webnovel

Algea High School

SMA Algea merupakan tempat perkumpulan dari anak-anak berbakat yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Meskipun dikenal sebagai sekolah favorit SMA Algea sendiri nyatanya menyimpan banyak tindakan ilegal yang selalu disembunyikan dari siswa-siswanya. Bandung yang menjadi siswa perwakilan asal negaranya sendiri. Mencoba untuk bekerja sama dengan teman-teman sekelasnya sendiri yang berasal dari negara berbeda-beda untuk memecahkan misteri sekolah mereka. Tidak hanya itu saja, Bandung juga memiliki tugas untuk membantu masalah pribadi yang dihadapi oleh teman-teman sekelasnya itu yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Bandung yang hanya merupakan siswa penerima beasiswa, harus mampu menyelesaikan semua masalah itu meskipun dirinya kerap kali merasa kesulitan.

devina_putri_2825 · アクション
レビュー数が足りません
216 Chs

Terlalu Banyak Bicara

"Kau benar mereka semua adalah psikopat. Tidak hanya teman sekelas kita saja yang memiliki niat untuk menjatuhkan satu sama lain karena guru-guru di sini pun tampaknya, sangat ingin membunuh anak didiknya sendiri," kata Bandung masih dengan suara tenangnya. Tampaknya, mentalitas remaja itu sudah benar-benar teruji, terbukti dirinya masih mampu bersikap tenang sampai sejauh ini.

"Heh, daripada mengatakan mereka semua psikopat, sejujurnya aku menjadi sedikit takut denganmu karena sikapmu yang kelewat tenang itu," ujar Bangkok dengan jujur. Lagi pula jika dirinya berada di posisi Bandung mungkin saja dirinya memilih untuk segera pulang kembali ke negara asalnya. Mana mungkin siksaan seperti ini bisa dianggap sebagai masalah remeh atau bahkan hanya candaan saja. Kecuali untuk orang-orang dengan penyakit kejiwaan tertentu.

Bandung menghela nafas. "Tidak ada pilihan lain, selain harus berkepala dingin di situasi seperti ini. Kalau kau terus membiarkan dirimu, merasa takut untuk tinggal di tempat seperti ini. Aku yakin lama-lama kaulah yang memiliki penyakit kejiwaan," balas Bandung.

"Aku merasa sangat jengkel kepada Manila. Dia-dia benar bersikap seperti seorang pengecut tadi," kata Bangkok dengan nada suara terdengar kecewa.

Bandung ingin membalas perkataan Bangkok, namun dirinya memilih untuk diam dan tidak jad membalas karena ia melihat sosok yang dibicarakan muncul di balik pintu.

Manila berdiri di depan pintu sana dan tampak menatap kosong ke arah Bandung. Remaja laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Bandung kemudian menyodorkan sebuah kotak berbungkus yang terlihat seperti paket kiriman.

"Rupanya kau masih memiliki wajah untuk bertemu dengan Bandung. Padahal, jelas-jelas tadi kau lari seperti pengecut!" sindir Bangkok.

"Ya. Aku adalah seorang pengecut karena itu aku ingin meminta, Bandung untuk meninju wajahku sebanyak 5 kali setelah aku mengantarkan paket padanya," kata Manila datar.

"Paket? Jangan-jangan itu hanya akal-akalanmu saja. Kau meletakkan racun, benda berbahaya atau bom? Agar kau bisa mencelakai Bandung lagi!" tuduh Bangkok yang sudah kehabisan kesabarannya.

"Paket itu dikirimkan oleh keluarga Bandung. Dan Ms Denmark memintaku untuk memberikan paket ini pada Bandung. Jika terjadi sesuatu yang salah kau bisa salahkan Ms Denmark, kau tahu Ms Denmark tidak akan keberatan soal ini sekalipun kau menuduhnya tanpa bukti jelas," ujar Manila terang-terangan.

"Lihat itu Bandung! Dia bahkan mau menyalahkan orang lain atas kesalahan yang ia perbuat sendiri. Bisa gila aku kalau terus bersamanya seperti ini." Bangkok menatap tajam ke arah Manila.

" ... aku percaya padanya Bangkok. Mungkin ada baiknya, kita tidak terlalu membahas masalah ini terus-menerus," ucap Bandung berusaha untuk menyudahi perdebatan di antara Bangkok dan Manila.

"Kau membelanya!" jerit Bangkok kesal sekaligus tidak terima. Tentu saja remaja laki-laki itu merasa sangat kesal mendengar ucapan Bandung tersebut. "Kalau kau mati sekarang karena ada bom di dalam paket itu, apa kau masih mencoba membelanya?" Dan pikiran buruk Bangkok kian menjadi-jadi.

"Tidak juga ... hanya saja aku pikir paket ini isinya bukan bom. Tapi entah mengapa aku mencium aroma tidak sedap dari sini?" Bandung terlihat penasaran, anak laki-laki itu sudah membuka sebagian bungkus paket.

"Sebaiknya tidak usah kau buka saja! Aku benar-benar takut kalau isinya itu bom," keluh Bangkok yang sebenarnya memang merasa takut kalau benar isi paket itu adalah bom.

"Terlalu banyak menonton film," sindir Manila dengan suara pelan.

Dan, Bangkok yang mendengar sindiran Manila kembali menatap tajam ke arahnya. "Katakan itu lagi dan aku pastikan kepalamu itu sudah pindah ke bawah kaki," katanya dongkol.

"Sudahlah, berhenti bertengkar. Telingaku sakit mendengar ocehan kalian!" ujar Bandung dengan suara yang terdengar cukup keras. Dia sengaja mengeraskan suaranya agar teman-temannya itu berhenti berdebat.

Bangkok dan Manila langsung terdiam. Mereka paham betul, bahwa Bandung benar-benar merasa sudah terganggu akibat ulah mereka.

Bandung yang telah membuka paket tersebut, lalu mengeluarkan isinya dengan wajah yang terlihat kaget. "Durian ... kau lihat Bangkok, tidak ada bom di sini kecuali bom bau menyengat dari buah ini," katanya sembari menunjukkan buah durian tersebut pada Bangkok.

"Hah? Siapa yang mengirimkan buah itu padamu? Uh, sial aku tidak suka aromanya," keluh Bangkok yang merasa terganggu dengan aroma menyengat dari buah durian tersebut.

Bandung kemudian kembali merogoh-rogoh ke dalam kotak untuk mencari sesuatu di sana dan ketika ia melakukan hal tersebut, ia mendapatkan sepucuk surat di sana.

"Surat?" gumamnya penasaran. Bandung kemudian membuka isi surat tersebut dan mulai membaca isinya.

"Sepertinya kau memang senang menuduh orang lain. Ah, menyedihkan sekali," sindir Manila yang tahu bahwa tuduhan Bangkok pada dirinya tidaklah benar.

"Diam kau!" gertak Bangkok tidak terima. "Aku melakukan itu karena aku tidak percaya padamu. Buktinya kau sebelumnya tidak berani untuk membantu Bandung dan justru malah melarikan diri. Cih, dasar pengecut sialan," maki Bangkok.

"Karena aku merasa bersalah padanya, makanya aku meminta Bandung untuk meninju wajahku sebanyak 5 kali. Atau kalau dia merasa kurang, dia boleh menendang ulu hatiku," balas Manila tidak mau kalah. Sebenarnya Manila, memang merasa bersalah hanya saja dia tidak tahu harus mengucapkan permintaan maaf yang benar seperti apa.

"Cih, dasar pengecut. Kau berharap diampuni dengan menerima kekerasan seperti itu. Mentalmu benar-benar rendahan. Bandung, tidak akan sudi melakukan hal menjijikkan seperti itu."

"Apa kau bilang?!" Tampaknya Manila sudah mulai tersulut emosinya mendengar kata-kata provokasi dari Bangkok.

Bangkok menyeringai melihat reaksi Manila yang terlihat mulai tersulut emosinya. "Hm, lihat! Mental tidak stabil, ya tingkahnya seperti ini," katanya kembali mencoba memprovokasi Manila.

"Sebaiknya kalian diam dan berhenti bertengkar!" Bandung menutup suratnya dan menatap tajam secara bergantian ke arah dua temannya tersebut. "Aish, kalian berdua ini, sedikit saja dibiarkan langsung kembali bertengkar. Aku benar-benar merasa jengkel dengan kalian."

Dan kembali lagi Bangkok serta Manila saling terdiam.

"Durian ini dikirimkan oleh Ibuku. Dan ... ngomong-ngomong soal meninju wajahmu, Manila aku tidak tertarik untuk melakukan hal tersebut. Anggap saja aku memaafkanmu asalkan kau memberikanku balut (balut adalah telur itik atau ayam yang berisi embrio itik yang hampir sempurna yang direbus dan dimakan). Jadi, bagaimana Manila?" Bandung justru menawarkan suatu hal yang tidak terduga.

"Hah? Aku tidak habis pikir dengan pola pikirmu, bagaimana mungkin kau bisa berpikiran aneh seperti itu?" Bangkok tidak percaya, Bandung justru meminta suatu hal yang sama sekali tidak ia duga.

"Memangnya kenapa kalau dia meminta balut? Kau juga mau kuberikan itu?" Manila memandang kesal ke arah Bangkok.

Dan ketika Manila dan Bangkok akan kembali memulai pertengkaran, Bandung dengan cepat menyuapkan isi buah durian ke dalam mulut kedua temannya tersebut.