"Yaudah lah. Ini masih sore. Dan semoga aja Bapaknya enggak berniat jahat," pikir Aneisha sambil menyelipkan sedikit anak rambut ke belakang telinga.
"Em... Yaudah, deh."
Aneisha membuka pintu belakang taksi.
"Gua duluan ya, Devian. Bye."
Devian tersenyum.
"Bye. Hati-hati ya!" katanya.
"Pak, titip dia ya."
"Alamak, senyumnya! Cameron Dallas aja kalah deh. Sumpah," ucap Aneisha di dalam hatinya.
Aneisha lalu menutup pintu, dan taksi pun melaju menuju rumah Aneisha. Tetapi Aneisha masih penasaran, siapa yang udah pesan taksi ini.
"Yang nelpon siapa emangnya Pak? Laki-laki atau perempuan?" tanya Aneisha kepada sopir taksi itu.
"Wah, Bapak juga kurang tahu, Teh. Bapak kan cuma menerima orderan dari pusat. Pacar Teteh mungkin?" tanyanya.
Aneisha terus bertanya-tanya siapa yang sudah memesankan taksi untuknya. Karena Aneisha tidak merasa memiliki pacar untuk saat ini.
"Ah, ya kali Gavriel? Mustahil banget dia mau pesanan taksi buat gua," pikir Aneisha di dalam hatinya.
"Tapi, saya enggak punya pacar, Pak," ucap Aneisha.
Si Bapak terdengar heran.
"Oh gitu?" tanyanya.
"Bapak kira Aa yang tadi pacar Teteh," sambungnya.
Yang Aneisha tahu, menurut orang-orang, omongan itu doa. Jadi, Aneisha aamiinin aja deh.
"hehehe, amiin deh, Pak."
Setela itu, perjalanan diteruskan dengan hening, dan Aneisha mendadak ingat Zora dan Helen yang Aneisha tinggalin tanpa alasan tadi.
"Mampus, mereka pasti ngamuk sama guya besok. Huft, lelah hayati," ucap Aneisha sendirian.
******
Malam itu, Aneisha nungguin kak Felix sampai lumutan. Habisnya, dia tidak datang-datang. Bilangnya, "Iya udah deket bentar, deh." Tapi tidak sampai-sampai. Dasar Pemberi Harapan Palsu.
Kemudian, bel rumah berbunyi. Aneisha pun tanpa ba-bi-bu langsung berlari menuju pintu depan dan membukanya.
"KAK FELIX!!! LO DARI MA..."
"Oh my God, Gavriel ngapain di sini? Ini lagi ngapain Pak Tantan ngizinin Gavriel masuk? Siap-siap ambil semprotan merica ini, sih," pikir Aneisha di dalam hatinya.
"Hai Neish," sapanya.
Aneisha mencium aroma manis yang semerbak saat Gavriel berdiri di hadapannya. Kemudian Aneisha melirik pada sumbernya. Martabak. Wanginya enak banget, bikin perut Aneisha kruyuk-kruyuk.
"Ngapain lu di sini?" tanya Aneisha.
"Kayak jelangkung aja, datang tak diundang pulang tak diantar," sambungnya.
Gavriel menaikkan sebelah alisnya,. "Loh emangnya enggak boleh cowok main ke rumah ceweknya?"
Aneisha mendelik, berusaha kelihatan sejutek mungkin. Berusaha bersikap jual mahal. Yaa.... Daripada jual murah mending jual mahal. Tidak apa-apa tidak laku yang penting mahal.
"Tahu dari mana alamat gua?"
Gavriel tersenyum, "Dari taksi yang nganter lu tadi," jawabnya.
"OH... JADI LU YANG..."
"Nih, martabak buat lu. Gua engga di suruh masuk nih?" Gavriel menyela ucapan Aneisha.
Aneisha mendelik lagi, sebenarnya Aneisha tidak rela rumahnya dimasuki makhluk kaya dia. Tapi, karena Aneisha baik, dan demi kesopanan, Aneisha pun mengizinkan Gavriel untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Rumah lu enak ya, Neish," katanya seraya menatap ke sekeliling.
"Sendirian aja?" tanyanya lagi.
Aneisha mendongak dari handphone, menatap wajahnya sesaat.
"Lu buta apa gimana? Kita berdua."
Sebenarnya Aneisha tinggal bertiga dengan Bi Siem yang dengan setia nungguin di belakang pintu dapur.
"Bokap sama Nyokap lu mana?"
"Jakarta."
"Terus lu di sini sama siapa?"
"Abang."
Omong-omong soal Abang, Felix mana, sih? Sampai saat ini kak Felix belum juga pulang.
"Oohh...," ujar Gavriel, kemudian hening. Gavriel sibuk melihat ke sekeliling. Cari cicak kali buat makan malam. Sementara Aneisha memutuskan untuk menghubungi kak Felix.
Aneisha : Kak Felix.
Aneisha : Lu nggak mau pulang? Gak inget punya rumah?
Namun, setelah lima menit, tidak juga di baca pesan Aneisha oleh kak Felix.
"Den, ini minumnya," kata Bi Siem seraya menaruh secangkir teh hangat ke hadapan Gavriel. Melihat hal itu, Aneisha tidak tahan ingin protes.
"Yah, Bi, kenapa dikasih minum, sih?"
"Kan, tamu atuh Neng, harus dihormati," jawab BI Siem.
"Lain kali mah ga usah."
Gavriel senyum, dikulum. Nyebelin banget wajahnya. Lalu sebelum Aneisha ngomel-ngomel karena wajah Gavriel yang nyebelin, handphone Aneisha berbunyi. Pesan Aneisha baru saja dibalas kak Felix.
Kak Felix : Apa sih? Bawel banget lu.
Aneisha : Hm ya hm. Gitu ya kamu sekarang.
Aneisha : Balik woy, jam berapa ini rumah bukan hotel tempat makan sama tidur doang.
Kak Felix : Iya habis nganter Zahra pulang dulu ini.
"Yehh, ini sih faktor punya pacar. Jadi kerjaannya jalan sama pacar terus. Engga inget rumah," ucap Aneisha sendirian.
"Neish," panggil Gavriel menginterupsi omelan Aneisha. Dengan tidak sabar, Aneisha menoleh.
"Apa?"
"Lu gila, ya?" tanyanya.
"Maksud lu apa?"
"Habis lu ngedumel enggak jelas gitu," jawabnya.
"Bodo, ya. Mulut, mulut gua. Suka-suka gua mau ngomel kek, mau nangis kek, mau monyong kek. Engga ada urusannya sama lu!"
Gavriel terkekeh.
"Yaudah, ga usah galak-galak kek. Besok pagi gua jemput, ya?"
Serta merta Aneisha menolak ajakan Gavriel.
"Enggak perlu. Makasih."
Gavriel seolah tak peduli, dia malah bangkit menuju pintu.
"Pokoknya gua jemput lu besok. Dah, gua balik dulu, ya! Udah malam."
"Yaudah, sana! Jangan balik-balik lagi, ya!"
Aneisha bahkan tidak bergerak untuk nganterin Gavriel ke depan pintu. Aneisha cuma melambaikan tangan dengan gesture mengusir. Emang ngusir sih, sebenarnya.
Sepeninggalan Gavriel, Aneisha mengambil kotak martabak yang semula tak tersentuh di meja ruang tamu.
"Biar apa coba, Gavriel pakai bawa martabak segala? Oh gua tahu. Jangan-jangan dia lagi berusaha nyogok gua biar gua mutusin duluan gara-gara enggak kuat pura-pura pacaran sama dia," ucap Aneisha sendirian.
Lalu, terdengar suara pagar dibuka sama Pak Tantan, satpam rumah yang sekaligus sopir part-time kalau kak Felix benar-benar tidak bisa nganter. Suara mobil kak Felix terdengar. Aneisha berlari dengan kilat ke dapur.
"Loh, Neng? Ngapain makan martabak di sini? Itu kan Den Felix di depan," ucap Bi Siem.
Aneisha menempatkan telunjuk di depan bibirnya.
"Sstt, Bibi jangan bilang-bilang kak Felix, yah kalau Aneisha di sini. Nanti martabaknya habis sama kak Felix," jawab Aneisha.
Aneisha lalu mengambil dua potong martabak dan menempatkannya di piring.
"Nih, buat Bibi. Tapi, jangan bilang-bilang kak Felix kalau..."
"Bilang apa?"
Suara kakn Felix terdengar dari belakang.
"mampus, ketauan deh gua," ucap Aneisha di dalam hatinya.
Aneisha berbalik badan, lalu tersenyum kepada kak Felix yang sudah berdiri sambil memutar-mutar kunci mobil di jarinya.
"Hai," sapa kak Felix. Matanya langsung tertuju pada martabak di gendongan Aneisha.
"Enak tuh. Minta dikit doang elah, Neish. Lagian dari siapa sih? Lu beli?" tanyanya.
"Itu Den, tadi ada cowok yang ke sini. Itu martabaknya juga dari cowok tadi," jelas Bi Siem. Aneisha langsung ketar-ketir mendengar jawaban dari Bi Siem.
-TBC-