Tahun 2022, di tengah hamparan Padang rumput. Seorang pemuda tengah duduk dan memandang langit, pemuda itu memasang wajah sedih. Setetes air mata baru saja keluar dari mata indahnya. Pemuda itu bernama Gerald. Kulit sawo matang, mata sipit, rambut gondrong, dan kaca mata khas-nya membuat Gerald tampak seperti pria tampan.
Dalam sedihnya, Gerald mengingat masa lalunya saat berselisih dengan ayahnya.
"Ayah, aku ingin menjadi seorang ilmuwan! aku ingin menjadi seorang profesor! semua teman sekolahku juga tahu, aku adalah seseorang yang jenius. Ayah... aku sama sekali tidak menginginkan menjadi seorang petani sepanjang hidupku."
"Nak, harusnya kau sadar diri. Ayah tidak mampu membayar uang sekolahmu. Sudahlah nak, lupakan impianmu! bantulah ayah bertani, kau adalah satu-satunya putra ayah dan kamu juga sudah cukup dewasa. Sudah saatnya kamu membantu ayah bekerja!"
"Tidak bisa bayar uang sekolah? aku mendapatkan beasiswa, ayah tidak perlu khawatir soal biaya. Ayah hanya perlu setuju saja. Selain itu... saya tidak bisa melupakan impianku!"
"Nak, ayah tidak rela jika kamu harus keluar negeri hanya untuk belajar. Tinggallah bersama ayah nak!"
"Sekali lagi ayah, aku tidak bisa melupakan mimpiku. Nanti aku akan sambil bekerja, aku akan mengirimkan uang kepada ayah setiap bulannya."
"Tapi nak!"
"Ayah setuju atau tidak, aku akan tetap pergi. Maafkan Gerald ayah, Gerald tidak bisa melupakan impianku! Kelak aku akan menjadi seorang ilmuwan."
Ayah Gerald tidak mampu berkata apa-apa setelah melihat betapa Gerald keras kepala. Ayah Gerald kemudian menghela nafas cukup dalam.
"Baiklah nak, ayah akan menyetujui kepergian mu. Kau tunggulah disini!" Ayah Gerald lalu masuk ke dalam kamar dan membawa kalung emas milik almarhum ibu Gerald.
"Bawa ini sebagai bekalmu. Kelak jika kamu bekerja dan menghasilkan uang, tidak perlu mengirim ke ayah, sebelum kamu berhasil."
Gerald cukup tersentuh dengan apa yang dilakukan ayahnya. Gerald tidak menolak kalung pemberian ayahnya sebab ia sadar, ia mungkin akan membutuhkannya disana.
"Ayah, aku bersumpah. Aku akan belajar bersungguh-sungguh dan aku tidak akan pulang sebelum aku menjadi seorang profesor. Kelak, aku pasti akan membanggakan ayah!"
Gerald yang saat ini telah mengenakan jas putih juga memakai kacamata, kini hanya bisa menangis karena setelah baru saja mendapat kabar kematian ayahnya.
"Andai saja ayah hidup lebih lama, mungkin aku bisa menemui ayah setelah resmi menjadi profesor tahun depan. Mengapa ayah pergi begitu cepat?" Gerald terus bergumam dalam hati.
Gerald terus bersedih sambil memandangi langit malam, Gerald mengingat kembali saat ia berada di universitas.
"Pak, bisakah saya izin? Ayah saya baru saja meninggal. Saya ingin kembali untuk memakamkan ayah untuk yang terakhir kali, bisa nggak pak?" Gerald memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya meski masih dalam keadaan sedih.
"Nak, aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu. Hanya saja, besok adalah hari ujianmu. Jika kau pergi, artinya kau tidak ikut ujian. Jika kamu tidak ikut ujian, artinya kamu akan gagal. Aku tahu bagaimana rasanya, tapi pikirkanlah baik-baik nak. Jika itu hari biasa, aku bisa saja membantumu untuk libur dulu, tapi besok adalah ujian yang akan menentukan apakah kau lulus atau tidak. Maaf nak, aku tidak bisa membantu kali ini."
"Pikirkanlah baik-baik!"
Gerald hanya bisa diam mendengarkan penjelasan gurunya. Saat itu, Gerald memang sangat dilema. Jika ia kembali untuk pemakaman ayahnya, maka ia akan gagal meraih impian yang sudah i depan mata. Tapi... jika Gerald tetap tinggal dan ujian, maka ia akan langsung bekerja sebagai profesor jika mendapat nilai bagus. Dengan berbagai pertimbangan, Gerald baru memutuskan untuk tetap tinggal dan menunggu hari ujian tiba setelah mengingat janjinya pada sang ayah. Bagi Gerald, meski ayahnya telah meninggal, Gerald masih tetap bersikeras mewujudkan impiannya, dan memenuhi sumpahnya yang mengatakan akan menjadi seorang profesor.
"Aku bahkan tidak bisa ikut memakamkan ayah untuk yang terakhir kali. Setelah ujian, aku akan bergegas pulang!" Gerald memejamkan mata setelah berbaring dengan posisi menghadap ke atas. Pandangan Gerald menjadi gelap dan malam berlalu begitu tenang.
"Ah, sialan! Sudah lima belas menit lagi jam tujuh. Aku akan terlambat jika tidak bergegas sekarang." Gerald kemudian buru-buru kembali ke universitas secepat mungkin. Beruntung jarak yang ditempuh Gerald tidaklah jauh. Gerald berhasil sampai lima menit sebelum ujian dimulai.
Hari-hari sibuk saat ujian selama beberapa Minggu membuat Gerald kini hanya memikirkan ujiannya. Sebulan kemudian... Gerald sudah berada duduk di kursi pesawat. Yah... Gerald akan segera pergi ke kampung halamannya.
"Ayah... akhirnya aku telah menjadi seorang profesor. Andai saja ayah masih hidup." Gerald kembali bersedih ketika mengingat kematian ayahnya.
Gerald akhirnya sampai dan kini ia berdiri di depan rumahnya yang sudah terlihat usang. Gerald kemudian membuka pintu rumahnya dan langsung disuguhi pemandangan rumah yang berantakan. Melihat kondisi rumahnya, Gerald bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi.
Setelah bertanya pada tetangga, seorang perampok datang untuk merampok rumah ayah Gerald. Dalam insiden perampokan, ayah Gerald melawan dan berakhir dengan kematian para perampok. Meski ayah Gerald menang, namun banyak luka di tubuhnya. Setelah beberapa jam, ayah Gerald baru menghembuskan nafas terakhirnya. Mendengar berita itu, perasaan Gerald campur aduk.
"Bukankah ayah terkenal sangat miskin? Kenapa ada perampok di rumah? Selain itu, mengapa perampok itu tidak merampok di rumah juragan yang terkenal sangat kaya? Apa yang diinginkan perampok itu? Selain itu, bukankah ayahku tidak tahu ilmu beladiri? Semua ini menjadi sangat aneh." Gerald tidak bisa tidak berpikir setelah mengetahui alasan kematian sang ayah. Meski begitu, Gerald akhirnya memutuskan untuk segera berkunjung ke makam ayahnya. Gerald dapat mengetahui letak makam ayahnya berkat informasi dari tetangga.
Saat pulang, Gerald tidak bisa tidak memikirkan kronologi perampokan dirumah-Nya. Gerald kemudian memeriksa setiap sudut ruangan. Setelah memeriksa rumahnya, Gerald menemukan seperti para perampok itu sedang mencari sesuatu. Saat Gerald sibuk memikirkan kronologi perampokan dirumah-Nya, seorang gadis datang menghampirinya.
"Hai kak Gerald. Selamat yah, kak Gerald akhirnya telah menjadi seorang profesor." Gerald kemudian berbalik dan melihat seorang gadis yang wajahnya tampak tidak asing baginya.
"Ini benaran kamu Mila?" Gerald melangkah menuju Mila setelah mendengar mengenalinya. Mila hanya menanggapi dengan senyuman. Kini Gerald telah berdiri dihadapan Mila.
"Sudah begitu lama, kamu juga sudah tumbuh menjadi gadis cantik, cantik pake banget. Oh yah... sedang apa kamu disini?" Gerald bertanya pada Mila.
"Aku... aku datang untuk mengantarkan surat. Surat ini ditulis oleh ayahmu sebelum meninggal." Mila menyodorkan sebuah amplop yang di dalamnya ada sebuah surat.
"Terima kasih yah."
"Sama-sama kak Gerald. Oh yah, aku harus segera pergi, soalnya ibuku marah banget kalau aku kesini. Soalnya kan banyak orang yang meninggal disini. Ibuku terlalu takut dengan hal-hal berbau supranatural. Jadi... aku pergi dulu yah kak. Kak Gerald jaga kesehatan dan jangan lupa hati-hati yah!" Mila berpamitan dan segera pergi sambil memperingati Gerald.
Setelah Mila pergi, kini Gerald duduk di halaman teras rumahnya dan segera duduk. Dengan di dorongkan oleh rasa penasaran, Gerald membuka dan membaca surat pemberian ayahnya sebelum meninggal.
"Lemari pakaian ayah terlihat rusak. Jika kamu melihat benang, langsung ditarik. Turunlah ke bawah, anak tangga yang kesepuluh harus berhenti. Katakanlah, 'Aku adalah Gerald'. Maaf nak, mungkin selama ini aku telah berbohong padamu. Kuharap kau dapat memaafkan ayah." Gerald dibuat bertanya-tanya setelah membaca isi surat ayahnya yang sangat singkat.
Dengan di dorong oleh rasa penasaran, Gerald segera memeriksa lemari ayahnya. Akan tetapi, lemari ayahnya terlihat sangat baik dan tidak rusak.
"Lemari ayah terlihat sangat bagus, terus kenapa ayah bilang terlihat rusak? Apa iya aku harus merusaknya dulu?" Gerald tidak bisa tidak bertanya pada dirinya sendiri. Kini Gerald mengambil palu dan merusaknya secara perlahan. Setelah Lemari dihancurkan, sebuah benang putih terlihat. Gerald lalu menarik benang putih itu.
Gerald tidak bisa tidak kaget saat tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh di bawah tempat tidur ayahnya. Kini ia mendorong tempat tidur ayahnya dan menemukan sebuah tangga. Gerald lalu turun dan pada anak tangga kesepuluh Gerald berhenti.
"Aku adalah Gerald." Setibanya di sana, Gerald mengucapkan sesuai yang ditulis ayahnya.
Sekali lagi, Gerald tidak bisa tidak kaget ketika sekali lagi terdengar suara gemuruh sampai terlihat sebuah terowongan. Gerald lalu mengikuti terowongan. Sekitar tiga ratus meter berjalan, mata Gerald membesar. Ia tidak percaya akan apa yang dilihatnya.