" Apakah bapak tidak melihat adanya sesuatu yang mencurigakan?' tanya Hans pada satpam itu.
" Tidak, Pak! Semua normal saja!" jawabnya.
" Apa tidak sebaiknya kita lapor pada Polisi, Pak?" tanya Kepala Sekolah Reva.
" Nggak perlu, Bu! Papa Reva pasti tidak mau melibatkan aparat, apalagi kita belum tahu tuntutan dari si penculik!" jelas Hans.
" Tunggu, Pak! Saya dari tadi sudah mengatakan pada mbak nanik kalo reva tidak diculik!" ucap satpam sekolah.
" Apa maksud bapak?" tanya Hans terkejut.
" Ya, karena saya tahu yang membawa reva itu adalah papanya!" kata dia lagi.
" Papanya? Nggak mungkin! Papa reva sekarang sedang ada kerjaan di luar kota dan saya ditugaskan untuk menjaga mamanya!" jawab Hans pada satpam itu.
" Tapi dia bilang dia papa reva!" kata satpam lagi.
" Apa yang membuat bapak yakin kalo dia adalah papa reva?" tanya Hans penasaran.
" Karena dia menunjukkan foto keluarga! Dan dia tahu nama reva juga bu Tata!" kata satpam lagi.
" Pak Lewis! Apa ini orang yang membawa reva?" tanya Hans sambil membuka galeri foto di ponselnya dan menunjukkan foto lewis.
" Iya! Dia orangnya! Apa dia bukan papanya?" tanya satpam kuatir.
" Dia adalah omnya!" jawab Hans. Ternyata dugaan Bos selama ini benar! Lewis masih hidup! batin Hans. Apa yang akan kamu lakukan dengan menculik reva? Apa kamu tahu jika adikmu tidak akan mengampunimu jika terjadi pada anaknya apalagi pada Nyonya? batin Hans.
" Maaf, kalo saya teledor, Pak! Tolong jangan buat saya dipecat! Anak istri saya mau makan apa?" ucap Satpam itu frustasi.
" Sudahlah! Saya tidak mau ikut campur dengan urusan sekolah ini! Itu terserah kebijaksanaan dari sekolah! Ayo, nik! Kita ke RS, Nyonya sedang sakit!" ucap Hans. Nanik menganggukkan kepalanya dan berjalan gontai mengikuti Hans setelah pamit pada semuanya. Hans kemudian membawa Nanik menuju ke RS untuk mengetahui keadaan Tata.
" Bagaimana bisa kamu meninggalkan Non Reva sendiri?" tanya Hans. Nanik menangis tersedu mendengar pertanyaan Hans.
" Tadi ada seorang wanita menanyakan kantor kepala sekolah! Aku...aku sudah kasih tahu, tapi dia memaksa aku menunjukkan letaknya. Aku bilang sama Reva untuk...untuk tidak kemana-mana dan dia mengangguk. Tapi...tapi saat aku kembali, reva sudah tidak ada!" tutur Nanik sambil tersedu-sedu dan sesekali dia terbata.
" Wanita itu pasti komplotannya!" ucap Hans. Hans masih mencoba menghubungi Ben, tapi masih belum bisa. Kemudian dia menghubungi mama Valen.
- " Halo!" -
" Maaf, Nyonya Besar! Saya Hans pegawai Pak Valen!"
- " Valen? Dimana dia? Anak nakal! Sudah lama dia tidak datang menemuiku!" -
" Bos sedang keluar kota!"
- " Lalu untuk apa kamu menelponku?" -
" Saya mau minta tolong apa Nyonya Besar bisa datang ke RS?"
- " Siapa yang sakit?" -
" Nyonya Tata!"
- " Tata? Dia sakit apa?" -
" Nanti Nyonya Besar akan tahu sendiri! Saya akan mengirimkan lokasinya dan maaf sekali lagi!"
Hans menutup panggilannya dan melajukan kendaraannya ke RS lebih cepat.
" Mbak Merry!" ucap Nanik memeluk merry dan menangis.
" Sudah! Kamu sabar!" ucap Merry.
" Bagaiman keadaan Nyonya?" tanya Hans pada Merry.
" Tadi Dokter menanyakan keluarga Bu Tata, tapi saya bilang belum datang! Saya telpon bapak, tapi telponnya selalu sibuk!" jawab merry dengan wajah kuatir.
" Iya! Saya harus menghubungi beberapa orang!" jawab Hans. Kemudian mereka bertiga terdiam dengan pikiran masing-masing.
" Keluarga Renata Abiseka!?" panggil seorang dokter wanita.
" Ya!" jawab Hans.
" Anda siapa?" tanya dokter itu.
" Dokter Vanya! Anda mungkin lupa sama saya! Saya adalah pegawai Pak Valen!" ucap Hans.
" O! Dimana Keluarga Lewis?" tanya Vanya.
" Sebentar lagi mama Pak Valen akan datang!"
" Boleh saya tahu apa Tata menikah lagi?" tanya Vanya.
" Iya!" jawab Hans.
" Suaminya?" tanya Vanya lagi.
" Valentino Abiseka!" jawab Hans.
" Astaga! Bener-bener hebat Abiseka bersaudara ini! Mencintai wanita yang sama dan Tata? sangat beruntung dicintai dua orang dalam satu keluarga! Bener-bener sesuatu lo Ta!" ucap Vanya bermonolog.
" Apa kamu bisa menghubungi Valen?" tanya Vanya.
" Belum! Saya masih terus berusaha..."
Ponsel Hans berdering, nama Ben tertera di layar.
" Permisi, Dok!" ucap Hans pada Vanya dan Vanya menganggukkan kepalanya.
- " Halo, Hans! Ada apa?" -
" Nn Reva diculik!"
- " Apa?" -
" Satu lagi!"
- " Apa? Ada lagi?" -
" Nyonya Tata mengalami pendarahan!"
- " Astaga! Kamu harus menyiapkan dirimu!" -
Hans menutup ponselnya karen Ben menutup panggilannya. Dia tahu konsekuensi yang akan didapatnya dengan semua kekacauan ini.
" Bagaimana?" tanya Vanya.
" Tunggu sebentar, Dok!" jawab Hans, dia yakin sebentar lagi Bosnya akan menelponnya. Tidak lama ponselnya menyala lagi seperti dugaannya.
- " Hans! Apa yang terjadi disana?" -
" Maaf, Bos! Salah saya! Ada dokter Vanya ingin bicara dengan Bos!"
- " Vanya?" -
Hans kemudian menyerhakan ponselnya pada Vanya.
" Pak Valen!" ucap Hans. Vanya menerima ponsel Hans dan berbicara dengannya.
" Halo, Valen!"
- " Hai, Nya! Ada apa?" -
" Gue minta persetujuan lo!"
- " Persetujuan apa?"
" Lo suami Tata?"
- " Iya!" -
" Apa anak dalam kandungan Tata anak lo?"
- " Tentu saja!" -
" Gue harus bilang kalo dengan sangat menyesal lo harus merelakan dia!"
- " Apa maksud lo, Nya?" -
" Tata mengalami pendarahan yang hebat, tekanan darahnya tinggi dan jantungnya juga sedikit bermasalah!"
- " Tapi kenapa? Apa lo nggak bisa selamatin dia?" -
" Sorry, Valen! Gue sudah berusaha semampu gue! Tapi Tuhan berkehendak lain!"
- " Ya, Tuhan! Please, Nya! Selametin anak gue!" -
" Sorry! Gue harus segera melakukan kuretase agar Tata bisa segera pulih dan tidak membahayakan nyawanya"
Valen terdiam, hatinya hancur mendengar perkataan Vanya. Kenapa baru saja dia merasa bahagia, permasalahan datang bertubi-tubi?
" Valen! Kita harus bertindak cepat!"
- " Lakukan yang terbaik untuk Tata! Gue serahkan semua sama lo, Nya!" -
" Ok! Valen! Gue turut berduka!"
- " Thanks!" -
Vanya mengembalikan ponsel Hans dan masuk kembali ke dalam IGD. Sedangkan Han smenghela nafas panjang lalu meletakkan ponselnya di telinganya.
" Halo, Bos!"
- " Lakukan yang harus dilakukan! Jangan kecewakan saya lagi!" -
" Siap, Bos! Maaf!"
Valen mematikan sambungan telponnya dengan Hans. Hans menghubungi seseorang.
" Halo, Max!"
- " Bro!"
" Gue butuh lo!"
- " Apapun!" -
" Selidiki penculikan anak Bos gue!"
- " Ok! Kasih gue detailnya!" -
" Max! Gue bilang 'Butuh Lo'!"
- " Iya, Bro!" -
Max adalah teman Hans saat di pelatihan, mereka sudah seperti saudara kandung. Maxberhutang banyak sama Hans. Max pernah menjalankan bisnis kotor dan berurusan dengan yang berwajib, tapi Hans menolongnya hingga berkali-kali. Max sangat menghormati Hans, karena Hans tidak pernah menghakimi atau menasehati dirinya akan perbuatannya yang salah, karena menurut Hans perubahan itu berasal dari dalam diri bukan karena orang lain.