Angkasa menatap Lily yang masih betah berpura-pura tertidur ini. Reza si anak PMR yang katanya dekat dengan Lily juga masih berjaga disini, padahal jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Biasanya anak-anak yang sakit akan langsung diusir oleh anak-anak PMR lain jika bel pulang sekolah sudah berbunyi.
Tapi lihatlah, Reza masih sangat santai ada disini berbekal laptop untuk mengedit proposal. Sebenarnya sedekat apa mereka berdua? Memikirkannya saja benar-benar membuat Angkasa marah.
Angkasa tahu Lily hanya berpura-pura memejamkan matanya, terlihat dari getakan matanya yang berputar-putar. Angkasa hanya tidak ingin memaksa Lily. Itu saja.
Sedangkan yang Lily inginkan adalah Angkasa segera pergi dari sini. Lily tidak takut jika traumanya kambuh. Yang Lily takutkan adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan Angkasa lempar padanya nanti setelah Lily tersadar.
Lily tidak ingin memberitahu Angkasa masalah traumanya. Trauma Lily tidak ada hubungannya dengan Angkasa, Lily harus bisa menghadapinya sendiri.
"Gue pamit dulu ya? Biar gue yang gendong Lily pulang. Gue tahu rumahnya." Bahkan dengan mata terpejampun tahu, yang mengatakan itu adalah Angkasa. Reza juga tidak mungkin tahu dimana rumah Lily berada.
"Ya udah. Gue juga sekalian mau kunci pintu ruangan ini." Jawab Reza.
Gawat! Lily harus bagaimana?
Lily tidak punya waktu berfikir. Tangan Angkasa sudah menelusup masuk pada kaki dan belakang lehernya.
Dengan cepat Lily membuka matanya lebar-lebar, berguling kearah berlawanan dimana Angkasa berdiri.
Sontak Reza terkejut hingga berdiri dari duduknya. Sedangkan Angkasa malah tersenyum simpul berhasil mengerjai Lily.
"Oh, aku bisa jalan sendiri kok." Lily melangkahkan kakinya perlahan, menutup wajahnya dari samping karena malu dengan sikapnya barusan.
Lily langsung berlari menjauh dari ruang UKS saat kakinya berhasil keluar dari ruangan itu.
Ah rasanya Lily ingin tenggelam di lautan yang luas. Tolong setan atau malaikat yang lewat jangan aminkan harapan Lily barusan, itu hanya sebuah candaan.
Bodohnya Lily.
Lily keluar dari UKS tanpa membawa tasnya yang berisi hp, buku, dan uang. Sekarang bagaimana Lily harus pulang?
Double kesialan.
Kenapa Lily tidak memakai sepatunya saat keluar. Lihatlah kaus kaki putih yang rupanya sudah buluk ini. Salahnya juga karena terlalu fokus untuk melarikan diri dari Angkasa.
Lily memainkan kedua jempol kakinya. Kini Lily berada di ujung koridor menunggu Angkasa kemari dan membawakan Lily sepatu.
Pipi Lily memerah bagaimana jika Angkasa memakaikan sepatu untuknya. Lily menangkup kedua pipinya yang menghangat, sepertinya Lily harus segera berhenti berkhayal.
"Ini dipakai." Mata Lily berbinar-binar menatap sepatunya yang diletakkan didepan kakinya. Namun begitu Lily menatap kehadapannya, yang Lily temukan bukanlah Angkasa, melainkan Reza.
Reza melempar tas Lily kearah Lily, namun karena Lily tidak siap membuat tasnya terjatuh ke tanah.
"Loh, Angkasa mana?"
"Dia lagi ada tambahan kelas buat olimpiade." Lily berdecak sebal dan merasa sedikit beruntung, karena tidak membayangkan hal yang lebih jauh lagi. Jika tadi Lily berkhayal lebih jauh, pasti sekarang Lily sudah terjatuh dengan sangat dalam.
Lily segera memakai sepatunya sembarangan, tanpa mengikat talinya dan meraih tasnya yang teronggok diatas tanah berdebu. Lili melirik Reza yang sudah pergi keluar gerbang sekolahnya dengan sebal.
"Emang dia ngelondry-in tas aku apa? Pake dilempar ke tempat kotor lagi!" Omel Lily menepuk-nepuk tasnya untuk menghilangkan debu yang menempel.
Setidaknya Lily lega, dengan begini Angkasa tidak akan bertanya alasan Lily pingsan. Reza? Oh, semoga saja anak itu tidak bercerita hal-hal aneh pada Angkasa selama Lily pingsan tadi.
*
Saat ini Lily berada didalam mobil Sean dan sedang dalam perjalanan menjembut Intan di sebuah klinik kecantikan. Sebelum ini, Angkasalah yang ternyata meminta Sean untuk menjemput Lily. Jadi Lily tidak bisa menolak, karena Angkasalah yang meminta.
"Maafin Kakak ya Ly, pake acara jemput kak Intan dulu." Lily tersenyum, untuk apa meminta maaf. Lily justru bersyukur karena mendapat tebengan hingga bisa mengirit uang sakunya.
"Gak apa-apa kak. Beneran deh, kakak udah minta maaf berapa kali coba."
"Tapi kakak gak enak. Kata Angkasa kamu lagi sakit, pasti pengen cepet-cepet istirahatkan?" Lily pura-pura berfikir. Kenapa Angkasa memberitahu Kak Sean, bisa gawat jika Kak Sean bertanya yang macam-macam.
"Ini juga kan kita jemput kak Intan pake mobil bukannya jalan kaki. Jadi ya gak apa-apa, kakakku sayaang." Mendengar ucapan terakhir yang dilontarkan Lily entah mengapa membuat kedua pipi Sean memerah bagaikan tomat.
"Eh, Kak Sean blushing. Eaaa." Ejek Lily. Mengerjai kakaknya yang satu ini memang jadi keahlian yang mendarah daging bagi Lily.
"Apa? Enggak kok." Bantah Sean. Sedangkan Lily menaik-turunkan alisnya terus menggoda Sean.
"Atau sebagai permintaan maaf kakak traktir makan ya. Kamu butuh makan biar badannya ada energi." Ucap Sean berusaha mengalihkan pembicaraan. Mata Lily berbinar, tidak mungkin Lily melewatkan hal seperti ini. Lumayan juga karena dirumah tidak ada makanan dan Aster tidak mungkin membelikan makanan untuknya.
Tak dirasa mereka sudah memasuki kawasan klinik.
"Eh itu Kak Intan." Tunjuk Lily pada satu gadis yang sedang berdiri dipintu keluar klinik kecantikan. Sean segera memposisikan mobilnya di hadapan Intan.
Lily langsung membuka pintu dan berpindah ke bagian belakang mobil, membiarkan Intan untuk duduk di depan. Ada raut tidak suka dari Sean saat Lily melakukannya.
"Makasih ya, udah mau jemput aku. Soalnya tadi pagi mobilku masuk bengkel." Ucap Intan begitu masuk kedalam mobil. Tidak ada jawaban dari Kak Sean yang terlihat fokus menyetir. Lily melirik keduanya bergantian. Ini benar-benar seperti berada di kutub, sangat dingin. Ada apa dengan kedua manusia ini?
"Eh kak Intan, ikut makan yuk. Kak Sean mau traktir aku nih." Oh tolonglah, Lily hanya berusaha membuka percakapan untuk mereka berdua. Siapa tahu Lily akan menjadi peri penolong hubungan mereka, agar Lily tidak merasa sebagai pengganggu disini.
"Oh ya? Aku boleh ikut yang?" Penglihatan Lily yang salah atau memang Sean terlihat menahan emosinya saat ini. Apa Lily telah melakukan kesalahan? Sean terlihat tidak suka dengan panggilan sayang yang dilontarkan oleh Intan.
"Ya." Jawab Sean singkat. Tapi jawaban singkat itu berhasil menerbitkan senyuman yang cantik di wajah Intan.
"Oh iya Ly, gimana sama luka kamu?" Tanya Intan untuk menyembunyikan kebahagiaannya. Pasalnya sudah lama sekali sejak terakhir kali Sean mengajaknya makan, walaupun ada Lily. Tapi Intan tetap bersyukur.
"Udah mau kering kok Kak. Obat yang dikasih sama kakak emang awalnya aja perih. Tapi ajib, keringnya cepet. Bekas luka yang dibelakang leher aku juga udah mau hilang kayaknya. Seneng deh." Intan terkekeh geli melihat Lily yang terlihat sangat senang.
"Obat yang kakak saranin baguskan? Dapetnya juga susah loh. Kak Sean aja yang gak percayaan sama omongan kakak. Gimanapun kakak kan juga dokter, ilmu dasar pasti kakak juga punya." Sindir Intan melirik pada Sean yang hanya berdeham disampingnya.
"Tuh kak Sean, didengerin tuh. Punya pacar tuh didukung bukannya diremehin. Contohnya kayak aku ke Angkasa." Tidak ada sahutan dari Kak Sean. Entah mengapa keadaan menjadi hening setelah Lily menyebutkan Angkasa.
"Seneng banget ya Ly bekasnya mau hilang?" Lily seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri jika Intan tidak segera menyahutinya.
"Iya dong kak. Aku tuh suka males kalau tangan Angkasa jahil suka pegang-pegang belakang leher aku alasannya karena pegang bekas luka. Sekarang.."
TIIIIN!
Ucapan Lily terhenti karena tanpa alasan yang jelas Sean memencet klaksonnya dengan keras.
"Tadi ada orang mau nyebrang tapi gak lihat-lihat." Terang Sean saat mendapat tatapan tanda tanya dari Intan dan Lily.
"Mana sih yang? Aku gak lihat ada orang kayaknya." Ujar Intan ragu pada penjelasan yang diberikan oleh Sean.
"Ada tadi. Bukan manusia." Lily membulatkan matanya. "Maksud kakak setan? Jangan gitulah kak. Maghrib-maghrib ini." Sean terkekeh memdengar ocehan Lily, lantas membuat Intan merasa aneh.
"Bukan, kucing. Cuma kucing Ly." Tambah Sean.
"Gimana? Mumpung maghrib kita mampir ke masjid raya aja sebelum ke restoran." Ide Intan.
Tidak ada alasan bagi Sean dan Lily untuk tidak menganggukkan kepala mereka.