Lily berlari menghampiri Aster yang sedang terduduk di depan sebuah ruangan VIP dengan luka lecet dibeberapa bagian tubuhnya.
Lily memeriksa setiap inci tubuh Aster, membolak-baliknya seperti memasak ikan agar matang seluruhnya.
"Kamu gak papa kan?"
"Gak apa kak. Cuma lecet dikit kok."
"Gak gegar otak kan?"
"Gak papa kak. Bener." Lily menghela nafas lega.
"Cuma..." Lily menunggu. "Cuma apa?"
"Kak Sean lebih parah.." Separuh dunia Lily runtuh seketika. Lily seperti masuk dalam sebuah film jadul hitam putih.
Dengan langkah slow motion, Lily mendekati pintu dengan sebuah kaca kecil yang tembus pandang. Lily melihat seseorang terbaring disana.
Lily kembali menitikkan air mata. Bagaimana bisa Kak Sean melewati nasib yang buruk seperti ini.
"Kak.." Panggil Aster, namun telinga Lily sudah terlanjur tuli untuk mendengarkannya.
Lily membuka pintu itu, menghampiri Sean dan memeluknya. Lily menangis dengan keras, tidak memedulikan Aster yang ingin berbicara dengannya.
Lily melihat sebelah kaki dan tangan Kak Sean yang terbungkus perban dengan tebal. Sean terbangun mendengar tangisan Lily. Kak Sean terkekeh saat Aster menjelaskannya tanpa suara agar tidak terdengar Lily.
"Aku belum mati Ly."
Lily terbangun menatap Kak Sean dengan mata sembabnya. "Kak Sean? Lily kira kak Sean koma. Ternyata enggak, syukurlah." Lily kembali menangis dan memeluk Sean kembali.
"Ly, kamu ngapain?" Tanya Angkasa yang tiba-tiba masuk membawa berkas-berkas rumah sakit.
Angkasa menarik bahu Lily agar segera melepaskan Kak Sean. Namun Lily enggan untuk melepasnya dan semakin mengeratkan pelukannya.
"Ly lepas!" Paksa Angkasa mengingat Lily tidak mengenakan bra walau masih tertolong dengan mengenakan jaketnya.
Lily menggeleng, semakin mengeratkan pelukannya. Membuat Angkasa geram.
"Ly, kalau kamu peluk gini akunya tambah sakit."
Akhirnya Lily melepas pelukannya sembari menahan ingusnya keluar. "Kok parno banget kenapa?"
"Habis Aster bilangnya kalau Kak Sean parah." Angkasa segera menonyor kepala Lily dan bangkit meninggalkan ruangan.
"Kan aku belum selesai ngomongnya, kakak udah budek aja." Lily cemberut.
"Tuh Angkasa marah." Ujar Kak Sean memperhatikan kepergian Angkasa yang begitu tiba-tiba. Angkasa meninggalakan ruangan dengan langkah lebar.
"Hah? Marah kenapa?"
"Salah kamu."
"Kok aku?"
"Susulin aja sana."
Tanpa berfikir panjang Lily berlari keluar, menyusul Angkasa yang berjalan jauh didepannya. Lily terus mengikuti Angkasa dari belakang.
Lily menghentikan langkahnya saat Angkasa berhenti melangkah dan menoleh padanya dengan tatapan tajam.
"Kenapa dibelakang? Sini jalan disamping." Lily tersenyum, berlari kecil kesamping Angkasa dan berjalan bersama.
Lily mengikuti Angkasa yang menjadi pusat perhatian setiap staf rumah sakit, pengunjung bahkan pasien. Lily tak nyaman dengan tatapan mereka pada Angkasa, ini karena mereka tadi berangkat terlalu terburu-buru, jadilah Angkasa tidak punya waktu bersiap-siap untuk berpenampilan cupu.
"Masih marah?" Lily tak mendapatkan balasan dari Angkasa yang tengah sibuk membayar sebuah kopi kaleng dan sekotak susu.
Angkasa membawanya dan kembali berjalan, membawa Lily duduk disebuah taman rumah sakit. Lily menghela nafas sabar saat Angkasa mengabaikannya.
Lily memainkan kotak susu yang sudah tandas diminumnya beberapa saat lalu. Angkasa masih enggan berbicara padanya.
Angkasa menatap langit malam. Saat Lily menatapnya juga, Lily tak menemukan apapun, karena dikota padat ini bintang tertutup terangnya lampu kota.
"Sa, marah?"
"Marah? Enggak."
"Kok diemin aku." Angkasa kembali terdiam. Kemudian Lily meringsek masuk kedalam pelukan Angkasa.
"Jangan marah. Nanti gantengnya hilang. Kan udah ganteng."
"Minggir, sana peluk kak Sean aja." Mendengar Angkasa berkata demikian, Lily segera melepaskan pelukannya pada Angkasa.
"Hmph. Ya udah, kamu juga duduk aja disini sampe Sindi dateng!" Lily menghentakkan kakinya kesal, pergi dari hadapan Angkasa.
*
Sudah setengah jam ini Lily banyak tertawa, karena mamanya dan tante Ida sudah kembali dengan kecepatan kilat setelah mendapat kabar itu. Sudah setengah jam juga Angkasa belum kembali bergabung disini.
Lily memutar bola matanya. Malas. Memikirkan Angkasa si pemarah. Apa salah Lily sampai Angkasa jadi seperti itu? Entahlah. Lily malas. Malas memikirkannya.
"Eh Ly, kamu pulang aja gih. Mama biar yang jaga Aster. Kak Sean juga ada mamanya kan."
"Iyadeh ma, besok juga masih sekolah." Liky beranjak dan berpamitan pada semua orang dalam ruangan itu.
"Kak pulang sendiri berani?"
"Berani kok. Masih jam sembilan." Setelah mengatakan itu Lily benar-benar keluar ruangan, hendak pulang kerumahnya.
Lily mendengus sebal saat berpapasan dengan Angkasa yang ada didalam lift. Angkasa tidak berniat turun, padahal ia tahu ini merupakan lantai dimana tujuannya adalah kekamar Kak Sean.
Lily menggunakan kakinya untuk menahan pintu lift supaya tidak tertutup. Kemudian masuk tanpa memedulikan Angkasa yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Kamu mau kemana Ly?"
Lily berhenti memainkan hpnya dan berfikir sejenak. "Pulang."
"Sama siapa?"
"Sendirilah."
"Terus Aster gimana?"
"Udah ada mama."
"Kak.."
"Udah ada Nyonya Ida."
Angkasa mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Mau aku anter?"
"Enggak usah." Lily tertawa hambar. Kenapa harus tanya? Paksa aja. Lily pasti mau.
Bilangnya tidak mengantar Lily tapi masih mengikuti Lily bahkan setelah keluar dari lift dan berjalan di lorong yang sepi ini.
"Aku masih marah lho Ly."
"Terus?"
"Cuma ngasih tahu. Gak pengen baikan?"
"Kamunya tadi gak mau." Lily terus menjawab pertanyaan Angkasa tanpa menatap matanya, memilih fokus pada jalanan dengan keramik putih yang menjadi jalannya sekarang.
"Sekarang?"
Lily berhenti melangkah, Angkasa mengikutinya. Lily berbalik menghadap Angkasa yang berdiri dibelakangnya.
"Terus gimana caranya biar kamu gak marah lagi?" Angkasa menjulurkan tangannya.
"Aku anter." Angkasa masih berusaha menyodorkan tangannya pada Lily karena tak kunjung mendapat sambutan.
Lily memejamkan matanya. Mengerutkan dahinya berfikir. Tak lama Lily menyambut tangan Angkasa dan menggandengnya.
Kini Angkasa berjalan beriringan dengan Lily. Lily tersenyum puas, karena Angkasa sudah tidak terlihat marah padanya.
*
Lily turun dari motor Angkasa, saat kendaraan itu berhenti tepat didepan rumah Lily. Melihat Lily yang kesulitan melepaskan helm, Angkasa membantunya.
"Jangan marah lagi ya?"
"Enggak."
"Bener?"
"Iya, udah sana tidur."
"Lily." Sebuah panggilan kepada Lily menginterupsi mereka. Angkasa dan Lily menoleh kearah sumber suara yang berasal dari halaman rumah Lily.
"Papa." Arya berjalan mendekati anaknya. "Papa kenapa kesini malem-malem?" Dengan cepat Angkasa menyembunyikan Lily dibelakangnya.
Arya terkekeh melihat teman anaknya yang begitu ingin melindungi Lily, sedangkan anaknya sendiri terlihat biasa saja. Angkasa menahan tangan Lily saat hendak menghampiri papanya.
"Sa, gak papa kok."
"Gak papa gimana? Lihat bekas luka kamu sekarang itu gara-gara siapa?"
"Gak kelihatan Sa. Kan dibelakang leher." Lily terkekeh, sedangkan Angkasa masih menatapnya penuh kekhawatiran.
"Gak papa kok, bener. Kamu pulang aja. Oke?" Dengan langkah tak rela Angkasa membawa motornya masuk ke rumah sebelah. Setelah memastikan Angkasa masuk, barulah Lily mengajak papanya masuk kedalam rumah.
Lily tentu masih merasakan ketakutan pada papanya, tapi dilubuk hatinya yang terdalam papanya tetap papanya. Bahkan ketika mama dan papanya akan resmi bercerai.
"Papa nungguin dari jam berapa?"
"Gak lama kok. Gimana keadaan Aster?"
"Cuma lecet dikit. Yang lebih parah Kak Sean."
"Mama kamu itu gimana sih, jaga anak kok gak pecus."
"Jangan salahin mama pa. Ini cuma musibah aja." Lily meletakkan sebuah gelas berisi teh hangat untuk papanya minum.
"Pokoknya papa gak mau tau, enam bulan lagi saat sidang perceraian datang. Papa akan ambil hak asuh kamu sama Aster."
"Ha? Papa apa-apaan deh. Gak mau. Lily gak mau tinggal di Malaysia. Apalagi sama nenek sihir itu."
"Jaga bicara kamu Ly."
"Lha? Lily salah omong?" Lily menghela nafas gusar. "Papa lupa kemaren habis mau celakain aku? Kenapa sekarang peduli sama aku?"
"Papa salah Ly. Papa minta maaf. Kamu sama Aster ikut papa ya?"
"Mending papa pulang." Lily menyeret papanya menuju pintu keluar. "Ly."
"Pergi!" Lily menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Takut banyak tikus masuk ke dalam rumahnya.
*
Angkasa mengintip dari celah jendela kamarnya, melihat sebuah mobil lergi meninggalkan pekarangan rumah sebelah. Lalu beralih ke sebuah jendela kamar yang lampunya baru saja dihidupkan.
Sepertinya Lily baik-baik saja.
Fokus Angkasa beralih pada dering hp yang terus berbunyi. Angkasa memijit kepalanya yang pusing melihat puluhan notifikasi masuk dari 1stwinner_.
_____
Hayoloh siapa itu?