Seorang gadis kecil baru saja memasuki balkon. Dia memiliki rambut putih dan mata hitam yang sama dengan Airil.
"Airi Artemisia...?".
Dia bergumam pelan tanpa sadar saat melihat sosoknya.
Gumaman itu ternyata di dengar oleh Airi. Dia memiringkan kepalanya bingung mendengar gumaman aneh kakaknya itu.
"Ada apa, kak?"
Dia bertanya dengan pelan lalu mendekati kakak laki-lakinya, Airil.
"Kenapa kamu memanggilku dengan nama lengkap? Tidak seperti biasanya"
Dia memiringkan kepalanya, bingung melihat sikap Airil.
Airil yang melihat kecurigaan Airi tersebut langsung buru-buru mencari alasan.
"Ah, tidak apa-apa, kepalaku hanya masih sedikit pusing. Mungkin itu kenapa aku menyebut namamu dengan lengkap"
Dia membalas kecurigaan itu dengan senyuman se-natural mungkin.
"Ah, benar juga, kamu baru saja sadar kan? Apa sudah merasa lebih baik?"
Airil bertanya padanya dengan ekspresi wajah khawatir yang terlihat jelas, benar-benar seperti seorang adik perempuan yang baik.
"Aku baik-baik saja, Airi. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku"
Dia secara refleks mengusap kepala Airi.
(Ah, sial! Kebiasaanku mengusap kepala Evelyn terbawa sampai sini!)
Dikala dia merasa khawatir dengan sikapnya, balasan Airi tidak sesuai ekspetasinya. Airi membalas usapan kepala itu dengan mengambil tangan Airil dan menggosokkannya ke pipinya dan dia tersenyum.
"Terima kasih, kakak,"
Dia lalu mendekat dan menarik tangan Airil.
"Ayo sekarang main denganku!"
Dia mengatakan itu dengan senyuman lebar, benar-benar terlihat bahagia. Akan tetapi, Airil yang melihat ini terdiam.
(Karena adanya memori lamaku selama di Bumi, ini semua jadi aneh. Sebenarnya apa alasan Airil menjadi last boss di masa depan?)
Dia terus berpikir sambil terus di seret oleh adik perempuannya. Sayangnya, terus menerus berpikir yang dia dapatkan hanyalah kehampaan dihatinya dan kebingungan yang terus menghantuinya. Dua ingatan yang bercampur aduk membuatnya dirinya kini khawatir akan masa depan.
Waktupun berlalu dan kini sudah memasuki malam hari. Setelah selesai makan malam bersama, Rei pergi ke kamarnya. Dia merenung sambil melihat ke arah luar jendela.
Di langit gelap itu terdapat bulan yang sangat indah, bulan yang mirip dengan yang ada di Bumi pikirnya. Entah kenapa, dia menjadi nostalgia akan hari-hari lamanya saat menatap bulan tersebut.
Dia masih memikirkan banyak hal terutama bagaimana nasib kedua orang tuanya setelah dia meninggal dalam kecelakaaan itu? Walaupun dia mempunyai kakak laki-laki yang kebetulan tidak bisa datang untuk mengantarnya pergi waktu itu, tetap saja dia merasa khawatir. Lalu, bagaimana dengan nasib Evelyn? Jika perkiraannya benar, seharusnya tidak ada yang selamat dari kecelakaan itu. Mereka berada di ketinggian yang cukup tinggi dimana pesawat mereka meledak. Bahkan, jika ada yang selamat dari ledakan itu, tubuh manusia tidak akan sanggup menahan tekanan udara saat jatuh lalu saat menyentuh perairan tubuh mereka akan hancur berkeping-keping.
Airil terus memikirkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, tetapi dia pikir hanya ada satu yang mungkin, jika dirinya saja bereinkarnasi di dunia ini, bukankah Evelyn seharusnya sama? Setidaknya dia seharusnya ada disuatu tempat di dunia ini, dan Airil harus mencarinya sendiri.
"Aku berharap dapat bertemu lagi dengan Evelyn, setidaknya aku ingin tahu kondisinya. Aku bisa mempercayakan kedua orang tuaku di Bumi pada kakakku, walaupun masih ada yang mengganjal, tapi mau bagaimana lagi. Yah, aku harap bisa meminta maaf ke mereka sekali saja karena tidak dapat membalas budi dengan benar"
Dia terus menatap bulan dengan tatapan yang berusaha tegar, dia tidak ingin merasa sedih. Bagaimanapun juga, di dunia ini dia hidup sebagai Airil. Dia tidak tahu alasan mengapa dirinya bereinkarnasi ke dalam Airil dan apa kebenaran yang ada dibalik kejadian di game tersebut.
"Hah, aku lelah. Seharian ini bermain dengan Airi, dia memang anak yang baik bahkan nanti tumbuh menjadi gadis cantik yang luar biasa. Tidak seperti kebanyakan bangsawan di dunia ini, sebagai seorang putri kaisar yang merupakan puncak dalam sistem kebangsawanan dia bahkan lebih mempedulikan rakyatnya dan tidak mau bertindak demi dirinya sendiri"
Dia berhenti sejenak dari perkataannya dalam kesendiriannya itu.
"Aku...., aku..hanya berharap bahwa aku tidak perlu memusuhi Airi di masa depan, setidaknya aku sebisa mungkin menghindari hal itu, tetapi jika memang tidak bisa dihindari aku akan melakukan apapun untuk memastikan segalanya berjalan lancar"
Setelah mengucapkan itu, Airil pun tertidur karena kelelahan.