"Ly, tatap mata aku." Perlahan Lily mengangkat kepalanya. Bagi Angkasa, Lily tampak seperti kucing sekarang.
"Angkasa yang kamu lihat sekarang adalah Angkasa yang kamu ketahui selama ini. Masalah aku menjadi model itu hanya pekerjaanku dan aku menyembunyikan pekerjaan, karena aku gak mau kehidupan sekolah jadi berantakan." Lily mengangguk paham. Lily kira Angkasa menyembunyikannya karena memiliki alasan khusus.
Angkasa terkekeh mengingat pertemuan anehnya dengan Lily. "Kita memang asing sejak awal, jika kamu gak lempar aku pakai pasir malam itu dan karena itu kita sampai di titik ini. Sampai sini paham?" Sekali lagi Lily mengangguk.
"Jadi, gak perlu ngehindarin aku lagi. Oke?" Lily tersenyum.
Lily dan Angkasa menoleh saat mendengar suara dehaman dari pintu dapur. Angkasa turun dari kursinya diikuti Lily yang bersembunyi di belakangnya, melihat yang datang adalah Doni.
"Udah dateng aja Sa." Lily mencengkram kuat seragam Angkasa, mencegah Angkasa pergi dari sisinya. Lily tidak mengerti situasi ini.
"Makasih udah dateng ya Ly." Lily menatap Angkasa penuh tanda tanya, apakah Angkasa sengaja membawanya kemari?
Angkasa mengatakan pada Doni untuk keluar, menunggu.
"Ly, maaf aku gak bilang dulu ke kamu. Doni mau bilang sesuatu ke kamu, kamu dengerin dia sampe selesai ya." Melihat raut wajah Lily yang memucat dengan badan yang bergetar hebat, Angkasa membawa kedua tangan Lily. Lily menggeleng kuat.
"Kamu gak usah takut. Aku ada disini, oke? Kamu gak sendirian. Aku bakal liatin kamu dari jauh. Aku yakin kamu bisa." Angkasa menuntun Lily menuju halaman samping rumah yang terdapat gazebo dan kolam renang disana.
Angkasa meminta Lily berjalan sendiri kesana, untuk bertemu Doni yang duduk di gazebo.
Situasi saat dirumah sakit dan sekarang benar-benar berbeda. Lily akan berani jika berada di keramaian.
Lily sesekali melirik ke arah pintu, memastikan Angkasa masih berdiri disana.
Lily mengambil jarak jauh dari Doni yang duduk di gazebo.
"Apa?"
"Gak usah takut Ly, sini duduk. Ada Angkasa sama art aku itu disana." Lily perlahan-lahan duduk di gazebo masih dengan jarak yang jauh.
"Maaf ya Ly, tentang malam itu juga tentang pas aku pukul kamu didepan anak-anak lain tempo hari." Lily mengalihkan pandangannya pada luka bakar Doni yang masih diperban.
Doni mengikuti arah tatapan mata Lily yang mengarah pada bahunya. "Luka bakar ini sampe bahu lho Ly. Berkat ini aku sadar, aku banyak salah sama kamu."
"Gue maafin. Jangan di ulangi lagi, apalagi ke orang lain." Lily sudah merasa tenang sekarang.
"Iya, janji kok. Gue bakal jadi orang yang lebih baik lagi." Setelah itu Lily langsung bangkit tanpa memedulikan Doni yang tampak kesakitan karena luka bakarnya.
Lily menghampiri Angkasa yang tersenyum menyambutnya. Lily meraih tangan Angkasa, memperhatikan punggung tangan Angkasa yang masih sedikit merah dan kulitnya mengelupas.
"Masih sakit?"
"Masih."
Lily mengecup lembut bekas luka Angkasa.
"Kalau sekarang?"
Angkasa tersenyum. "Udah enggak. Yuk pulang."
Ada-ada saja tingkah Lily.
*
Lily yang sedang tidur terusik saat seseorang mengelus-elus pelan pipinya. Lily membuka matanya, melihat pelaku yang mengganggu tidurnya. Ah rupanya Lily tertidur di mobil.
Lily menggenggam tangan Angkasa yang masih berada dipipinya.
"Ly, kamu gak marahkan aku tadi bawa kamu ke runab Doni."
Lily berfikir sejenak. "Tadinya aku pengen tenggelemin kamu ke laut, tapi dirumah Doni gak ada."
"Tapi aku sendiri juga gak inget kalau itu rumah Doni." Lanjut Lily.
"Kenapa? Karena terpesona oleh ketampananku?" Angkasa tertawa diikuti Lily.
"Cupu, ngaca dong." Kata Lily masih sambil tertawa. Angkasa menatap dirinya sendiri, Lily benar.
"Terus kenapa?"
"Aku pernah dibawa kesana. Saat Doni hampir melecehkan aku." Angkasa mengangguk mengerti.
"Tapi saat itu, semuanya terlihat buram. Karena yang aku fikirkan adalah lari, pergi, dan kabur. Aku sampai lupa bentuk rumah mewah itu."
"Pasti berat ya?" Lily menggeleng pelan.
"Sekarang udah enggak. Kalau ini beneran karena kamu. Terima kasih."
Setelah mengatakan itu Lily masuk kerumahnya. Berdiri di ambang pintu, melihat Angkasa memasuki rumah sebelah.
"Siapa Ly?"
"Eh mama, ngagetin tau."
"Pulang bareng siapa?"
"Oh, tadi pulang bareng Angkasa. Sepupu Kak Sean."
"Kalian temenan aja kan?"
"Lah emang kenapa ma?"
"Jawab Ly!" Lily bergumam dalam hati, mamanya ini jarang dirumah, sekali dirumah marah-marah gak jelas.
"Temen ma."
"Bagus." Lily menatap kepergian mamanya menuju dapur. Berfikir keras, selama ini memang Lily tidak diperbolehkan menjalin hubungan oleh laki-laki yang mungkin karena traumanya.
Selama ini tidak pernah juga mamanya mempermasalahkan Lily pulang dengan siapa, bahkan jika itu lelaki.
Yang terpenting Lily bisa buktikan bahwa Lily always single.
Lily menghampiri mamanya yang sedang mempersiapkan makan malam di dapur setelah Lily membersihkan diri.
Lily mengambil talenan dan pisau yang berbeda membantu mamanya memotong kentang sebanyak satu wadah penuh.
"Mama udah kenal Angkasa ya?"
"Cuma pernah lihat aja pas mau berangkat kerja."
Lily membulatkan bibirnya sambil memanjangkan nada bicaranya.
"Mama akhir-akhir ini gak denger kabar dari sekolah bikin ulah Ly."
"Anak udah tobat kok malah nakalnya dikangenin."
"Gak gitu juga Ly."
"Mungkin karena Angkasa ma. Dia bantu aku ngehadapin masalah. Anehnya cuma sama Angkasa aku gak kasar lho ma."
"Bagus. Kalau itu bukan Angkasa. Pokoknya kamu harus jaga jarak sama Angkasa. Jangan sampai mama tahu kamu pacaran sama dia. Gak usah dianter-anter juga, besok mama belikan motor buat kamu." Ujar mama Lily sambil mengangkat wadah kentang yang sudah dikupas untuk dibilas air.
"Lah, kenapa ma? Uangnya ditabung aja. Kan ada mobil papa, bisa dianter papa kalau mama gak mau aku bareng Angkasa."
Lily terlonjak saat mamanya meletakkan wadah penuh kentang itu dengan keras.
"Emang kamu pernah lihat papa kamu dirumah Ly?" Lily menggeleng lemah.
"Maaf ya Ly, mama cuma ingin kamu bisa berdiri dengan kakimu sendiri daripada bergantung pada orang lain. Karena jika mama jatuh, kamulah yang harus bisa bertahan demi Aster."
"Iya ma. Lily ngerti."
"Ya sudah, kamu naik aja keatas kerjain tugas. Mama mau keluar, beli bumbu yang kurang."
Lily mengangguk patuh, memasuki kamar dan mulai membuka bukunya.
Lily tidak menyadari bahwa akhir-akhir ini papanya mulai sibuk. Lily bahkan jarang melihat papanya berada dirumah.
Apa perlu sampai seperti itu? Memaksakan diri untuk bekerja hingga lupa waktu. Kesehatanpun harus dijaga.
Berbeda dengan papanya, mama Lily cenderung pergi kerja saat Lily dan Aster sedang bersiap berangkat sekolah. Lalu saat sehabis maghrib mamanya sudah terlihat mengaji atau memasak didapur.
Itu dilakukan mamanya karena tempat kerja yang jauh.