Lily mengalihkan pandangan dikala Sean datang menjemputnya. Dengan senyum bodohnya Sean melambaikan tangan.
Tidak ingin menjadi bahan gosip satu sekolah lagi, Lily berencana pergi dari sana, berpura-pura untuk tidak mengenalnya.
Baru dua langkah Lily berjalan, kerahnya ditarik secara paksa untuk tetap berada disana. Lily menggunakan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya agar tidak menjadi pusat perhatian.
"Kak Sean apa-apaan sih?!" Ujar Lily berbisik.
"Kan aku jemput kamu."
"Emang udah bisa jalan?" Sean mengangguk-anggukkan kepala sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.
Lily menendang kaki Sean yang baru sembuh dari lukanya. Lily hanya tak suka saja dengan kehadiran Sean. Mungkin gosip punya pacar baru atau punya simpanan baru atau Lily yang ganjen akan menyebar keesokan harinya.
"Rasain! Orang aku gak minta jemput kok."
"Udah terlanjur sampe juga, cepet masuk Ly, nanti ketemu Yuli." Lily menyeringai, otaknya menemukan ide cemerlang untuk mengerjai Sean.
Lily melambaikan tangan kearah gerbang sekolahnya. "Yul, sini."
Lily tertawa terbahak-bahak melihat Sean berjalan cepat sambil terpincang-pincang masuk kedalam mobil dan menghidupkan mesinnya. Tawa Lily berhenti saat Sean tidak segera melajukan mobil, malah menurunkan kacanya.
"APA?!"
"Ayo Ly pulang, udah ditungguin Aster lho."
Lily memasuki mobil dengan malas, khawatir juga meninggalkan Aster sendirian terlalu lama.
"Ly, pindah depan." Lily memang sengaja membuat Sean kesal karena Lily memang suka melakukannya pada siapapun.
"Gak mau."
"Pindah! Aku bukan supir."
"Siap pak supir." Lily mendelik sebal, tapi kaki dan tangannya bergerak melalui celah kursi untuk bisa sampai di kursi depan.
Setelah beberapa saat, Sean melajukan mobilnya perlahan meninggalkan area sekolah.
"Besok lagi gak usah jemput."
"Kenapa?"
"Aku gak suka jadi bahan gosip." Lily memutar bola matanya malas melihat Sean yang mengernyitkan dahinya. "Intinya kalau aku deket sama cowok, itu pasti jadi bahan gosip."
"Kan aku kakak kamu."
"Sejak kapan aku jadi anak Nyonya Ida? Udah deh, tau gitu aku tadi nebeng Angkasa aja." Hening, Lily merasa ada yang salah dengan Sean. Benar saja saat Lily menoleh dari arah jendela, Lily melihat Sean melamun padahal masih memegang stir.
"KAK! Jangan ngajak mati dong!" Baru setelah itu Sean nampak fokus kembali menyetir mobil.
"Ly."
"Hm."
"Kamu beneran gak tahu?"
"Apa?"
"Kalau Angkasa udah gak tinggal dirumah aku. Dia udah balik ke rumah Ayahnya." Lily terdiam mencoba menyaring apa yang diucapkan oleh Sean.
Bohong jika Lily tidak merasa sedih atau kecewa. Apa Angkasa semarah itu padanya hingga Angkasa tak memberitahu Lily tentang kepindahan Angkasa kembali ke rumah orang tuanya?
Yah, lagi pula siapa Lily bagi Angkasa? Hanya orang biasa. Lily memang bukan siapa-siapa untuk diberitahu tentang hal tersebut.
Lalu bagaimana bisa tadi pagi Angkasa bertemu dengannya dijalan? Tidak mungkin juga rumah Angkasa ada di lingkungannya, untuk apa Angkasa pindah kerumah tantenya jika masih satu lingkungan. Aneh.
Pasti rumahnya bukan dilingkungannya. Jika dilihat dari mama Angkasa, mungkin Angkasa seorang sultan. Ah, benar-benar berbeda level dengannya.
Tunggu apa ini berarti Angkasa masih peduli pada Lily? Karena jauh-jauh menemui Lily hanya untuk berangkat bersama ke sekolah?
Tapi anehnya, setiap Lily menghampiri Angkasa saat pulang sekolah, kenapa Angkasa selalu bilang mau jaga Kak Sean? Sedangkan Kak Sean sudah berjalan dengan baik.
"Ly, lo gak apa?" Lily tersadar dari lamunannya. Lily tidak bisa menyembunyikan sorot kesedihannya. Moodnya benar-benar hancur.
"Ehmm, Angkasa pindah dari hari apa kak?"
"Udah hampir seminggu? Aku juga gak yakin." Lily kembali terdiam, berfikir. Jadi kenapa Angkasa membohonginya selama ini? Ah, mungkin hanya untuk pergi kerja. Tapi sekali lagi Lily tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Lily merogoh saku roknya, mengambil hp yang bergetar.
"Halo?"
"Ly lo kok udah gak dusekolah sih?"
"Iya, ni gue lagi jalan ke rumah."
"Lo gak mau ikut ke pembukaan cafe baru? Katanya banyak artis yang dateng."
"Masa, gue masih di jalan mawar nih. Jemput ya?"
"Ok, lo tunggu sana bentar."
Lily memasukkan hpnya dengan cepat.
"Kak pinggirin mobilnya?"
"Lah mau ngapain?"
"Cepetan." Lily menarik stir mobil membuat mobil Sean sedikit oleng.
"Ly, bahaya tau. Sabar dulu."
Lily tidak sabar untuk segera turun saat Sean mencoba mencari pinggiran jalan yang kosong. Begitu mobil terhenti Lily segera membuka pintu mobil dan segera menutupnya.
Berlari dengan kencang, menjauhi mobil Sean. Membiarkan Sean dengan segala kebingungannya.
Lily membuka hpnya, panggilan masuk dari Sean diangkatnya.
"Ly! Balik sini cepet!"
"Gak mau. Kak Sean yang baik dan ganteng. Aku mau jalan-jalan sebentaaaaaaar aja. Kak Sean tolong jagain Aster ya. Kan Kak Sean udah sehat nih." Ucap Lily masih sambil terus berlari, tak menghiraukan nafasnya yang tak beraturan.
"Gue laporin mama lo ya." Lily menutup telfonnya, tidak peduli walaupun Sean melaporkannya pada Presiden sekaligus. Sudah terlalu lama Lily berdiam diri di rumah, Lily butuh merefresh otaknya sebentar dengan melihat cogan di cafe baru.
Lily melambai pada Yuli dan Rena yang juga melambaikan tangan mereka dari dalam mobil. Lily segera memasuki mobil itu.
Berharap nanti dapat menemukan obat stres.
*
Lily mengaduk-aduk green teanya dengan malas, mengingat semua keanehan Angkasa. Bahkan setelah berada ditempat yang cantik ini Lily masih terus memikirkan Angkasa.
Lily tersadar dari lamunannya saat Yuli tanpa sengaja menjatuhkan sendok cakenya.
"Eh maaf." Yuli segera mengambil sendoknya yang terjatuh.
"Kamu ngapain disini sih Don? Kita itu cewek, kamu cowok sendirian gak malu?" Ujar Rena pada Doni yang duduk anteng di sebelahnya. Lily dan Yulipun ikut melihat Doni dengan penasaran.
Cafe baru yang mereka kunjungi sekarang adalah cafe yang identik dengan perempuan. Mulai dari dekorasi sampai menunya, tapi ternyata Doni sangat menyukai makanan manis seperti kebanyakan perempuan.
"Kenapa gak boleh?" Tanyanya dengan enteng.
"Ya gak apa-apa sih."
"Bilang aja lo jadi mata-matanya si Angkasa." Tuduh Yuli menudingkan sendok bersih yang baru saja diambilnya.
"Eh, apaan lo? Enggak, enak aja gue mata-mata Angkasa." Lily menatap tajam Doni. "Enggak Ly, suer."
"Oh."
"Ya ampun. Kalian kenapa sih? Kok sewot banget sama gue."
"Gue curiga lo punya kelainan."
"Kelainan apa?" Tanya Rena penasaran.
"Kelainan kecewek-cewek an itu lho." Yuli segera bersembunyi di belakang Lily, saat Doni hendak melemparinya dengan tisu yang sudah digulung-gulung seperti bola.
Naasnya, lemparan tisu itu terkena Lily dan membuat Lily memejamkan mata menahan amarahnya yang mungkin bisa saja meledak karena sudah tertahan sedari tadi.
Lily membuka matanya lagi, menjauhkan Yuli darinya. Melihat itu Doni, Rena dan Yuli menghela nafas lega. Lily bisa menahan emosinya.
Satu lemparan lagi mengenai Lily. Lily menggeram kesal menatap Doni.
"Sumpah Ly, yang barusan bukan gue."
"Terus siapa lagi?" Dengan cepat Lily meraih rambut Doni dan menjambaknya kuat-kuat.
"Ly, suer. Bukan gue!" Teriak Doni kesakitan. Rena dan Yuli kelabakan memisahkan mereka.
"Gak percaya."
"Udah dilihatin orang Ly." Ingat Rena. Bukan Lily namanya jika berhenti ditengah jalan. Tangan satunya lagi yang masih kosong Lily gunakan lagi untuk menjambak Doni lebih kuat.
Doni juga tidak ingin mengalah, Doni menarik rambut Lily gantian. Membuat Lily semakin tidak ingin melepaskan jambakan itu. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin mengalah. Sampai akhirnya mereka berdua menjadi tontonan publik.
"Gue bilang bukan gue Ly!"
"Mana buktinya!"
"Ya, ya gak ada. Aaaawwww!" Lily menguatkan jambakannya. Salah memang melampiaskan emosinya yang seharusnya untuk Angkasa pada Doni.
"Lily!" Satu bentakan itu berhasil membuat Lily menoleh tanpa melepaskan jambakannya.