan kencang DiVarri menendangku jatuh dari landasan.
"BRENGSEK!"
Dari sana tubuhku terus terjun ke bawah, bersama tiap gravitasi yang ada.
"Ngomong-ngomong, Conductor. Mengapa kita harus berdiri setinggi ini?" Tanya Austra di atas sana.
"Austra."
"Ya?"
"Tahukah dirimu kalau kegelapan itu tak pandang bulu?"
"Maksudnya? Kekuatan Verslinder bisa memakan ketakutannya sendiri, begitu?"
"Tepat sekali."
"Jadi, apakah menurutmu dia akan berhasil terbang?"
"Tentu saja, di dunia ini, tak ada orang yang takut akan kematian, melebihi anak itu. Memang menyedihkan, tapi itulah yang membuatnya begitu kuat."
Aku terus melesat ke bawah. Semakin lama semakin cepat, dan semakin ketakutan pula diriku. Kian panik, kian menggigil, rasanya seaakan jiwa dan tubuhku terpisah. Namun tanpa kusadari, bulu-bulu hitam terus bermunculan dari sayapku.
"Kalau begitu, aku juga ingin merasakan sejuknya angin yang berhembus." Austra berlari girang dan melompat dari landasan, dengan senyuman lebar dan wajah yang begitu cerah, penuh dengan gairah.
Aku semakin dekat dengan daratan. Punggungku terasa semakin berat, seakan mendorongku ke bawah. Karena resah dan terlalu takut untuk melihat tempatku akan jatuh, aku membalikkan punggungku, dan memandang Angkasa.
Namun dari sana, aku melihat bulu-bulu hitam berterbangan, bersama sepasang sayap kolosal di sampingku. Mungkin sekarang saatnya, bagiku untuk mengepakkan mereka, dan menyelamatkan diriku dari ketakutan yang tak henti-hentinya menghantuiku.
Aku pun kembali membalikkan badan, dan dengan mata tertutup, aku kepakkan sayapku sekencang mungkin.
*Phack!*
Kini sudah tak lagi terasa bumi menarikku ke bawah. Perlahan kubuka mataku, dan daratan terlihat semakin jauh. Lalu kucoba mengatur gerakan sayapku, berusaha memahami mereka, dan menstabilkan posisiku. Namun tiba-tiba...
"SWEET CROW!!!" Dari Angkasa Austra melesat begitu cepat, dengan senyuman yang begelombang tertiup angin di wajahnya.
"By the God, she's fucking retarded!"
Dengan panik, meski belum sempurna paham caranya terbang, aku berusaha keras meraih Austra. Sumpah, wanita ini, jantungku rasanya berhenti ketika melihat kebodohannya. Bagaimana bisa orang yang telah berada di Dunia begitu lama, bertingkah semacam ini.
"Are you out of your mind!? …Again!?" Kalimat pertama yang keluar dari mulutku ketika berhasil menangkapnya.
"What? I wanna feel the chilling breeze too~"
"Aren't you afraid of dying? For the third time!?"
"Nope~"
Austra melompat dariku, dan melontarkan dirinya dengan nada yang kencang. Aku pun melesat dan berusaha untuk sekali lagi menangkap dirinya. Namun setiap kali aku meraihnya, dia kembali melemparkan tubuhnya. Terus, hingga aku akhirnya mulai muak dan mengikatnya dengan kegelapan.
"Isn't it fun to fly?" Wanita itu tertawa girang, selagi tubuhnya terlilit erat oleh bayangan hitam.
"Quiet!"
"You know, Sweet Crow. I've been thinking, isn't it made me a pedophile for marrying you, someone who died at 14, while I've been alive for insane amount of time in Shattered World."
"When compared to birth year, I'm the one who's the pedophile here."
"Hahahaha, you? Someone who never experienced adulthood like you can never be a pedophile Sweet Crow~"
"Hush! If you're so old, then why are you behaving like a fucking child!?"
"Hmm... my physical appearance also looks really young… I don't know to be honest, I mean… even Ares who've seen the end of the Shattered World still looks and act like a young adult."
"Huft… lets just get back to DiVarri and tell him that we're both alive."
"Don't worry, he already knew."
Hukum berbahasa Ratmuju Orchestra:
1. Segala percakapan yang terjadi di Ratmuju wajib diucapkan menggunakan bahasa Unity
2. Seluruh dokumen yang ditujukan antar sesama musisi wajib ditulis menggunakan aksara roman dalam bahasa Unity
3. Segala percakapan yang terjadi di luar Ratmuju wajib diucapkan menggunakan bahasa Bumi
4. Segala dokumen yang tertuju pada keturunan manusia wajib ditulis menggunakan aksara api dalam bahasa Bumi
5. Dalam keadaan menjaga informasi, maka penggunaan Unity diperkenankan di luar Ratmuju
6. Keputusan penguasa api bersifat mutlak